Oct 31, 2006

Tarif Kereta Naik!!!

bismillah.

MOHON MAAF.
DIKARENAKAN ADA PENYESUAIAN, KERETA EXPRESS MENGALAMI KENAIKAN HARGA,
JURUSAN JAKARTA-BOGOR DARI RP. 9.000,- MENJADI 11.000,-
JAKARTA - UI - DEPOK DARI RP. 6.000,- MENJADI RP. 9.000,-

Nyaris keluar bola mataku begitu membaca pengumuman di loket stasiun Tebet *hiperbolis*.
hukkk.
mendadak eneg dan mual membayangkan tarif kereta express yang kini berlangit-langit.
Aseli gak terjangkau deh.
Yang bener aje bang... Duit dari manee...

Padahal kereta express tu sering jadi andalan orang-orang yang suka telat lho. maksudnya, kalo jamnya udah mepet mereka keseringan naik express biar cepet. apalagi mahasiswa-mahasiwa yang telatnya pas mau ujian. daripada telat dan kena resiko gak boleh ujian trus ngulang mata kuliah... mending naik kereta express deh walaupun harus merogoh kocek lebih dalam.

tapi sekarang naek jadi 9 ribu, man...
parah betul tuh PJKA. jelas-jelas gaji-gaji pegawai gak naik. harga kebutuhan makin mahal. kalo sekali kerja bolak-balik aja ngabisin 22 rebu cuma buat kereta doank, ato tarohlah ongkos sehari 30 rebu, dikali hari aktif kerja 6 hari, udah berapa tuh... (hayo itung! hehe...).
720 ribu!
kalo gaji cuma 1 juta sekian, dipotong kebutuhan makan, biaya sekolah anak-anak, jajan, bla.. bla.. bla...
wah... gak kebayang deh. apalagi kebanyakan pengguna jasa kereta ekonomi adalah masyarakat menengah kebawah.

itu yang udah kerja. lha mahasiswa kaya gua yang kerja serabutan... pegimane ceritenye donk...
apalagi yang tinggal nadah ke orangtua yah...
ck ck ck...

mending tu kualitas juga jadi bagus. expressnya mah iya lumayan. ber-AC, lumayan bersih.
harusnya kalo PJKA naikin harga, tingkatin kualitas juga donk.
harga naik pastinya bukan cuma buat biaya operasional kereta express doank kan...
pasti bisa disubsidi silang buat kereta ekonominya.
bayangin dunk... aku tiap hari naek kereta ekonomi...
jadwalnya kagak netap, suka telat, isinya sampah campur manusia, belum lagi asap rokok yang amit-amit itu, ngebaur jadi satu sama pengamen, pengemis, penjual, pencopet, pengasong, dan pe-pe-pe yang lain...

bayangin!
mau jadi apa begitu keluar dari kereta???

ya gak jadi apa-apa siih... hehe...
tetep idup begitu keluar...
cuma agak-agak puyeng aja sama lagu2 dangdut gak jelas (apalagi lagunya k'awan noh... "bang... sms siapaa ini bang..." :P), bingung ngeliat pengemis antara kasian dan sebel karena tau mereka suka nipu, dan also sodara2... beberapa kali duduk manis di lantai tu kereta karena jatoh saking licin atau penuhnya...

fiuuu...

ok deh.
alternatif satu2nya adalah tidak naik kereta express anymore.
biarin dah aku berteman para pedagang dan tukang asongan.
at least masih bisa cuci mata!

Hoy PJKA... Peka napa... Pekaa!


-gerutuDalamPasrah-

gbrnya dari sini

Oct 30, 2006

Generasi Pengganti, Nasibmu Kini…

Bismillah.

Sebenarya bukan masaku lagi untuk nimbrung dalam hal-hal semacam ini.
Tapi sebagai orang yang pernah merasakan dan terlibat didalamnya, kurasa tidak mengapa jika aku menuangkan sedikit gundah.

Rasa-rasanya situasi semakin memburuk sekarang.
Character assasination menjadi hal yang biasa. Sangat biasa.
Gontok-gontokan depan-belakang bukan barang baru.
Perang dingin dan ghibah-mengghibah seolah teramat absah.
Chaos sih tidak. Tapi tentu ini kondisi yang sama sekali jauh dari sehat.
Lalu apa sebenarnya yang salah dengan ini semua?

5 tahun aku di kampus...
Mau gak mau jadi ikut memikirkan juga.
Katanya, generasi berikutnya adalah cerminan generasi sebelumnya.
Produk gagal kaderisasi kami yang begitu payahkah?
Entahlah.
Dua-tiga-empat dan berkali-kali data harus jatuh ke tangan orang yang tak berhak.
Lalu tersebar luas... bagai barang obralan.
Setelah itu jurus-jurus melumpuhkan lawan makin mendapat angin segar.
Tendang sana, gertak sini.
Telak, tanpa bisa ditolak.
“Apa itu t******* yang suka menggunakan cara-cara kotor dalam berpolitik di kampus?
Gunjing sana-sini, merasa diri paling bersih…”

Astaghfirullah.
Demikian bejatkah wajah yang sudah dibangun dengan susah-payah oleh para pendahulunya?

Sudah terlalu banyak evaluasi yang tak juga berbenah.
Selalu ada permasalahan yang sama dari tahun ke tahun berikutnya.
Tapi tak juga diselesaikan dengan sempurna.
Maka jangan heran kalau sejarah terus berulang.
Permasalahan lama selalu mencuat.
Militansi, kesigapan, ketaatan…
“Basi!“, ujar seorang kawan.
Belum lagi berkas-berkas yang tak terjaga.
Mengapa tak mengambil pelajaran dan acap jatuh ke lubang yang sama?

Senior di kampus pernah berkata...
“Jika generasi berikutnya lebih baik, berarti kepemimpinan hari ini berhasil. Dan di balik mereka ada pemimpin-pemimpin yang hebat,“
Pemimpin yang hebat?
Kurasa tidak juga. Satu generasi berhasil bisa jadi karena beberapa sebab.
Satu, karena mereka punya potensi dan mau belajar untuk berhasil.
Dua, karena mereka difasilitasi oleh sistem yang bagus dan pemimpin yang punya kompetensi serta berwibawa.
Tiga, karena Allah mempermudah dan menghujani berkah.

Entah yang sekarang.
Setiap orang kuyakin punya potensi untuk maju dan berkembang.
Masalahnya, adakah sistem sudah memfasilitasi potensi mereka?
Oke, perbaiki sistem.
Tapi kualitas dan karakter pribadi yang semakin menurun, katanya.
Lalu merambat menjadi karakter bersama, dan mengeropos bersama lamanya usia.
Kalau begitu, benahi dapurnya.
Masalah keberkahan da’wah?
Evaluasi sajalah masing-masing diri kita.

