Sep 8, 2006

Gadis Kecil di Kereta

2ismillah.

Jarum jam mungkin sudah menunjukkan pukul 7 malam lewat ketika itu. Aku berdiri di tepi peron stasiun UI menunggu kereta jurusan Bogor-Tanah Abang yang sudah terlihat dari kejauhan. Mudah-mudahan kosong dan mendapat duduk, doaku dalam hati.

Kereta tiba dan aku segera naik. Alhamdulillah, bangku-bangku banyak yang kosong. Aku duduk tepat di samping seorang gadis berusia 12 tahunan dan seorang Bapak. Di sebelah gadis itu, seorang pria berumur 27 tahunan meletakkan tangannya di jendela kereta, seolah berposisi merangkul sang gadis, walau tidak sampai menyentuh. Perhatianku seketika terganggu. Pasalnya aku akan merasa risih jika melihat tangannya sampai menyentuh tubuh si gadis, atau mungkin mengenai punggungku. Tapi aku merasa lega kemudian. Laki-laki itu hanya menyandarkan tangannya saja di jendela. Dan aku berbaik sangka sang gadis adalah saudaranya.

Kereta terus melaju dengan cepat. Merasa begitu lelah, aku hanya duduk terdiam dan mencoba melafazkan dzikir. Tapi tak lama perhatianku terganggu. Pria itu mencolek bahuku! Aku terlonjak seketika.

“Mbak, adek ini baru kabur dari rumahnya di Cilebut. Dia sendirian. Mana katanya belum makan lagi dari siang,“
Aku melupakan colekan pria itu sejenak. Perhatianku beralih ke gadis kecil di sebelahku.
“Oh... sekarang mau kemana?“
Gadis itu tetap diam dan tak merespon teguranku.
“Dia kabur dari rumah. Berantem sama mamanya. Katanya mamanya pilih kasih,“ pria itu menjadi jubir tanpa diminta.
Aku mengangguk-angguk dan bertanya ulang sekedar memastikan.
“Kenapa kabur dari rumah, dek?“
“Abis mama pilih kasih...“
“Terus, sekarang mau kemana?“
“Saya mau ajak dia ke tempat saya, Mbak,” lagi-lagi si mas-mas itu yang menjawab.
“Tapi saya nge-kos. Takutnya mau nolongin malah ntar muncul omongan macem-macem. Jadi saya mau bawa ke rumah ibu saya di Pasar Minggu. Abis kasian kan udah malem begini. Tapi dia gak mau…“

Aku berpikir keras.
Hari sudah malam begini. Tidak mungkin membiarkan gadis ini keluyuran sendirian.
“Kamu mau kemana sekarang?” tanyaku kepada gadis kecil itu.
Lagi-lagi ia hanya terdiam sambil memeluk tasnya.
“Kalau Mbak pulangnya kemana?“ si mas-mas bertanya padaku.
“Oh, saya turun di Tebet. Tinggal di Cipinang,“ ujarku.
“Tinggal sama orangtua? Soalnya saya nge-kos. Takut ada komentar gimana-gimana…“
“Mhh..iya sih. Saya ngerti. Saya mau nolongin, tapi… “ bayanganku berlari ke rumah. Bagaimana reaksi mamah kalau pulang-pulang aku membawa orang asing?
“Saya gak yakin orangtua saya bisa nerima…”
Mas-mas itu mengerti. Ia segera mengangguk.
Sebetulnya bukan hanya mamah yang menjadi konsideranku. Tapi sedikit pikiran buruk melintas seketika. Bagaimana kalau anak ini berbohong? Bagaimana kalau ia memperdayaiku? Kutengok sekeliling. Penumpang lainnya tak tampak terganggu perhatiannya melihat kami. Adakah ini tampak wajar ataukah hanya aku yang terlalu berprasangka? Bukan apa-apa. Aku pernah merasa dibohongi anak seusia gadis ini di stasiun Tebet beberapa tahun lalu.

