Oct 24, 2008

Jilbab Panjang atau Pendek, Hayoo...


bismillah...



Jilbab?
Pake yang panjang atau yang pendek ya...
Yang panjang aja deh.
Hayo...niat pake yang panjang buat apa nih...
Biar dibilang 'akhwat solehah'-kah...
atau biar gak keliatan bentuk tubuhnya...
atau biar keliatan lebih anggun, lebih santun, lebih cewek...
atau biar dibilang lebih pinter agamanya daripada yang jilbabnya pendek...
atau biar lebih cantik...
atau biar apa hayoo...


***


Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik paling kecil” Para sahabat bertanya : “Apa yang dimaksud syirik paling kecil itu?”
Beliau menawab : “Riya`”

(HR Ahmad no 22742 dan Al Baghawi.
Syekh al Albani berkata : sanadnya baik (jayyid) (lihat Silsilah Hadits Shahihah no 951)




~jeweranBuatDiriSendiri
Friday, 24.10.08, 10:09pm


Oct 19, 2008

[no title]


Bismillah.
Lembayung menggurat.
Rona merah terbias berpadu kuning mentari, memendarkan eksotika cahaya yang seringkali mampu menggubah hati tiba-tiba, menjelma pujangga. Tenggelam sang surya ke peraduan, membiarkan abu-abu kemudian menutup cakrawala, menyambut selimut temaram sang malam. Dan panggilan Tuhan lalu berkumandang.
Tertipu kita. Selalu muncul sangka bahwa matahari berpulang dan besok ia akan muncul lagi menjalankan tugasnya. Tapi sekali-kali tidak. Nyatanya himpunan pijar api itu tak pernah berhenti terbakar. Dan ia tak pernah memudar. Hanya saja bumi yang memutar posisi. Berkeliling tak henti. Menaklukkan retina yang tak dapat melongok lebih dalam kemana siang atau malam turun atau tenggelam. Menyuguhkan waktu yang sedemikian tertata rapi, sekedar menegaskan bahwa siangmu sudah selesai, atau pagimu baru saja dimulai.
Walau demikian, binar tajam itu tak dapat menunggu. Ia hanya peduli dengan apa yang tertera di depan mata. Perputaran buana masih setia dengan 24 jamnya, tapi tak sudi ia memikirkan kemana mentari menghilang, dari mana pula rembulan selalu datang. Ada jutaan tugas yang lebih penting dari sekedar menulis roman, melukis senja, atau berasyik-masyuk menunggu purnama.
Jika tugasnya hanyalah terbang dan terus terbang, mengapa ia harus berpikir dan duduk santai sementara ada yang menunggu dengan lapar tertahan? Secepatnya, sebelum rembulan datang, ia harus pulang membawa buruan. Tak apa jika berlelah-lelah di waktu pagi dan siang, meskipun harus berulang kali memutar haluan.
Hari itu langit berpadu dalam biru dan putih yang berkilauan. Kiranya optimisme menggetarkan angkasa dan bumi, karena atas dasar kasih ia harus pergi mencari. Lembaran demi lembaran awan yang bertebaran, memaparkan terbentangnya sekian banyak ruang berikhtiar.
Tapi sayang.
Setengah perjalanan, nalurinya mencium firasat yang membuat hati tak nyaman. Ada hitam menggulung di kejauhan. Ada bau sejuk dingin yang tercium, dan udara seketika menjadi lembab pekat, bergumul dalam resah yang kian menguat.
Dan hujan mulai berjatuhan.
Tapi ia tak punya alasan untuk kembali pulang.
Kaki kukuhnya telah melangkah. Sepasang sayapnya telah mengepak gagah. Dan pekiknya telah membahana, menebar gigih yang menerabas keraguan atas segala rintangan. Ada yang menunggu. Dan ia tak mungkin kembali tanpa hasil signifikan.
Terbang ia.
Dan tak dihiraukannya tetes demi tetes yang semakin mengair bah dari langit, juga kilat yang menyambar-nyambar tubuh hingga menembus ke kulit.
Ada yang menunggu. Ada yang menanti. Dan tak mungkin ia kembali tanpa hasil meski sedikit.
Tapi ia memang hanya mampu berusaha. Kuasa Penciptanya jauh lebih kuat dari sekelumit ikhtiar, lebih rumit dari apa yang selama ini ia rencanakan. Gempita badai hari itu terlalu sulit ditembus. Guntur yang bersahut-sahut serasa menulikan telinga yang mulai kuyup. Apakah ia harus berkeras-keras mendapatkan makan, sementara jika diperolehnya pun, belum tentu ia akan selamat kembali pulang?
Dikepaknya lagi sayap kokoh itu. Ia tahu tugasnya hanya memaksimalkan usaha. Selebihnya, biarlah Yang Maha Melihatnya hari itu yang menentukan hasilnya.
Tetapi angin mempermainkan tubuhnya yang semakin limbung, lalu gelegar guntur nyaris menyambarnya tanpa ampun, membuat ia berkelit, dan tak lama terhuyung jatuh menukik.
Ah. Barangkali kali ini ia memang harus menyerah. Adalah konyol untuk memaksakan diri memenangkan hati, tapi setelah menang ia mungkin mati. Untuk apa berarti kini, dan esok yang tersisa hanyalah penyesalan di hati?
Lunglai, tubuhnya yang kehabisan tenaga memutar arah. Jika tidak hari ini, tentu ada esok hari. Jika gemuruh petir itu sulit tertandingi kini, barangkali esok malah muncul pelangi.
Pulang, tiba ia di hadapan cintanya.
Adakah apologi yang dapat dikemukakan tanpa harus berdusta?
Seraya menahan sakit dan gemuruh rasa bersalah di dada, suara sengaunya akhirnya berkata,
“Sayang, kita masih harus berpuasa.”
Sunday, 19.10.08, 09:53pm