Lalu, niat yang lurus, cara yang ahsan, da’wah yang ramah, terlimpahi berkah dan menjadi rahmat semesta, lari kemana?

Bukankah jika setiap tahun selalu dihadapkan pada problematika yang sama, berarti solusi semakin terlihat terangnya?

Aku jadi ingat cerita orang-orang tua.
Di jaman mereka, konfrontasi berlangsung lebih seru, karena muka berhadapan muka.
Debat sana, debat sini, argumen sana, bantah sini.
Full of exploding energy.
Tapi sesudah itu, tangan tetap berangkulan.
Obrolan santai terus berlanjut di meja makan, persahabatan senantiasa terjaga tanpa sakit hati ataupun dendam.
Gue tau elo siapa. Lo juga tau gue siapa. Kalo kita beda, terus kenapa?

Signifikansi perbedaan sepertinya semakin menajam sekarang.
Topeng-topeng menyembunyikan wajah.
Rupa serigala tertutup seringai basa-basi yang mengundang muntah.
Menjadi berbeda adalah lawan yang harus dibasmi. Cara-cara keji dan kata-kata kotor yang tertuang di blog-blog, friendster, dan berbagai wahana, makin menjamur dan menyampah.

Dimana persatuan yang terwakilkan kepalan tangan dan lagu perjuangan?
Apa itu pergerakan mahasiswa dan jargon-jargon penuh inspirasi?
Kemana larinya jiwa-jiwa yang berusaha membersihkan niat dan mewujudkan kebaikan demi kepentingan orang banyak?

Aku tertunduk dalam sesal dan resah.
Andil sekecil apapun mungkin telah turut menyebabkan semua.
Astaghfirullah...

Baik.
Cuma ini yang bisa dilakukan untuk perbaikan.
Katanya, nasihat sedikit-banyak mungkin dibutuhkan.
Maka kembalilah ke garis perjuangan semula, adik-adikku tercinta.
Berjuanglah demi kepentingan bersama.
Beasiswa untuk kaummu yang papa atas biaya kuliah yang melangit, birokrasi kampus yang tak mempermudah, atau transparansi keuangan universitas yang tak jua tunjukkan kejernihannya.
Korupsi negara, masihkah teringat?
Bencana dimana-mana, sudahkah bergerak?
Terlalu banyak agenda untuk dikalahkan oleh ribut-ribut soal kepentingan!

Teruslah berjalan.
Tegakkan kepala demi niat yang mulia.
Acuhkan segenap kerikil-kerikil kecil yang menggoda tuk disingkirkan.
Bongkah batu di depanmu, itulah masalah sebenarnya.
Biarkan orang lain berkata-kata.
Tapi cukuplah kemuliaan itu dengan kerja konkrit dan amal nyata.
Terus, teruslah berjalan di garis nurani jiwa, tanpa harus teracuni dendam atau prasangka...



~specialToSobat2...Berbenahlah.

Dimana Dunia?

Dunia!
Dimana dunia!
Rumah kami terkubur nyaris tak terlihat!
Desa kami bahkan tak ubahnya peradaban yang hilang sejak ratusan tahun silam!
Mati!
Mati semua!
Tapi dimana dunia saat kami kehilangan segalanya?


“Ibu…
Ada apa dengan rumah kita?
Apakah kita harus pindah?
Mengapa, Ibu?

Aku tak mau pindah.
Aku suka hidup di rumah kita. Aku masih ingin bermain-main di pekarangan rumah.
Aku masih ingin memberi makan ayam-ayam kita yang akan bertelur.
Mungkin lebaran nanti kita bisa makan telurnya, Bu…
Atau aku akan mempunyai banyak anak ayam yang lucu dan menggemaskan.
Aku tak mau pindah. Biar aku tinggal disini saja.
Kalau kita pindah, apakah kambing-kambing kita juga akan ikut serta?
Mengapa kita harus pergi dari rumah kita, Ibu?
Apa salah kita?“

“Sudah, Nak. Jangan banyak bicara.
Sebelum lumpur panas itu menenggelamkan kita, kita harus pergi segera.
Entah apa yang tengah terjadi saat ini. Mungkin Tuhan marah lagi pada kita.“

“Mengapa Tuhan marah pada kita, Ibu?
Apa salah kita?
Aku selalu sholat di mushola dan mengaji bersama Pak Ustadz.
Meskipun aku tak bisa sekolah, aku selalu membantu Ibu memberi makan ayam dan kambing kita. Aku tak pernah melawan pada Ibu ataupun Bapak.
Tapi mengapa Tuhan marah, Bu?
Apakah Tuhan tak suka pada kita yang miskin dan tak punya uang banyak?“

“Nak... Ibu juga tak mengerti apakah Tuhan selalu marah pada kita yang miskin dan tak berpunya. Mengapa selalu kita? Mengapa bukan bajingan-bajingan berdasi yang duduk ongkang-ongkang kaki di kantoran sana? Mereka makan trilyunan uang haram milik negara. Tapi tak sedetikpun mereka mendekam di penjara.
Mengapa selalu kita???
Sudahlah, Nak. Kemasi pakaianmu dan kita pindah sekarang juga.“

“Ibu... Huhuuu.... Aku tidak mau...
Kita akan pindah kemana? Lalu bagaimana dengan ayam dan kambing-kambing kita?
Apakah aku tidak akan makan telur ayam saat hari raya?
Mengapa, Ibu?”

“Berangkat sekarang, Nak! Lihat!!! Lumpur sudah masuk rumah kita!”

“Ibuuuu…aku takuuuutttttttt…”

“Cepat berangkat! Keluar rumah dan cari bantuan!”

“Blepp... Ibbbbuu... aku tak bisa bernapas……blepp……aku tenggelam, Ibu!
Aku tak bisa berenaaaaaannnggg................!!!“

Dunia!
Dimana kalian?
Katakan kalian dimanaaaaa!!!
Kami nyaris mati dan kalian tak berbuat apa-apa!
Kami terusir dari tanah kelahiran tapi tidak satupun membela!
Persetan dengan janji-janji tuan-tuan yang datang!
Kami tidak butuh mulut mereka! Kami tidak butuh ganti rugi yang tak sepadan!
Kembalikan saja tanah kami! Kembalikan desa kami yang tak lagi kelihatan!
Demi Tuhan! Pedulilah!
Ataukah kami harus sadar bahwa persaudaraan hanyalah retorika?
Ataukah kami harus camkan bahwa persatuan hanyalah sandiwara?
Ataukah kami harus buang jauh-jauh segala harap, karena meminta bantuan hanyalah sia-sia?

