Jan 26, 2006

Musma dan manusia

bismillah.

hari ini adalah hari pertama musyawarah ikm (ikatan keluarga mahasiswa) ui.
katanya sih, dibatasin sampe 2 minggu doank...
tapi aku gak yakin nih, seharian ini aja cuma ribut masalah tata tertib sidang. dan itu baru sampe pasal no.2, sodara-sodara... padahal ada sekitar 20-an pasal dalam tatib.
Baru ta-tib! undang2nya sendiri belum kesentuh!
kalo anak teknik, katanya sih dari pagi ampe pagi lagi tiap hari...(hiyy, teknik bangget!)

duduk di ruangan ber-ac bukannya mampu mendinginkan kepalaku. malah sepanjang hari itu kepalaku cenut-cenut. entah karena efek lapar, dingin, atau gak betah.
ya iyalah, orang masuk ke situ 'hanya' untuk mendengarkan orang mengoceh dan berargumen panjang lebar... bersuara mah kalo emang pengen bersuara ajah.
itu juga kudu ngacung tangan tinggi2 dan sampe ditunjuk sama pimpinan sidangnya...

tapi, duduk diam dan menyimak setiap orang berbicara rasanya asyik juga. lucu aja, merhatiin si ini ngotot, yang satu bicara dengan santai, yang lain bicaranya kemana-mana, ada yang kemukakan argumen dari yang logis sederhana sampe logis yang muter-muter..ada juga yang...duh, kebanyakan nyeletuk and becandanya!

dan aku berhasil nyemprot salah satu dari gerombolan di baris paling belakang yang always ngomentarin setiap omongan orang yang lagi bicara kepada floor...
"ssstttt, oknum S! berisik banget sih! bawel..."
dan oknum itu mingkem seketika, sambil mengkeret diledek temen sebelahnya,
"dimarahin tuh, S...hahaha..."
"waduh. iya nih, malu. sama akhwat pula."

Ugh. Puas... (",)v

ah, tapi aku gak mau cerita tentang musyawarahnya. lammmma. si ini usul, si itu balas, si pimpinan gak tegas...debat lagi, balas lagi... pegel deh.
jadi, sekarang aku lebih tertarik mencermati manusia-manusianya.

dalam forum seperti ini, kadang orang jadi keliatan aslinya.
hey, everyone wear mask, u know...
beberapa (katanya) berakting dengan berargumen secara garang.
suara dikeraskan, nada meninggi, gaya kasar...
beberapa lagi tampil secara alamiah. tapi tetep aja berusaha menampilkan ketegasannya.

ataukah semua orang selalu berusaha tampil tegas (dan cenderung galak) dalam momen2 seperti ini ya?
musyawarah mahasiswa, gitu lho...
katanya sih banyak kepentingan yang mau disuarakan...
tapi kenapa harus barbar begitu ya?!?
kalo akting, ya kenapa harus begitu?
kadang orang bisa menundukkan lawannya hanya dengan kata-kata lembut tapi tajam.
dan bukan gak mungkin orang lain justru mengerti kata-kata yang diucapkan tanpa terlihat sok garang.
atau...
apakah supaya ada efek psikologisnya kalo denger orang bicara dengan gaya preman?
pasti ada sih. bisa jadi takut, segan, atau malah gak simpatik.

kata seorang anak teknik, "itu biasa, kok. keliatan di forum aja galak. tapi sebenarnya ya biasa aja. namanya juga akting, biar keliatan garang..."

mmm...begitu ya.
kalo misalnya...disampaikan dengan cara yang lembut emangnya kenapa?

"itu bukan teknik namanya," kata Mr.Biggy.

ooh. jadi begitu toh.

aku jadi inget sama seorang teman yang complain sama masalah pembawaan sikap ini.
katanya, "rosulullah tuh da'wahnya dengan lemah lembut. gimana orang mau simpati kalo nyampein islam yang indah ini dengan bungkus yang menyeramkan?" kira-kira begitu dia bilang.

dan si "pura-pura garang" berkata lagi,
"ya itu kan cuma di luar. jangan melihat orang dari luarnyalah..."

aku sih diem aja waktu melihat mereka saling berargumen.
rosululloh emang top banget. tapi, menafikan adanya berbagai karakter manusia rasa-rasanya juga mustahil. emang bawaan oroknya kali ya, mereka garang-garang.
toh umar bin khothtob juga garang, kan?
tapi mungkin yang patut diperhatikan adalah menempatkan karakter yang sesuai pada tempat yang tepat.

hmmmmmmm...
betul kan?
manusia itu emang gak abis-abis buat dipelajarin deh...
kadang terasa sulit dimengerti juga...


btw...
waks! musyawarah ikm-nya masih berhari-hari lagi!
selamat deh... -_-'
ayo..ayo..semangattt!!!