Oct 9, 2008

Syahid


Bismillah…


Anda tahu raket listrik untuk mematikan nyamuk?

Lepas musim kemarau menuju penghujan, biasanya nyamuk-nyamuk bermunculan di rumah. Dulu saya mengusir nyamuk-nyamuk itu dengan sempyok, sebutan untuk sapu lidi yang agak ceper, yang biasa digunakan untuk membersihkan kasur. Belakangan ternyata lebih mantap dengan menggunakan raket listrik. Karena sekali kibas, biasanya nyamuk itu akan menyangkut di raket karena tersetrum.


Malam itu saya memperhatikan si nyamuk tersetrum sedemikian rupa.

Seluruh tubuhnya, dari kaki, sayap hingga badan, lumat dialiri listrik sampai benar-benar gosong. Lalu dengan serta-merta pikiran saya melanglang buana, berempati terhadap si nyamuk yang malang itu.


Bagaimana rasanya jika saya ada di posisi nyamuk tersebut?

Terjerat tak bisa lepas dari jaring raket yang besar, lalu tersetrum berulang kali sampai tubuh ini hangus menjadi rangka. Sempat suatu kali saya tersetrum raket itu sekilas, dan rasanya lumayan sakit.

Dan Anda tahu?

Saya sedang memikirkan daya listrik macam apa yang mungkin disediakan neraka di hari akhir nanti. Saya sedang memikirkan, mungkin seperti itu pula kondisi saya saat disiksa: tak bisa melarikan diri, meronta tapi percuma, dan sisanya hanya tinggal tulang-belulang atau mungkin debu beterbangan.


Di film Volcano, visualisasi saya tentang neraka jauh lebih tergambar. Camouran api dan batu yang dimuntahkan gunung berapi, niscaya mampu membuat rangkaian tubuh kita lumer dalam sekian puluh menit. Itu api dunia. Lalu bagaimana dengan api neraka?


Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw bersabda,

"Sesungguhnya siksa dalam neraka Jahim ialah dituangkan air yang mendidih di atas kepala orang-orang yang durhaka itu, kemudian terus masuk ke dalam sehingga menembus ke dalam perut mereka, kemudian keluar segala isi yang ada dalam perut itu sehingga tampak meleleh dari kedua tapak kakinya. Ini semua cairan yang berasal dari isi perut. Selanjutnya dikembalikan lagi sebagaimana semula".

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan sahih.


Seringkali, dalam keseharian yang nampak sepele, saya membayangkan bagaimana nasib saya di akhirat kelak. Tidak usah jauh-jauh. Saat menuangkan air mendidih dari ketel ke termos, biasanya imajinasi saya langsung berlari kepada bayangan tentang neraka ketika melihat dan merasakan uap dari air di ketel yang sangat panas. Uapnya saja panas, sobat. Apalagi airnya! Dan itu baru dunia, bukan neraka!