Bangunlah, dunia!
Saksikan kami yang menderita!
Atau biarkan kami bergerak dengan cara kami sendiri.
Biarkan kami lawan dengan segenap ketidakberdayaan kami.
Tapi jangan salahkan jika kekerasan mengalahkan otak jernih ini,
karena kami bosan dengan segala kata yang tak pernah terbukti!“


~UntukParaPengungsiDiSidoarjoSana...MaafYa,baruIniYangAkuBisa:(~

gambar diambil dari
sini

Proyek Gatot Gak Ya...

Bismillah…


Mau cerita nyesek ya. No complain anymore, please.
Blog juga punya gua gitu lho.

Fuh…
Nyeseknya gara-gara denger si Ikyu membatalkan proyeknya sama aku.
“Dilarang sama MR, Mba indra. Afwan ni ikyu gak bisa bantu. Bukan apa-apa sih, bukan karena proyeknya. Tapi cuma disuruh milih salah satu supaya fokus. Soalnya ikyu disuruh ke depera.”
“Nah, kan. Aku bilang juga apa, Kyu. Kamu sibuk sih...“

Hmhhh...
Kalo gitu kudu nyari orang lain lagi nih. Masalahnya ni proyek bukan hal main-main yang bisa dikerjain sembarang orang. Dan gak bisa dikerjain sendirian juga, mengingat bukan proyek yang ringan. Pilihan kemarin jatuh kepada si Ikyu karena kupikir dia memang cukup kompeten dan punya banyak akses ke pihak-pihak yang dibutuhkan.

Waktu discuss dan wawancara si Winwin juga, dia mendukung.
“Jalan aja terus... Bagus kok,“, katanya.

Sekarang stag sama sekali deh. Sebenarnya ada beberapa orang yang bisa diajakin juga.
Ngajak 1 orang, jawabannya, “Afwan, ana lagi fokus bikin TA,“
Hiyyah.... kaya aku gak lagi bikin TA ajah.

Yang 1 lagi, bisa-bisa aja sih. Tapi aku agak kurang cocok sama beliau. Mungkin karena karakter yang sama-sama keras. Orang kerja bareng juga berantem mulu. Tau dah kenapa. Addda aja yang jadi sumber keributan kalo kita lagi barengan. Lagian kalo gak yang sama sekampus, agak gimanaa...gitu. Ya gak kenapa-napa juga sih.. Sebenernya fine-fine aja. Tapi bekerjasama dengan orang yang frame berpikirnya udah sama (background pola pikir psikologi), akan lebih enak. Lain hal kalo jalan sama anak fakultas lain, kudu penyesuaian lagi.
Apalagi kalau sama orang yang satu itu. Kemarin2 sih udah diskusi dan ternyata nyambung-nyambung aja. Beliau kan jago nulis juga tuh. Analisanya juga bagus. Tapi rasa-rasanya aku punya barrier psikologis sama beliau...

Fiuuu....
So...
Jadi mikir-mikir lagi.
Aseli ni proyek agak berat juga. Eh, enggak deng. Sangat berat.
Serius gak ya mau dibuat?

Yah, positif ajalah.
Mungkin ni saatnya aku ngublek2 TA only.
Kalo Ikyu mundur, emang kudu cari orang lain.
Entah siapa.
Aku sih emang lagi fokus ke skripsi saat ini. Tapi gak pengen yang ini jadi stag sama sekali.
Ya, bagi-bagi proporsi dan skala prioritas juga.
Selinganlah.
Walau udah diomel-omelin sama si Panpan.
Mau minjem Siroh Nabawiyah aja pake diomelin segala. Ntar gak fokus ngerjain skripsinya, katanya.
Huu...

Tau ah.
Ngalir aja. Ntar kalo udah dapet orang lagi, baru dikerjain.
Yuhuu...
Semangat terus, Neng! ^_^v

Oct 27, 2006

Sekali Lagi tentang TTM

Bismillah…

I’ve never been met a woman like her before... (bener ga english-nya?!?)
Ia seorang ibu berusia 40 tahunan. Suaminya –seorang ekspatriat- jauh lebih muda sekitar 8 tahun, dan mereka mengadopsi anak yang sekarang berumur 14 tahun.

Aku mengenalnya sebagai sosok wanita karier yang berhasil. Y, sebut saja begitu, sempat menetap beberapa lama di Inggris untuk menempuh pendidikan S-2 bahasa Inggrisnya. Disana pula ia bertemu suaminya. Mereka, kini sudah menetap belasan tahun di Indonesia, mengembangkan perusahaan training serta satu LSM milik pribadi yang bergerak di bidang pendidikan.

Latar belakang Mba Y bukan psikologi. Dan tentu, ia bukan pula seorang psikolog. Tapi pemahamannya mengenai kejiwaan manusia dan bagaimana ia memperlakukan manusia, rasa-rasanya jauh lebih baik dari seorang psikolog. Jujur aku mengagumi cara hubungan interpersonalnya yang begitu anggun dan hangat.

Baru-baru ini ia mendekatiku.
Perlahan ia bercerita bahwa tengah terjadi perselisihan antara dirinya dan suaminya.
Aku terkejut sekali. Sepanjang 6 bulanan aku mengenal mereka, kulihat kehidupan keluarganya baik-baik saja, bahkan tampak begitu hangat dan harmonis.

Sore itu aku menyimak ceritanya baik-baik di kamar Z, putrinya semata wayang.

“Ia mempunyai TTM (teman tapi mesra –red), yang usianya masih 23 tahun. Wanita itu orang Indonesia, aku bahkan mengenal ibunya. Sekarang ia sedang kuliah di Australia,“

Dadaku bergemuruh kencang.
TTM???? Again????

“Aku gak ingin marah-marah, dan itu bukan caraku. Sama sekali bukan caraku. Aku cuma bisa menyerahkan ini semua kepada Allah. Justru aku kasihan sekali padanya. Dia tidak punya pegangan, sangat tidak beruntung sekali,“

X, suaminya, kebetulan bukan seorang muslim. Sebelumnya kupikir ia seorang Nasrani yang taat. Tapi menurut sang istri, ia lebih tampak seperti tak bertuhan.