Jan 22, 2006

Rokok, Si Biang Kerok


Bismillah.

Kenapa sih, harus ada rokok di bumi ini?
Menyebalkan sekali, menghirup udara beracun yang perlahan keluar dari sebatang benda itu. Ngisap batangnya juga enggak, keracunan iya. Heran. Dimana-mana ada rokok. Gak di jalan, di rumah, di angkot, kampus, kereta, apalagi di stasiun. Belum jalan semeter dah ketemu rokok lagi. Jalan lagi, ketemu lagi. apalagi di kampus. mana ruangannya ber-AC lagi. Ni dunia kenapa gak bisa beraroma seger gitu ya. Bau asapnya… ampuuuunnn! Muntah-muntah dah gua…

Entah kenapa sampai detik ini aku jadi begitu antipati sama rokok. No rokok forever! Sampe idungku dah sangat sensitif membaui aromanya yang menusuk itu. Kenapa ya?
Mungkin karena aku dah tau betapa rokok itu amat sangat berbahaya. Dan semakin benci ketika tau bahwa perokok pasif (orang yang tidak merokok tapi menghisap asapnya) justru menderita penyakit yang paling parah dibandingkan perokok aktifnya! Bayangin aja, kita yang gak melakukan apa-apa malah jadi korban!!! Zholim nian…

Kadang aku merutuki diri karena gak berani menegur orang agar menyudahi rokoknya. Hhhh…Sapa suruh jadi orang yang submissif… Tertindaslah dikau, sampai kamu sendiri yang berani memperjuangkan hak-hakmu.
Makanya, begitu suatu hari aku berani menegur orang yang merokok karena terganggu dengan asapnya (yes! Finally!), dengan serta merta aku bersorak dalam hati…berhasil, man!!! Berhasillll!!! Dan sampe kampus dengan senang-gembira-bersorak ria aku bilang ke teman2 bahwa aku berhasil menegur orang yang merokok!
Padahal tinggal negur doang apa susahnya ya…-_-‘

Eh tapi beneran susah lho. Suka ada perasaan gak enak aja. Itupun aku dah baca doa berulang kali dulu semoga Allah menyadarkan si perokok supaya sadar sendiri tanpa harus ditegur (ya mana bisa kalo gak usaha ya?!?). Dah gitu, aku malah deg-degan sendiri, mikirin berulang kali…gimana ya, kalimat yang pantas…
belum lagi memvisualisasikannya dalam imajinasi. Halahhh….lama betul deh.
Ada juga orangnya keburu pergi.

Mungkin itu karena aktivitas merokok juga dah lazim dilihat. Dan karena itu pula, si penegur bisa jadi malah dianggap membatasi kesukaan orang lain. Lho, kenapa jadi kebolak begini seh?!?!?!?

Itulah. Kebanyakan orang Indonesia kurang asertif. Mau aja ditindas dengan sukarela. Akibatnya ya gak heran, betah dijajah beratus-ratus taun sama kompeni. Orang dijajah kok ya malah nyembah-nyembah. Begitupun halnya dengan rokok. Seringkali jadi korban, tapi acuh aja ketika hak menghirup udara bersih dikotori oleh bergumpal-gumpal asap racun yang mematikan.

Huh…Liat asapnya yang melinting-linting di angkasa aja bikin hati bete. Apalagi kalo liat yang megang. Gak peduli sopir angkot, bapak-bapak, mas-mas, apalagi pelajar. Ya ampun, masih kecil aja udah ngerokok, gede mau jadi apaan lu, tong?
Ni lagi, baju necis. Dandanan rapi. Rambut klimis. Tapi…Alamak…merokok pula dia. Tewaslah kekerenannya di mataku.

*Subjektif atau gak adil?*
Mungkin.