Ketika bersinggungan dengan hal sepele macam itu, entah raket nyamuk, ataupun air mendidih, misalnya- hati saya selalu tergetar. Lalu pesimisme menyeruak tiba-tiba dan rasa takut mencuat tanpa diminta. Mengingat dosa saya yang banyaknya masya Allah, saya pesimis bisa langsung ke surga tanpa masuk neraka terlebih dahulu.

Betapa menjijikkannya saya ini…

Betapa tak terhitungnya kesalahan yang sudah saya perbuat... :’(


Saya tak merasa pantas membandingkan dengan titik-titik ekstrim lain, semisal masih ada pembunuh yang mungkin lebih berat daripada saya yang alhamdulillah belum pernah membunuh orang. Ini bukan soal perbandingan siapa yang lebih banyak dosanya. Tetapi saya sedang bicara tentang hukuman apa yang akan saya terima atas kesalahan-kesalahan yang saya anggap cukup besar bagi saya.


Bicara soal amal, benar bahwa kita mungkin juga melakukan kebaikan. Tapi yakinkah kita amal-amal itu dilakukan dengan benar dan ikhlash? Seberapa besar ia akan diterima? Seberapa banyak ia akan menjadi pemberat timbangan ?


Maka saya –selain memohon ampunan dan masih jua berharap pada kemurahan-Nya- berharap pada jalan lain yang bisa meloloskan saya dari siksa akhirat itu.


Jawabannya hanya satu : syahid.

Ya, meninggal dalam keadaan syahid; ridha lagi diridhai.



Hati saya merinding acap teringat kata yang satu itu.

Betapa agungnya. Betapa bahagianya. Betapa mulianya.

Siapa yang tidak ingin menemui Robb-nya dengan jalan yang mulus, dengan lapang dan gembira ria, diliputi sukacita dan haru-biru menyongsong surga?


Tapi... saya… pantaskah?




Untuk menjadi syahid, ada beberapa kemungkinan.

“Muslim yang mati terbunuh adalah syahid, dan mati karena penyakit kolera adalah syahid, begitu pula perempuan yang mati karena bersalin adalah syahid (anaknya yang akan menariknya dengan tali pusarnya kesurga)" (HR. Ahmad, Darimi, dan ath-Thayalusi).

 
Dari Jabir bin Atik dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda: 
“Syuhada itu ada tujuh selain orang yang gugur berperang fi sabilillah ( di jalan
Allah) yaitu: [1] Orang yang mati ditusuk adalah syahid, [2] mati tenggelam
adalah syahid, [3] mati berkumpul dengan istri adalah syahid, [4] mati
sakit perut adalah syahid, [5] mati terbakar adalah syahid, [6] mati tertimpa
reruntuhan adalah syahid dan [7] wanita yang mati melahirkan anak adalah
syahid”. 
[Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim dalam kitab Mustadraknya dengan
komentar hadits ini sanadnya shahih. Pendapat ini di setujui oleh Adh-Dhahabi]


Tak terbayang di benak saya seperti apa ketika berhadapan dengan musuh Allah, langsung wajah dengan wajah! Indonesia rupanya cukup memberikan zona nyaman yang membuat saya bahkan tak mampu merasakan hawa medan perang yang membuat mata dan hati terjaga senantiasa, insecurity yang mengharuskan kita tegang setiap saat, dan semacamnya. Walau Palestina cukup konkrit menggambarkan situasi perang, tetapi saya masih belum bisa membayangkan berada dalam suasana itu.


Begitu juga dengan wabah penyakit, kolera, dsb. Saya pikir itu musibah, sesuatu yang menimpa. Terlalu naïf rasanya jika meminta musibah. Apalagi disongsong, disambut dengan

riang-gembira. Kesempatan ini bagi saya juga lumayan kecil peluangnya.


Satu hal yang merupakan peluang besar yang bisa saya ambil adalah… meninggal saat bersalin dan melahirkan anak.


Sungguh, saya tidak tahu lagi dengan cara apa bisa terhindar dari amuk dan dahsyatnya siksa neraka atas dosa-dosa saya, jika tidak dengan mati syahid.

Bolehkah saya berharap?


Oh, rindu itu demikian menggelegak di dalam sini!

Untuk Robb-ku, apapun akan kulakukan!


Jadi bolehkah saya bersiap?

Jika benar terjadi, niscaya akan saya dorong suami saya kelak untuk mencari ibu pengganti bagi anak-anak kami.