“Di saat aku seperti ini, aku bisa sholat, bisa berdoa kepada Allah. Tapi dia tidak. Dan dia kehilangan kendali. Bayangkan, Indra, laptop di taksi bisa hilang. Alasannya karena dia lupa. Itu kan konyol sekali. Waktu di kantor juga, beberapa teman mengadu kalau X terlihat seperti orang linglung,“

Aku terus menyimak kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirnya. Sama sekali tak terlihat nada tinggi, raut muka kesal, atau tangis selama ia bercerita. Emosinya datar dan seolah sedang membicarakan suatu hal yang tidak penting.
Malah kini mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Masalahnya ia tidak menganggap semua ini sebagai masalah. Dia pikir adalah hal yang biasa ketika ia ingin fun dengan wanita lain, meskipun ia sudah beristri. Sementara kita di Indonesia kan tidak seperti itu. Ya sudah...sekarang aku cuma bisa menjalani episode hidup ini. Kita semua kan sedang bersandiwara. Tinggal lihat nanti, gimana Allah mengaturnya...“

Mataku semakin mengabut.

Just for fun? Menyakitkan sekali.
Mom, engkau begitu tegar...hiks...

“Hey, sudah....kenapa menangis?“
Iya ya. Kok malah jadi aku yang nangis... bodoh banget deh.

“Enggak, Mba... aku cuma terharu... Mba tegar banget ya...“ ujarku sambil mengusap lembut tubuhnya.
“Aku gak tau kalau aku yang ngalamin seperti Mba...“

“Yah...alhamdulillah. Aku gak mau stress, Ndra. Ngapain dipikirin. Aku punya banyak pekerjaan. Kalau aku jatuh, aku kalah. Sebenarnya kasihan sekali dia. X itu orang yang sangat memegang teguh kejujuran. Sekarang prinsipnya sendiri ia langgar. Sampai ia pergi dari rumah kemarin, aku tau dia sangat merasa bersalah. Tapi ya namanya setan lagi menguasai dirinya, ia belum sadar.“

Obrolan berhenti sampai di situ.
Ia hanya ingin aku lebih merangkul Z, anaknya yang belajar private bersamaku, agar tidak terlalu sedih.

Di perjalanan pulang dari rumahnya, aku tak habis berpikir.
Bagaimana bisa ia menghadapi semua ini dengan begitu tenang?
Ataukah ia sudah menghabiskan energinya tidak di hadapanku, sehingga ketika berbicara denganku ia tak lagi meluap-luap? Ataukah ini efek karena ia rajin berpuasa dan berlatih yoga? Tapi sepanjang yang aku tahu, Mba Y memang bukan seorang yang emosional. Menghadapi anaknya yang remaja dan begitu manja saja ia tak pernah marah tak terkendali. Bayangkan, teriakan-teriakan putrinya yang temperamen itu dihadapinya dengan suara lembut dan pelukan sayang!

Ah...
Aku tetap tak menemukan jawabnya.
Cuma ada segunung lagi kekaguman yang tiba-tiba meraja.

***

Beberapa hari berikutnya, perbincangan kami berlanjut lagi saat makan malam setelah berbuka.
Sore itu suaminya pulang ke rumah dan mengambil suatu barang. Begitu berpapasan dengan Mba Y yang baru saja pulang kantor, kulihat mereka berdebat di dekat mobilnya.
Ketika Mba Y sudah masuk rumah dan X sudah pergi, aku bertanya padanya dengan sangat hati-hati.
“Is it better now, Mom?“

Ia hanya menghela nafas dan menggeleng.
“Tadi, dia sampai rebutan mobil... aku kan harus pakai karena aku ke kantor. Sementara Z setiap pagi juga harus diantar. Aku tanya, atau aku naik taksi saja? Tapi dia tidak mau begitu... Dia bilang dia juga berhak atas mobil itu. Ya memang kan itu milik bersama-sama. Sekarang hal-hal sepele saja bisa jadi besar...“

Aku jadi ikut-ikutan menghela nafas.

“Duh... gak tau deh. Kemarin dia juga mempermasalahkan rumah ini. Katanya dia berhak tinggal disini. Sekali-kalinya kemarin itu aku berteriak. Yang menyuruhnya pergi itu siapa? Apa dia mau aku dan Z pergi dari sini? Tapi aku akan bertahan. Aku tidak pernah menyuruh dia pergi, itu keinginan dia sendiri. Pembantu kami juga tahu hal itu,“

“Hmm... Mba... tidakkah Z menjadi alasan yang dapat membuatnya sadar?“

“Dia tetap memperhatikan Z. Dia sayang pada Z. Sesekali dia datang, mengunjungi Z. Aku sih fine-fine aja. Ya namanya orang lagi gak sadar, gimana sih Ndra? Hal terpenting dalam pernikahan itu kan komitmen. Aku sendiri berkomitmen. Tapi entah dia...“

“It means, dia tidak berkomitmen?“

“Yah, dia gak sadar sama sekali dengan kesalahannya. Dia pikir, ’aku sekarang mau senang-senang dengan wanita lain, so what?’, begitu.“

Astaghfirullah.... Menyebalkan sekali....

“Mmm....Mba, kupikir suami itu milik kita lho Mba...tapi ga tau sih...kupikir adalah hak kita untuk mempertahankannya. Mungkin kebanyakan orang akan berkata pada si perempuan, please, jangan ganggu suami orang...Mba gak mau coba lakukan itu?“ aku berkata agak gemas.

“Ya...aku tahu itu. Tapi buat apa? Aku bisa aja menghubungi cewek itu, orang aku kenal juga sama ibunya kok. Tapi bagiku, sudahlah…aku gak mau nyamperin atau apa. Aku masih punya harga diri. Dan aku harus pertahankan integritasku. Bisa habis energiku. Tinggal si X-nya ini yang harus dibenahi… Bayangin aja. Dia sms-an di depan aku! aku bilang aja, Tolong donk, hargai aku...”

“Agak sulit ya Mba, untuk memperbaiki orang yang ia sendiri tidak menyadari kesalahannya…”

“Ya, memang. Tapi ya sudahlah. Aku tinggal menjalani sandiwara hidupku saja. Terserah, maunya Allah seperti apa… Yang terpenting dalam hidup kita adalah hubungan kita dengan Allah, ya kan? Manusia tidak ada apa-apanya…”

***

Waktu terus beranjak dalam minggu-minggu yang padat.
Ramadhan kali ini dinikmatinya tanpa kehadiran sang suami yang kini tinggal di apartement.
Tapi apa komentarnya?

“Aku merasa jauh lebih tenang... Luar biasa... Allah sudah kasih aku nikmat seperti ini. Kalau ada dia, aku tidak bisa mengadakan momen buka puasa bersama sesering mungkin bersama teman-teman di rumah. Dia juga selalu komplain dengan bunyi-bunyian dari masjid.... Alhamdulillah...“

Tak sedikitpun ada gurat duka di wajahnya.
Ketika kutanya resep di balik ketenangannya selama ini, jawabnya cuma...