“Saya bisa sih bawa ke tempat Ibu,“ pria itu menghentikan pikiranku.
“Ibu saya memang tinggal sendirian. Cuma masalahnya dia gak mau,”.
Aku menatapnya sekilas. “Kita bujuk aja, Mas,”.
Pikiran buruk lenyap begitu saja dan aku menoleh ke gadis itu lagi.
Mencoba membujuknya.
“Dek, kamu mau kemana sekarang? Sudah malam lho. Kamu gak takut?“
“Iya. Saya khawatir aja ni adek kenapa-napa. Udah malam begini...“ mas-mas itu menimpali.
Aku memperhatikan gadis itu baik-baik dan menyentuh tangannya, mencoba memberi rasa nyaman.
“Sekarang, kalau kamu gak mau pulang, kamu mau tidur dimana? Ini sudah malam...“
Gadis kecil itu menggeleng. Beberapa saat kami sama-sama terdiam.
“Gini deh...“ ujarku. “Daripada kamu gak tau mau kemana, mendingan ikut sama mas ini ke rumah Ibunya ya?“
Gadis kecil itu lagi-lagi terdiam.
Aku mengusap punggung tangan dan bahunya dengan lembut. Aku yakin dia hanya butuh tempat mengadu. Tapi kereta terus berjalan dan stasiun pasar Minggu semakin dekat.
“Dek, kamu boleh kesel sama Mama. Ohya, panggilnya Mama atau Ibu?“
Gadis itu berkata singkat, “Mama,“.
“Nah, sekarang pikirin deh, kamu mau tidur dimana. Ini sudah malam. Kalau ada orang jahat gimana? Serem lho. Mama di rumah pasti juga cemas banget mikirin kamu. Duh, anak perempuan saya lagi dimana ya....begitu. Sebenarnya mama sayang sama kamu. Percaya sama kakak. Sekarang gini aja, masalah sama mama entar dulu deh, kamu ikut mas ini ke rumah Ibunya, terus kamu cerita aja. Atau kalau besok mau ketemu kakak lagi juga boleh, nanti kita janjian aja. Mau ya?“ bujukku.

Aku mendengar kata-kataku sendiri dengan jelas. Seolah menjadi manusia paling bodoh yang tengah menasehati dirinya sendiri. Aku juga pernah menjadi adik kecil ini. Tidak separah ia, memang. Tapi mungkin mamah pernah merasakan apa yang mama sang gadis ini rasakan sekarang. Dan sekarang aku yang sok menceramahi.
“Indra,“ aku berujar dalam hati, menekan jiwaku sendiri. “Pegang baik-baik kata-katamu ya.“.

Lantas aku terus memperhatikan gadis itu.
Akhirnya ia mengangguk. Mas-mas di sebelahnya ikut lega. Pun aku, yang tak bisa berbuat banyak.

Kereta mulai berjalan perlahan karena mendekati stasiun. Mas-mas itu berdiri dan membimbing si gadis kecil bangun dari duduknya.
“Maaf ya dek, kakak ga bisa temenin...“ ucapku penuh rasa bersalah.
“Yuk, Mba. Saya duluan...“ mas-mas itu pamit sambil menggamit tangan gadis itu.
“Iya. Titip ya, Mas. Hati-hati,” balasku penuh harap.

Aku menatap mereka turun dari kereta.
Hmhhhhhh......
Beruntung ada mas itu yang mau membantunya. Tak ada rasa curiga padanya, walau pada akhirnya aku berdoa juga semoga ia benar-benar berniat baik.

Tapi... Sebentar.
Bagaimana kalau ia ternyata jahat? Dan aku membiarkan gadis itu dibawa oleh pria yang aku juga belum mengenalnya? Seharusnya aku yang lebih wajib membawa gadis itu bersamaku… karena aku perempuan dan pria itu laki-laki!

Argh!
Aku singkirkan pikiran burukku.
Mereka sudah turun. Tak ada gunanya aku berpikir macam-macam.
Sekarang waktunya berdoa semoga Allah menjaga mereka dengan sebaik-baik penjagaan.

Kereta terus berjalan, seperti merayapi malam yang kian kelam.
Dan aku terus merenungi kejadian barusan. Mencoba menarik hikmah agar jiwa terus belajar.
maafkan, ya Allah... :'(

3 komentar:

Anonymous said...

saya mungkin akan melakukan hal yang sama dengan anda fath

anugerah perdana said...

iya ya mbak, kadang kita terlalu banyak menganalisa dalam melakukan amal shaleh. Akhirnya keduluan orang lain deh =(

jeb said...

maaf ya..tapi anda terlalu banyak berfikir negatif