Abis gimana doooonk…rokoknya gak mau dimatiin sih. Pada gak nyadar apa udah berbuat zholim? Sampe kalo keselku udah sampe ubun-ubun, aku tereak dalam hati, “Woy! Kalo mo mati jangan ngajak2 donk! Sendirian aja sana!”.
Tapi payah ah...cuma bisa dalam hati doang...
Temenku ada yang lebih kejam lho, sampe ngedoain segala supaya si perokok dikasih sakit parah sama Allah, supaya dia nyadar dan berenti ngerokoknya.

Yah…dibilang gak bijak mungkin ada benarnya. Kata seseorang di blog tetangga… “alangkah baiknya kalau kita menilai seseorang dengan 'zhon' (prasangka) yang baik. Jika dengan melihat kekurangan seseorang, maka kita dengan begitu memvonis (ghibah) jelek dan meninggalkannya (memutus tali silaturahim).... bukankah itu lebih buruk?”.

Bener banget siiiiihhhh….Tapi bukan maksud melihat kekurangan dan memvonis gituh…Mau berhusnuzhon juga susah…kan kita juga istilahnya gak boleh menimbulkan sikon yang bisa memancing munculnya suuzhon…Lagian husnuzhonya gimana…
masa husnuzhon sama perokok, mungkin dia lagi stress berat, jadi kita harus empati…(???) atau...mungkin dia lagi bete...jadi larinya ke rokok...so kita kudu ngalah sedikit...(?!?!)



Duuhhh….empati sih empati…tapi kita juga gak boleh nrimo begitu aja khan kalo dizholimi terus-terusan…
Kalo ada yang mau berhenti juga aku dukung banget kok…100% disupport deh…gak bohong…makanya ayo donk pada berenti…pokoknya jangan pernah lelah berusaha deh…

Iyyya siiii…ngomong mah emang gampang…harusnya kita kasihani mereka yang merokok, karena udah ketergantungan sama racun. Dah gitu gak sadar pula…makin lengkaplah deritamu, nak..nak…

Tapi kan merokok itu juga emang zholim bangettt…:( jadi kita impas lah ya…situ enak ngerokok…saya enak ngomong…
(lho kok jadi gini…)

Makanya, bilang baik-baik aja sama orangnya…

Udah koq… udah baik-baik…Mulai dari ngipas-ngipas…. ngomong sopan + ramah + senyum… ngelirik-lirik jutek…sampe negur dengan kata-kata yang penuh penekanan dan sinisme…
Tetep aja ada yang gak nyadar-nyadar.

Duuuhhhhh….
Kumaha ieu euyyyy….
Kesssellll…
Gerammm…..
Kasihaan…
Benciiii….
Numplek jadi satu!


Wahai para perokok…berhentilah kalian merugikan diri sendiri…lihatlah kami yang udah bete berat menghadapi kalian…kalo belum bisa berenti merokok…cobalah jangan merokok di tempat umum…kalo belum bisa juga…cobalah nguyah permen sebagai pengganti rokok dikala mulut kalian terasa asam…so many alternatives, man…c’mon…
You all have to try….Ayo donk…hiks…berenti gak…hiks…awas loh…gua aduin sama Allah baru tau rasa….huhuuuhuu….*pasrah*



Nb : maap ya kalo kasar dan ada yg tersinggung. Abisnya dah gak tahan… :(

Kala Kamboja Luruh ke Tanah...

Bismillah.


Alloohummaghfirlahuu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu anhu..
***
Kuseka airmata yang sejak tadi tak henti mengalir. Dan sekuntum kamboja melayang dihembus bayu. Luruh. Layu. Dan mati. Melangkah kutinggalkan puluhan kamboja yang juga rebah, meresapi setiap prosesi yang pasti ‘kan dihadapi. Mati.

***

Masih terngiang ribut mama yang menggedor mandiku pagi itu. “ Dek.. cepat! Om Kuri gawat!!!”. Bergegas kusudahi ritual yang biasanya menghabiskan bermenti-menit waktu, berlari melesat memburu nafas dalam doa yang tiada terputus.

Jejak kakiku hingga di ruang tamu. Dan kusaksikan sosok itu terbujur. Kaku. Serta merta kupeluk hangat tubuh tanteku, mencoba mengalirkan energi agar ia terus bertahan dalam sabarnya. Entah bagaimana jika aku yang menghadapi musibah yang sama...