“Ikhlas aja, Ndra. Apalagi yang bisa kita lakukan?“

“Tapi ditinggalkan dan dikhianati oleh orang yang kita cintai... itu kan sangat menyakitkan, Mba?“

“Oh ya jelas. Tapi untuk apa kita berlarut-larut disana? Hidupku masih panjang. Aku harus memikirkan Z, aku harus mengurusi perusahaanku, dan masih banyak pekerjaan lain yang harus kulakukan. Jujur aja, aku nangis cuma 1 jam ketika itu. Sesudah itu alhamdulillah aku merasa sangat tenang... Aku gak boleh dikalahkan oleh masalah ini.“

“Gimana caranya biar ikhlas, Mba? Supaya bisa tenang seperti itu?”

“Aku rutin sholat tahajud. Di dalamnya aku baca surat Al Ikhlas berulang-ulang. Coba lihat artinya..."


"Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu... "

"Great. Dan itu benar-benar memberiku energi luar biasa.
Tingkatkan terus energi positif kita, dengan sholat, dzikir, dan sebagainya. Lalu posisikan diri kita berada di luar masalah kita. Meskipun orang lain melihat masalahku cukup berat, tapi i’m fine. Karena aku gak pernah mau terlalu jauh tenggelam. Kalau X harus pergi, ya sudah. Aku toh hanya menjalani sandiwaraku. Hidup ini cuma kumpulan sandiwara, kan? Aku tetap menerima dia jika dia pulang ke rumah. Aku tetap tanyakan kabarnya kalau dia menelpon, aku tetap tawarkan makan jika bertemu di rumah. Kita sekarang lebih seperti teman saja. Karena... ya bagaimana, hatinya sudah diberikan pada wanita itu. Tetap saja berbuat baik. Masalahku mau selesai atau tidak, let’s see. Biarkan Allah yang mengaturnya.”

“Kedua, sering-seringlah kamu diam, lalu tarik nafas dalam-dalam, dan katakan pada dirimu sendiri, I’m ok, I’m fine, tetap positif…dan sebagainya. Sugestilah dirimu sendiri. Nanti kamu akan dapatkan ketenangan itu. Mau masalah seperti apa beratnya, jalani saja. Yang penting kita harus pastikan bahwa kita baik-baik saja.”

Aku mengangguk kuat.
“Ya... untungnya Mba juga punya pegangan ya. Masalah nafkah gak terlalu bergantung sama dia…”

“O iya. Buat sharing aja, temanku yang tadinya bekerja dan setelah menikah dia berhenti, saat dia ribut dengan suaminya, dia gak bisa berbuat apa-apa. Makanya aku sangat menyarankan wanita itu punya penghasilan walaupun sedikit.“

Ok. Aku sangat setuju dengannya. Sesulit apapun, wanita harus kuat dan survive, walau kebanyakan orang mengecilkan perannya dalam kehidupan ini.

Well...

Secuplik kisah hidup yang mungkin bisa diambil pelajarannya buat kita.
Hmhh… jadi makin takut beranjak ke jenjang pernikahan karena sudah banyak mendegar cerita buruk dibaliknya. Tapi… lihat ajalah rencana Allah. Setidaknya aku sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika aku menghadapi situasi berat seperti yang beliau alami.

Fiuh…
Masih adakah pria sholih nan setia di luaran sana???












Ramadhan Berpulang

Bismillah.


Apa yang bisa menggantikan 30 hari Ramadhan saat takbir sudah menggemakan kebesarannya di segala penjuru dunia?

Penyesalan tidak pernah sekalipun berguna, kecuali ia membangkitkan semangat perbaikan dan tekad untuk tidak lagi-lagi mengulang kesalahan.

Cuma harapan, untuk kembali bertemu Ramadhan tahun depan.
Cuma doa-doa khusyuk, agar Allah panjangkan usia demi perbaikan berkesinambungan.
Cuma rasa takut yang menerabas segala angkuh, agar ampunan-Nya menjadi kenyataan.

Menyingkirlah, wahai jiwa-jiwa penuh sesal.
Sebenar-benar peperangan telah menyongsong di hadapan.
Target-target yang tak tercapai, segala ibadah yang terasa tak optimal,
Semoga tak membuat kita semakin lengah untuk senantiasa istiqomah.
Sesungguhnya keberhasilan Ramadhan tercermin dari konsistensi ibadah di bulan-bulan berikutnya.
Apalah arti ketercapaian targetan, jika lepas hari raya ibadah kita kembali merosot tajam?

Menyingkirlah, wahai duka dan penyesalan.
Hadapi saja sebenar-benar perjuangan di 11 bulan ke depan!


“Tidak ada jaminan diterimanya Ramadhan kita.
Sebagaimana tidak ada jaminan apakah esok kita masih melihat dunia.
Maka teruslah menghamba dengan sebaik-baik taqwa.
Agar ampunan dan ridho-Nya tak lagi jadi harapan semata.
Taqobbalallohu minna wa minkum.
Maaf lahir dan bathin…”


HAPPY EID 1427 H, ALL...


Note : makasih banyak buat temen2 yang udah sms-in aku... Banyak pisan euy... jadi terharu. Bahkan dari orang2 yang udah aku lupain juga dia masih inget ajah...(bayangin, temen satu kelompok waktu kul di ekstensi 2 tahun lalu! Pun Bem-ers yang gak pernah lupa...) aku tau kok kalian sayang sama aku... Heheheh...
Iya insya Allah dimaafkan. Maafin aku juga yaa teman-temaaaan... may Allah bless us!

Oct 20, 2006

Happy Eid!



Taqobbalalloohu minna wa minkum
Shiyamana wa shiyamakum
Selamat menyongsong sebenar-benar
jihad di 11 bulan ke depan
Semoga meraih ketaqwaan
yang diridhoi Ar Rohman
"Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H"
Mohon maaf lahir dan bathin

Oct 18, 2006

Kembali ke Masjid



Saat langkah tersendat di kehidupan
Letih karna debu kealpaan
Wajah tak lagi pancarkan keimanan
Tertatih tiada tujuan

Lembar demi lembar hari kulewati
Namun ketenangannya tiada pasti
Mencari kini tempat yang mencukupi
Tuk susun langkah yang lebih pasti

Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Sujudlah tawadhu di hadapan Robb-mu

Kembali ke masjid teduhkan hatimu
Basuhlah jiwa yang lusuh karena debu
Kembali ke masjid segarkan jiwamu
Tercurah hanya tuk keridhoan Robb-mu

(Kembali ke Masjid - Nuansa)

***

SELAMAT BERI'TIKAF DAN MENJELANG LAILATUL QODAR....
Saatnya kembali pada Ilahi, menuju taqwa diri.
gambarnya diambil dari ijtihad.org

Oct 10, 2006

Everyday I Love You


I don't know, but I believe
That some things are meant to be
And that You'll make a better me
Everyday I love You

I never thought that dreams came true
But You showed me that they do
You know that I learn somethng new
Everyday I love You
'Cos I believe that destiny
Is out of our control (don't you know that I do)
And you'll never live until you love
With all your heart and soul
It's a touch when I feel bad
It's a smile when I get mad
All the little things I am
Everyday I love You
Everyday I love You more
Everyday I love You
'Cos I believe that destiny
Is out of our control (don't you know that I do)
And you'll never live until you love
With all your heart and soul
If I asked, would You say yes?
Together we're the very best
I know that I am truly blessed
Everyday I love You

And I'll give You my best
Everyday I love You.
(Everyday I Love You - Boyzone)
***
Allah...
lagu ini untuk-Mu.
hiks...