Didiklah anak itu dengan cinta, Suamiku. Jadikan ia himpunan keshalihan yang akan menghantarkan doa agar aku dan dirimu meninggi derajatnya di hadapan Pencipta kita. Jadikan mereka benih yang akan menyuburkan bumi Allah ini, dan tumbuh-kembangkan mereka sebagai pembela-pembela agama-Nya…


Ya.

Saya tidak tahu lagi dengan jalan apa.

Tapi sungguh…

Saya juga ingin menyongsong kemuliaan sebagai penutup kehidupan saya di dunia yang fana ini… dan mungkin, meninggal saat memperjuangkan kelahiran buah hati adalah momentum serta kesempatan yang bisa saya raih!


Ya Allah, Engkau tahu luapan rindu di dalam sini…

Engkau tahu bagaimana harap dan cemas atas dosa dan amal selama ini…

Maka perkenankanlah… matikanlah kami dalam syahid… dalam keadaan ridha pada-Mu… dan Engkau pun meridhai kami. Aamiin…



Thursday, 09.10.08, 12:16pm


pics from:

en.wikibooks.org/wiki/Wikijunior:Colors/White

blog.licasdigital.com/industry/index.html

www.dreamstime.com/sky-sun-clouds-image150907

http://beautyofhisholiness.homestead.com/JehovahShamma.html

thx a lot. maaf ndak ijin

Oct 6, 2008

Kerjaan oh Kerjaan...

Bismillahh…



Again.

Pikiran ini tidak henti-hentinya berputar di benak saya. Soal kerjaan! Lagi!


Jadi masih kerja aja, Ndra?


Blah…

Kerisauan ini muncul lagi setelah permasalahan sebelumnya memang belum tuntas.

Pelajaran satu : tuntaskan masalahmu agar ia tidak berbuntut panjang!

Tak lain tak bukan, masih juga soal pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan saya tentu saja. Yahh… salah sendiri juga sih. Masak kerja di lembaga sosial ngarepin banyak. Mbok ya ngono… kerja di perusahaan… *huk*

Apalah yang bisa diharap dari yang selama ini saya jalani. Ini bukan soal bersyukur atau tidak, saya tegaskan. Tapi kita bicara kebutuhan yang ternyata melebihi pendapatan. Ya memang wajar, kerja dengan waktu yang relatif ‘semaunya’ (baca: fleksibel), dan bobot kerja yang tak terlampau berat, amatlah sepadan dengan apa yang saya terima.


Nah. Masalah muncul ketika harapan tak bersesuaian dengan kenyataan, bukan?


Itu dia.

Dengan menyambi berbisnis, pengeluaran saya untuk operasional tentu saja tak hanya seputar makan siang, sumbangan kebutuhan dapur dan rumah tangga, keperluan bulanan perempuan serta berangkat-pulang kantor semata-mata. Tetapi juga biaya tetek bengek ongkos unpredictable kesana-kemari bertemu partner/klien yang membengkak, pulsa yang cepat habisnya (karena memang sering banget dipakai), plus, biaya makan (selain lunch) kalau terpaksa makan sore atau malam di luar rumah. Maklum… awal-awal berbisnis kan butuh modal.

Bisa ditebaklah…

Besar pasak daripada tiangnya.


Saya kemudian berpikir untuk mencari sumber penghasilan selain kantor tempat saya mengabdi saat ini. Pindah kerjalah, intinya. Tapi saya masih menganalisa ini-itu.


Ternyata, lowongan di el-es-em tidak sebanyak yang saya duga. Mengingat saya masih merasa “gak gue banget” untuk bekerja di company -khususnya bidang HR dimana lulusan psikologi banyak berkecimpung disana- maka saya berfokus pada lembaga-lembaga sos-masy dulu, sesuai dengan minat saya.


Begitu ketemu yang sepertinya menarik…

Oalah… tempatnya jauh bener yak… bisa-bisa tua di jalan sayah kalau beginih caranyah… minimal 2,5 jam perjalanan, maannn… Itu kalau tidak macet. Kalau macet tentu saja bisa lebih lama lagi.