Takbir agung masih terdengar bersahut-sahutan. Di saat orang berbondong-bondong menuju sholat ‘Ied lebaran, kami berduka. Di saat orang-orang menuai gembira di hari raya, kami tersungkur dalam luka. Ya Allah.. jangan rusak fitri-Mu dalam tangis kami yang pecah....

Lidahku tak henti ber-fatihah. Kubuka kain putih yang menutup, dan tersembul wajah pucat yang siap menghadap Robb-nya. Sosok yang senantiasa menjaga sholat fardhunya di masjid. Yang menyemangatiku untuk meraih cita mempelajari ekonomi syariah, meski perahuku kini tak berlabuh di sana. Yang begitu setia mendampingi hari-hari stroke kakak kandungnya, ayahku sendiri, di Mitra Keluarga. Yang tabah memapah lumpuh sisi kanan orangtuaku dan mengusahakan berbagai pengobatan untuknya. Yang membiayai studi kami, aku dan kakakku, agar tetap dan terus berjalan meski harus tertatih-tatih. Yang menasehatiku agar senantiasa memegang teguh prinsip kejujuran dan kebenaran, sesulit apapun kondisi yang dihadapi. Yang menjadi teman diskusi pengganti saat ayah tak lagi berfungsi. Yang mendorong kami agar tetap tegar meski berjuta kesulitan hidup datang menghadang. Yang begitu kupuji ketelatenannya mencatat setiap transaksi keluarga. Yang begitu kubanggakan keteguhannya memakan apa yang hak kala rekan-rekan kerjanya berlomba-lomba menjadi kaya dengan cara yang tak semestinya. Yang begitu kukagumi keistiqomahannya menembus dingin di pagi buta demi bertemu Sang Pencipta dalam shubuh di masjid raya.

Airmataku deras mengucur. Secepat inikah? Dengan meninggalkan 3 putra yang belum semuanya genap dewasa? Astaghfirullah... Jiwaku menggelepar mengingat bait-bait suci yang sering kulantunkan. “Kullu nafsin dzaa’iqotul mauut.. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..,” Bagaimana bisa kulupa ketika kuhadapi kematian keluargaku sendiri?

Kognisiku melayang ke beberapa waktu silam. Masih terbayang suapan demi suapan yang kumasukkan ke mulut lemahnya disaat ia terbaring dalam penyakit batu ginjalnya. Masih terbayang jerih-payahnya menemani 4 tahun sakit ayahku yang membuatnya begitu terpukul. Masih terlintas jejak-jejak nasihat bijak agar aku merawat orangtuaku baik-baik. Pun melayangkan cita setinggi langit agar kelak mampu memajukan diin ini. Dan mataku mengabur lagi untuk kesekian kali.

Satu–persatu tetangga melayat dan memberikan bantuan semampu yang mereka bisa. Menahan haru sedih, melapangkan dada agar mampu memaafkan segala salah. Kurasakan aura kematian yang menyerang cepat, memenuhi langit-langit rasa, menguliti kesombongan yang masih saja hidup dalam derap-derap perilaku dan kata. Menanggalkan berjuta angkuh dan menikamnya bulat-bulat, memaksa tunduk dalam kehendak Yang Maha Perkasa. Sungguh hanya Allah-lah Yang Tak Kenal Musnah.

Kulemparkan pandang ke sekeliling. Semua mata memerah. Semua jiwa menangis. Tiada lagi yang dikenang kecuali kebaikan dan kebaikan. Luluh sudah segala dendam, tinggal sudah harta dan keluarga. Berangkat dijemput Izroil dengan membawa serta semua amalan, lalu menunggu hisab di pengadilan padang mahsyar. Begitu mudah. Begitu sederhana. Mati. Lalu habis perkara.

Beratus bintang menari-nari dalam benakku. Baru kali ini kusaksikan kematian yang begitu dekat. Begitu membekas. Terefleksi segera, memantul berulang-ulang ke dinding jiwa. Entah apa yang sudah kupersiapkan jika sedetik kedepan aku menyusul. Entah sudah berapa manusia tersakiti dan terzholimi atas perilakuku. Entah sudah berapa gunung amal yang nantinya akan kupanggul. Dan entah berapa banyak yang harus luntur karena ketidakikhlasan, keriyaan, sum’ah, dan sebagainya.