Lelaki sholih itu…

bismillah.

Lelaki sholih itu, berusia belia.
Tapi setiap adzan menggema, ia bergegas menunaikan sholat di masjid dekat rumah.
Romadhon ini, terlebih lagi.
Dari shubuh sampai tarawih, tak pernah ia absent tanpa alasan berarti.

Wajahnya tak terlalu tampan memang.
Setidaknya, jika dibandingkan dengan beberapa model kenamaan.
Baginya, yang penting ia berpenampilan rapi dan bersih.
Baju koko, kaos, celana katun, atau berpadu jaket dengan emblem bendera Palestine di dada kiri.

Aku tak habis pikir dengan dirinya selama ini. Mungkin lebih tepatnya, bersyukur dalam-dalam.
Ia tidak suka menghabiskan waktu di mall atau jalanan sebagaimana teman sebayanya.
Ia lebih suka menyimpan uang sakunya di kamar, untuk sewaktu-waktu dapat ia gunakan.

Suatu hari, ia menghampiriku.
“Sekolah akan membangun masjid.” Ujarnya.
Aku bertanya, “Lalu?“
“Ya...dimintai sumbangan...“
“Kamu akan kasih berapa?“
Lalu dari lisanku mengalir deras kalimat demi kalimat tentang pahala jariyah yang takkan terputus. Salah satunya, bisa berwujud sumbangan untuk pembangunan masjid sekolahnya.
Ia terdiam dan tampak tak merespon.
“Berapa yang akan kamu sumbangkan?” tanyaku.
“Hmm....dua ratus ribu.“
Mataku membelalak.
Ia masih kelas 2 SMP ketika itu. Dan ia rela menyumbangkan uang sakunya yang telah ia kumpulkan. Nyaris tanpa pertimbangan! Justru sang bunda yang malah memberatkan.
“Kamu yakin akan berinfak segitu? Dua ratus ribu terlalu besar...“
Tapi tekadnya sudah bulat. Dua ratus ribu itu ia sumbangkan untuk pembangunan masjid sekolah.

Aku menghela nafas. Aku yang baru saja memberinya semangat untuk beramal jariyah, malah tak berbuat apa-apa. Terlalu banyak urusan yang menghalangi pikiran picikku untuk mengadakan perjanjian jual-beli dengan Allah.

Dan dua ratus ribu rupiah kemudian mengalir dari tangan anak usia kelas 2 SMP, bukan untuk membeli berbagai baju, mainan, ke tempat games playstation, atau hal-hal sia-sia lainnya. Tetapi untuk infak pembangunan masjid sekolah.

Itu, sekitar 4 tahun yang lalu.
Dan sekarang, ia sudah duduk di kelas 2 SMU dan aktif dalam berbagai kegiatan.
Belakangan aku baru tahu bahwa ia diminta menjadi ketua remaja masjid dekat rumah. Belakangan lagi rekan ibunya memberitahu bahwa anak itu pernah berceramah di depan jamaah masjid tanpa teks ataupun bahan di tangan, sehari setelah ia dimarahi habis-habisan oleh bunda dan kakak pertamanya.

Tetapi sejarah seperti menjadi berulang.
Hambatan demi hambatan menahan laju fitrahnya yang tengah gemar berdekatan dengan kebaikan. Satu-dua orang rumah mulai menentang, mempertanyakan berbagai kesibukan. Berusaha menahannya dari melakukan “hal-hal tidak jelas“ di luar rumah.
Aku yang pertama kali menjadi pembelanya.
Kukatakan pada mereka, aku tahu apa yang dia lakukan.
Toh dia tidak berhura-hura, tidak mengkonsumsi narkoba, bahkan menyentuh rokok saja rasa-rasanya tidak pernah. Jadi kenapa segala kegiatan positifnya harus dihalang-halangi?

Seketika itu juga aku seperti baru sadar.
Mengapa masa laluku jadi seolah terpampang sekarang?
Haruskah sejarah benar-benar berulang?
Betapa Allah begitu sungguh-sungguh mendatangkan ujian ketika iman ingin melangkah naik ke pijak berikutnya.

Tapi ini memang jadi ujian kami.
Kami : aku dan dia. Bukan lagi aku seorang. Setidaknya tidak lagi sendirian seperti beberapa tahun silam. Ya, betapa banyak kesyukuran yang harus dilakukan. Bagaimanapun, mendapatkan teman seperjuangan adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan. Juga menjadi satu kebahagiaan, agar semangat menjaga diri dan keluarga dari api neraka tak mudah surut ke belakang.

Selamat berjuang, adikku sayang.
Semoga Allah menjaga fitrahmu senantiasa.
Teruslah berbuat baik, hingga kaki kananmu menginjak surga...


Sabarlah, adikku sayang.
Pertolongan Allah pasti kan datang.
Dari arah yang tak terkirakan.
Sabar dalam penantian.

(Suara Persaudaraan)

***

“Jika engkau melihat orang yang lebih muda, berpikirlah bahwa dosa-dosanya lebih sedikit daripada dirimu. Dan jika engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, berpikirlah bahwa ilmunya lebih banyak darimu“
(Quotes-nya sahabat Nabi saw, namanya lupa)

Buka Puasa @ rumah almh. neng iis

Bismillah…

Alhamdulillah…
Jumat 2 pekan lalu berkesempatan buka puasa bersama teman-teman seperjuangan di rumah almarhumah Iis Nur ‘Aisyah. Ya, beliau adalah saudari kami yang sudah lebih dulu dijemput Allah. Demi menjaga silaturrahim dengan keluarga beliau, kami pun berbuka puasa di rumahnya. Acara ini udah lama disosialisasikan oleh Bung Parlan, someone who cares us much (uhuk…).

Seperti biasa, aku dan dia sempat bernego. Dia bilang, cewe-cewenya mabit (bermalam –red) aja sama mamanya Iis, khawatir kemaleman. Tapi aku usul gak usah mabit, karena cewe-cewe memang tidak dianjurkan untuk mabit-mabitan. Kalau mau tarawih juga gak papa, asal ada jaminan para muslimah diantarkan pulang sampai rumah ^_^. Abis rumahnya jauh sih, di daerah Kelapa Gading. Sementara most of women tersebar antara Depok, Tangerang, Cipinang, Duren Sawit, dan seterusnya. Lobi-lobi dengan bung Parlan masih berlanjut lewat sms. Berawal dari beliau yang mengingatkan hari kepastian ifthornya. Tapi aku juga ada undangan ifthor sama adik angkatan. Ini juga gak kalah penting, mengingat mereka sulit banget kalo dikumpulin buat mentoring. Kalo sekarang malah mereka yang ngajak, kan kesempatan langka tuh. So aku minta diundur deh acara ifthor di tempat si Iis. Tapi namanya juga Parlan, dia bilang, “usul Indra untuk tidak mabit yang disetujui. Ifthor tetap tanggal 29!”. Lihat, dengan tanda seru. Yahhh…begitulah beliau…bukan Parlan namanya kalau mudah mengalah (Piss, Om Gondrong!:P). Jadilah aku yang melobi adik-adikku untuk mengundurkan buka puasa barengnya. Untung berhasil dilobi! Fiuhh…alhamdulillah.

Tadinya yang diundang sekitar puluhan orang. 50-an ada-lah…Tapi sampai H-2, yang konfirm bisa ikut cuma 10 orang! Itupun panitia-panitianya juga, a.k.a orang-orang tua -_-‘ padahal aku udah kebat-kebit mau mesen konsumsinya. Kalo kebanyakan, bisa dikasih orang, bisa mubadzir juga. Kalo kurang, bisa beli lagi…tapi jadi ribet. Paling riweuh kayanya kalo jadi sie konsumsi yah?!?! Mana pas hari-H aku baru bisa dateng sore banget lagi. Nuyi pun begitu. Akhirnya tugas teknis perkonsumsian didelegasikan ke Ulfah, yang relative lebih lapang waktunya.

H-1 malam hari, aku, Nuyi, Parlan, Ulfah, Perdana, masih sibuk berkoordinasi. Gimana pesertanya? Berapa yang ikut? Konsumsinya? Es buah apa belewah? Snack-nya gimana? Acaranya apa aja?

Aku juga kebingungan mesen makanan. Masalahnya kalo warungnya jauh ngambilnya juga susah. Jadi aku menghubungi teman-teman yang rumahnya deketan sama rumah Iis, yaitu Anin dan Inka. Alhamdulillah Inka mau cariin. Padahal waktu malam itu aku telepon, dia juga baru pulang. Wah…jadi gak enak…
begitu Inka nanya sama mba-nya (pembantunya kali ye?!?!), Inka bilang, mereka bersedia memasakkan. Wah wah…jadi tambah gak enak nih….
Mesen menunya nasi, ayam, sayur capcay, lauk macam orek tempe atau apaa gitu, kerupuk, sama jeruk/semangka (ini juga kalo bisa), ditaruh di dus makanan, dengan budget 5 ribu rupiah. Sebenarnya terlalu murah sihh…tapi mau gimana lagi, daripada entar mintain infaknya juga kebanyakan…. Untungnya mba-nya Inka baek banget… Inka-nya sendiri sempet-sempetnya ngurusin aku, padahal dia mau berangkat ke Jogja hari itu. Duuuhh, inka-ku sayangg…jadi terharu… I love u much, dek! muah!

Begitu janjian sama Indah Jayko, nungguin bisnya lamaaa….pisan. Berhubung aku dan indah tidak bisa janjian di satu tempat yang sama, so Indah bilang akan miskol aku begitu dia udah naik bisnya. Jadi nanti bis yang dia naikkin akan ngelewatin aku, dan aku langsung naik. Tapi masya allah…tu bis aseli langka banget. Sampe resah-jengah-gelisah nunggu di halte. Bukan apa-apa, khawatir sampe sana telat maghribnya. Belum macetnya. Depok-Gading kan jauhnya amit-amit.Aku berulang kali melototin rute bis yang lewat. Kata Indah sih naik 84. tapi ada 82 lewat nih...rutenya ke Priok. Eh, sapa tau lewat. Priok sama Gading kan ga terlalu jauh. Si Indah juga udah miskol... Maybe dia bete juga nunggu 84 ga lewat-lewat, trus naik yang ini.

Sampe di dalam bis....Mana si Indah? Kok gak keliatan batang idungnya...Tapi ni ke Priok kan? Pasti deketlah ke Gading. Aku santai aja mengingat dah biasa naik bis dan nyari-nyari alamat yang aku belum tahu.Tapi… Sms aja deh.

“ Ndah, lo dimana? Gw udah naek 82 neh.“
Sms berbalas.
“Ndra, naek 84, bukan 82. kayanya lo salah naek bis deh...“
Waaa....
Sms bunyi lagi. Kali ini dari Bung Parlan.
“eh, rumahnya Inka donk. Alamatnya dimana yang lengkap. Plis dong, plis..”
Dooh…ni gw lagi nyasar malah ditanya alamatnya inka. Mana gw tau…
“telpon aja rumahnya bla..bla..bla…blg, temennya Indra yang mau ambil makanan. Atau ama Nuyi aja, dia tau kok rumahnya…btw sy msh di depok ni…bisnya lama bgt..”

Aku menghubungi Pras segera, karena dia tinggal di daerah Priok, jadi aku berharap dia bisa nunjukin jalan. Tapi poor I am… dia juga gak tau daerah rumahnya Iis dilewatin mobil apa.
Akhirnya nanya ibu-ibu di sebelahku.“kalo ini mah gak lewat. Tapi lewat tol atas terus sampe terminal Priok sana. Saya aja harus balik arah lagi nanti…”

Hah…yasudlah. Kayanya kudu turun aja nih. Mumpung belum jauh.
Bisnya si Indah pasti juga masih di belakangku. Daripada ambil resiko luntang-lantung gak jelas gini... khawatir gak kekejar maghribnya juga kalo pake acara nyasar.