Bermilyar dosa seolah terbeberkan. Menguak kemunafikan dalam jasad terbalut hijab, tapi entah hatiku terhijab atau tidak. Menelanjangi segala kepura-puraan dalam tindak-tanduk keseharian, menguraikannya satu-persatu hingga memperberat sisi kiri timbangan. Menjegal paksa karat-karat noda dalam hati, menabur beratus sembilu yang menyayat perih. Mengorek semua prasangka dan perbuatan nista, memuntahkannya bersama lumpur angkara yang menuai marah. Memberontak. Memasung jiwa agar tak lagi berlaku semaunya. Menjeruji nafsu agar tak lagi membelenggu. Memenjarakan maksiat dalam sel-sel kengerian, menghadirkan nuansa nyala panas api neraka.

Dan jiwaku tersudut. Bersusah-payah membangunkan semangat taubat yang dahulu menguap. Tertatih-tatih membanting segala bentuk egoisme yang masih bermunculan. Berkaca pada bening nurani, mengakui segala kelemahan diri.

Robbighfirlii...

***

Gundukan itu rampung sudah. Satu-satu berjalan meninggalkan areal pemakaman yang sunyi, sesunyi alam kubur itu sendiri. Hanya ditemani sejumlah amalan. Entah menerangkan. Entah menggelapkan.

Aku masih juga tertunduk menekuri bait-bait perjalanan hidup. Betapa harta, prestasi, keturunan, dan segala kenikmatan duniawi akan segera musnah begitu ajal telah tiba. Tak dapat sedtikpun ditunda. Tak ada rumusan jeda dalam takdir Sang Penguasa.

Semilir bayu berhembus gundah. Dan sekuntum kamboja luruh lagi ke tanah. Menyisakan sejuta makna.

2nd Fitri Day.
26.11.03//07.20 wib.

In memoriam my beloved uncle, Masjkuri Wasjhar: tenanglah di sisiNya...


--notes :
tulisan ini aku buat taun 2003. waktu itu pas idul fitri hari kedua. hiks...jadi sedih lagi :(

In Memoriam Fathul Makkah

“Mereka menaklukkan hati. Bukan meruntuhkan tembok.”



notes : waktu itu aku pernah ngeliat film ttg fathul Makkah di tivi. aku inget banget, ada salah satu musuh muslimin yang berkata seperti ini ketika Makkah jatuh ke tangan Umat Islam.

Jan 15, 2006

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah

oleh KH. Rahmat Abdullah (alm)

bismillah.

AlDakwah.org--Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai
akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling
bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang
disampaikan Kanjeng Nabi SAW :

"Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan
menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara
proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kaucintai."
(Hadist Sahih Riwayat Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi,
Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal.

Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i
yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l Khaliq".
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada
Alkhaliq. (Hadist Sahih Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya
pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu
adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah
garis rahabatus'shadr (lapang hati) dan batas tertinggi (upper) tidak
melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya,
maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan
da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan
oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang
lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan
kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang
sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah
terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh
urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan
telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'wah dan
menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat
seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah, Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari
kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan
lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman
menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak
sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung
di wajah pengantinku tercinta", tuturnya.

Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung,
seakan doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan murabbi
yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi
hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang
kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu.
"Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?"
Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau
da'wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu
nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang
pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00.
Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita
menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan
kita lalu kita meninggalkan da'wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya
tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan
pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun
membaik setelah beberapa hari.

Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan
menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa
tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah
tersebut sudah menikmati berkah da'wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah.
Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap
ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absent
dalam pertemuan rutin. Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai
menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna
waahluna": "kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11).

Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya
harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan
harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang
sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?".
Maka ia pun absen lagi dan di muhasabah lagi sampai dan menangis-nangis
lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai,
mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika
harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak
hadir lagi dalam tugas-tugas dakwah.

Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki
komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki
kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, yang penuh berkah.
Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain
pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati
ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in
lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu
simpul.
Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A'raf Ayat 163:
"Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka
melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan
buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak
ber-sabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena
kefasikan mereka".

Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma'ruf nahyi
munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini
terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar,
tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hari
hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan,
keteguhan dalam berda'wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai
kenikmatan hidup yang kita rasakan.

Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya,
maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian
kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah
rata-rata kader da'wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini
tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang Ustadz, ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah,
mengajak rekannya untuk mulai aktif berda'wah. Diajak menolak, dengan
alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan
kalau berda'wah, da'wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka
bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Ustadz tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena
sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada
titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang
seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum'at jam 11.50
datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da'wah datang orang
menyibukkan mereka dengan berbagai cara.

Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti
kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan menyingkir, tetapi ketika
kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos
segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum
tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada
tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam
berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban
liqa', syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu,
pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari
kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.

Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan: "Seandainya para raja
dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir
dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita
dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti,
dihayati dan diperjuangkan. Berda'wah adalah nikmat, berukhuwah adalah
nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da'wah bersama
ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka
menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang
menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah
di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di
bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang
keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah
di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi
popularitas, riya' mungkin -dimasa ujian- akan menemukan orang yang
terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin
diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun
(klarifikasi).Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara
yang membuat dia hanya 'selamat' dengan berdusta lagi. Dan itu arti
pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah
(dahulu Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia
tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya.
Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan
akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah
SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang
ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan
kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan
penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian -sesudah syukur- karena kita hidup di masyarakat
Da'wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas
tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan
baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak
berhak atas kemuliaan itu.

Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih
baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka
dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih.
Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ?
"Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal
engkau tahu betapa diri kamu jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman
Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para
hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu
mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan
lapang hati komunitas da'wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman
maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama'i tempat kita 'menyumbangkan' karya kecil kita,
memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan
kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama'i kita,
tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da'wah. "Mereka
membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan :
'Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi
kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu
karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang
jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da'wah. Ini adalah
karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu
-karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia
yang tidak maksum dan sempurna- menunggu musibah dan kegagalan, untuk
kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana
rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.

Saling mendo'akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi
mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak
motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya
dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak
seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah
dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling
mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan
cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan
cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

Jan 10, 2006

Tarbiyah Ruhiyah

bismillah.

Tatkala kita ditimpa musibah
Atau tertipu oleh kepalsuan
Kala tergiur bunga kehidupan
Terbujuk rayu godan syetan
Tergelincir dalam jurang nifaq dan riya’

Jika hati hampa nilai ruhaniyah
Tiada kekuatan untuk memberi
Hampa dari cahaya petunjuk-Nya, keikhlasan, muroqobah, dan ketaqwaan

Berhentilah di terminal ruhiyah
Agar kalah nafsu amarah
Tipu daya yang perindah kemungkaran
Selamat dari jurang ujub, nifak dan riya’

Berhentilah di terminal ruhiyah
Agar sadar bahwa dunia fana
Agar selalu ingat kematian
Dikala dunia mencengkeram jiwa

Bermujahadah dalam beribadah
Bermu’aqobah pada kekhilafan
Bermuhasabah dari penyakitjiwa
Bermuroqobah dengan keagungan-Nya
Bermu’ahadah dalam syari’ah


~Nasyid Suara Persaudaraan~

Happy Idul Adha

bismillah.


"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah..."
(QS. Al Kautsar : 1-2)

"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al Hajj : 22)

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1426 H
Semoga Allah senantiasa membimbing kita menuju taqwa

Mari perbarui semangat berkurban kita!

Jan 2, 2006

kapan donk?!

bismillah.

banyak banget yang mau ditumpahin disini. tapi kerjaan lain juga banyak. mau nulis...mau nulis...mau nulis....tapi gak sempat :(
kalaupun ada waktu lowong sedikit, aku-nya yang harus disiplin untuk tidak bandel menghabiskan waktu tuk menulis ketimbang ngerjain kewajiban lain yang lumayan banyak. abis kalo idenya lagi banyak, bisa berjam-jam duduk di depan komputer. dan kalo udah keasyikan nulis, kewajiban yang lain jadi terlantar. ni juga katarsis bentaran doang...

nah, sekarang, giliran ide banyak, kewajiban lain juga pas lagi banyak. akhirnya emosi tentang peristiwa yang terjadi udah menurun karena gak ditulis saat itu juga. penghayatannya juga jadi berkurang, sehingga tulisannya seolah gak ber-ruh. gak seru deh pokoknya kalo nulis tanpa seluruh jiwa dan pikiran ini tercurah.

hhh...
kenapa sih, waktu 24 jam itu serasa kurang?

mau nulis! mau nulis! mau nulis!
tapi kapan donk ya?!