“Ndah, gw dah di lenteng. Bis lo di belakang gw kan? Gw turun nih sekarang,“
“Ya udah turun aja. Masih di UP kok (univ. Pancasila –red)“.
Gak sampe 10 menit nungguin bis 84, akhirnya aku naik.
Masya allah...beda banget sama 82 yang barusan aku tumpangin. Kalo yang tadi bisa duduk nyaman dengan AC, yang ini penuh banget, bow...
Eh alhamdulillah ada yang ngasi tempat duduknya. Mungkin kasian ngeliat aku yang kesusahan bawa tas sambil nenteng-nenteng 2 buku tebal. Tengkyu ya, mas.

Sekarang sms indah lagi.“aku dah naik 84 niy. Di belakang.“
Indah membalas.“Gw juga di belakang. Bangku ke 4 dari belakang.“
Aku mencari-cari. Halahh...mana keliatan kalo penuh begini. Udah deh, ntar aja. kalo turun pasti juga liat.

Tau-tau dia miskol.
“Halo?“
Hlaa....anaknya nengok...
“Heh bocah...“ Seruku sambil nyengir.
Ternyata cuma beda 1 bangku doang, sodara-sodara....
Fuh...tenang deh sekarang.

***

Sampe deket rumahnya Iis, parlan sms lagi.
“udah sampe mana?“
Aku gak balas. Dikit lagi juga sampe.
Begitu kita tiba di depan pintu....
“Assalaamu’alaykum! Sudah sampe siniiii…^_^”
Perdana, Herik dan Parlan duduk manis meyambut dengan berbagai hidangan.
“Akhwat-akhwat pada kemana?“
“Lagi pada sholat... eh udah buka belum? Tasnya taruh situ aja…”
Kita pun bergegas sholat. Laper juga euy…cuma buka sama frutang tadi di jalan…Tapi sholat dululah…udah hampir setengah tujuh.

Pas aku lagi wudhu, Nuyi nongol.
“Macet gak? Aku juga telat tadi sampe sini…”
Dan kita masih sempet-sempetnya mentertawakan kekonyolanku yang pake salah naek bis segala :D

Usai sholat di masjid, kami kembali ke ruang tamu (Ayahnya Iis mengelola sebuah yayasan dan masjid. Jadi rumahnya satu komplek sama masjidnya itu).
Ternyata rame juga, walaupun bisa dihitung dengan jari.
Ada Ulfah, Ita, Fathur, Purwo, plus 3 serangkai tadi : Dana, Herik, Parlan, also Si Biggy Azman. Tumben lu bisa dateng, Man... Subhanalloh sekali... Bukan apa-apa, soalnya kalo ada acara ngumpul2 gini, yang paling jarang dateng tuh si Azman. Entah sibuk entah ada acara apaan tau...

Alhamdulillah... bisa silaturrahim lagi sama semuanya.
Walau cuma sedikit, tapi rasanya nikmat sekali bisa kumpul sama sodara2 yang dah lama gak ketemu.
Sambil menikmati es buah, aku nanyain kabar makanannya Inka.
“Gimana tadi, ketemu kan rumahnya?“
“Ketemu... sama kandang soang... Kandang soang apaan...gak keliatan gitu..“
Anak-anak serentak tertawa mendengar jawaban Parlan. Tapi aku bingung.
“Lho.....kok kandang soang?“
“Kan nelpon rumah Inka... trus orang rumahnya bilang, rumahnya yang ada kandang soangnya. Ya kita nyari-nyari, nanya sama orang, rumah yang ada kandang soangnya. Gak ada yang tau...“
“Oooh...“ aku jadi ikutan ketawa. “Kirain tadi bareng Nuri,“
“Orang aku juga sampe sini jam setengah enam gitu...“ kata Nuy.

Belakangan Anis dan Angga datang. Anis sampe bela-belain naik taksi dari Pasar Rebo untuk menghindari kelamaan di jalan.Celakanya, Fajar baru aja aku kasih tau jam setengah 5 tadi. Sebenarnya dari kemarin aku inget banget mau ngasih tau dia, tapi kelupaan mulu mau sms. Mana si Indah bilang, Fajar merasa tidak dianggap lagi sebagai karena jarang dikasi tau kalo ada acara ngumpul-ngumpul gini!
Wah...wah...wah...bisa kacaww ini...
Akhirnya Fajar nelpon. Tapi putus-putus. Trus dia sms, ngasitau kalo ga bisa dateng. Yah....Fajar.... Nasibmu, nak...

Selama itu, kami makan-makan, foto-foto dan ngobrol sama orangtuanya Iis.
Dan berhasil (lho?!) ngecengin Fathur yang didoain supaya cepet dapet jodoh.
Dasar anak-anak jomblo -_-'

Pas pulang, spt sudah disepakati di awal, yg bawa mobil harus bersedia mengantarkan para akhwat pulang ke rumah masing-masing. dan seperti biasa, Dana jadi sopir semalaman ;)
Selama perjalanan itu kami ketawa-tawa dan ngobrol macem-macem. Herik tetap dengan gayanya yang cool, kalo gak ditanya gak akan ngomong.dan wanita-wanita di belakang : aku, anis, nuyi dan indah jayko, berbincang panjang lebar mengenai apa saja yang bisa kami obrolkan. begitulah, namanya juga melepas kerinduan :)

gak lama Fajar nelpon dan berbicara satu-persatu dengan para akhwat.
pake ngambek segala dia... sapa juga yang gak nganggap elu sebagai Bem-ers? kan emang bukan Bem-ers lagi karena udah lengser ;p
Lha wong aku aja jarang dapet info kalo ada ngumpul-ngumpul. gimana aku mau jarkom ke dia, coba... (i know u read this, Jar. Gak usah ketawa-tawa lu yeh... Awas aja ngambek lagi...)

sesekali perbincangan kami diselingi istighfar dan takbir karena Dana ngebut gak inget-inget bawa penumpang. bukan Perdana namanya kalo gak ngebut, kata Nuy.
Aku jadi terkenang saat pergi ke satu daerah bertiga Nuy dan Iis, dengan disopiri Dana juga. selama beberapa jam perjalanan waktu itu, isinya mulai dari tebak-tebakan, diskusi, debat, sampe rapat yang dibuka dengan basmallah dan diakhiri doa penutup majelis.
huuhuu.... jadi kangenn....

Well...Malam itu aku benar-benar merasakan nikmatnya bertemu saudara-saudara seiman.
Jika bukan karena Allah yang begitu Penyayang, niscaya tak kan dapat kami satukan hati-hati ini dalam perjuangan di jalan-Nya.

Kekalkanlah ya Allah, ikatannya...
Alhamdulillaahirobbil 'aalamin.

***

bukankah rosul telah bersabda
sesungguhnya mukmin bersaudara
mari bersama kita membinanya
agar teguh umat yang mulia

(Persaudaraan-Uswah)