Dan berdasarkan informasi beberapa rekan yang lebih paham, pekerjaannya ternyata jauh tak sebanding dengan penghasilan yang diterima. Ya eyyalaahh… el-es-em gitu lokh…

Tapi saya juga butuh duit, Tuan… bukan sekedar aktualisasi diri *mengenaskan banget kesannya*


Well… saya pun melupakan lowongan di tempat tersebut. Gimanapun saya mencari yang lebih baik. Soal memberi, dimana aja juga bisalah, tidak harus disana…


Kemudian lowongan di company mulai berdatangan.

BUMN. Recruiter.

Saya abaikan email itu. Tapi masih kepikiran juga.

Ambil gak ya… coba-enggak….coba-enggak…

Dan hari-hari berlalu begitu saja tanpa keputusan.

Please, tolong, boleh kan saya merasa tidak klik untuk bekerja di company?

Dengan jam kerjanya, kulturnya, basic keilmuannya, bener-bener bukan jiwa saya untuk ituuu…

“Tapi gak ada salahnya dicoba lagi, Mbak…” ujar salah seorang rekan kantor.

“Begitu ya?”

Dan keraguan saya masih saja mengawang-ngawang dengan mata menerawang bimbang.


Dan…

Malam ini saya membaca ulang Laskar Pelangi.

Menelusur ulang kisah seorang guru sejati bernama Bu Mus yang terlampau langit bagi saya yang palung ini. Sejumlah orang dengan background psikologi memang menjadi guru (BK, pada umumnya. Atau dikenal dengan bimbingan konseling).


Tapi saya berkaca. Rasa-rasanya saya tidak punya cukup kepiawaian untuk menghadapi siswa-siswa. Dan cermin saya itu adalah Bu Mus, seorang guru muslimah langitan dengan trilyunan kesabaran menghadapi tingkah-polah 10 murid-muridnya yang ‘aneh tapi nyata’; dan juga seorang rekan saya yang lebih dulu menjadi guru BK tingkat SMA.


Kalau bercermin dengan Bu Mus, tewaslah saya. Betul-betul palung dan langit!

Maka cermin yang satunya masih cukup membuat saya sadar dari bahan apa dia diciptakan *peace, Mir! :D*.

Maksudnya, dulu saya dan rekan saya ini sama-sama belajar psikologi di kampus yang sama, angkatan yang sama, dan, kantor yang sama pula. Jadi saya rasa, bekal saya dan dia gak beda jauhlahh... Yang mungkin lumayan berbeda adalah pembawaan dan sifatnya.

Dari dia ini saya acap mendengar keseharian seorang guru BK yang cukup membuat saya berpikir, “kayaknya gua gak bisa kayak elu deh Mir kalo jadi guru…”.


Tau dong… tugas guru itu bukan sekedar menyampaikan materi, tapi juga mendidik.

Tau apa arti mendidik? Transfer nilai. Dan transfer nilai itu bicara soal bagaimana menjadi teladan. Menjadi teladan haruslah menampilkan sosok yang lebih mature (menurut saya), dalam berbagai hal. Dan dalam hemat saya, selain integritas, kesabaran dan ketulusan adalah dua hal yang mutlak harus dimiliki seorang guru yang ingin sukses, disamping poin-poin sekunder lainnya. Mau jadi guru macam apa kalau tidak mengajar dengan hati, coba???

Maka, blasss…. Hilanglah kepercayaan diri saya seketika.


Ditambah satu hal lagi, saya masih merasa… gimanaa gitu, dengan keharusan jadwal yang fullday bagi seorang guru, apalagi guru BK yang idealnya musti stand by setiap saat di sekolah.

Udah dibilang saya gak bakat kali ya, jadi karyawan office hour… rasanya gak merdeka aja gitu… dan tentu saja, yang paling fundamental adalah ini persoalan mengajar dengan hati, yang masih harus dipertanyakan dari seorang saya :(

Barangkali, kalaupun mengajar, mungkin saya lebih memilih menjadi dosen, yang jam kerjanya relatif tidak penuh seharian.

Dan weelll, sodara-sodara…

Menjadi dosen di Jakarta dan entah mungkin daerah lainnya, mensyaratkan pendidikan minimal strata 2!

Selamat! Anda tidak qualified!


Lalu sedikit cahaya atau entah godaan selanjutnya, muncul dari Bandung.

Lintasan pikiran ini bermula ketika saya berkunjung ke satu sekolah di Bandung dalam rangka pekerjaan kantor, dan saya bekerjasama dengan sejumlah orang dari satu perusahaan penerbitan terkenal berinisial G.

Pertama, ketemu sama Mbak N, sang editor sekaligus wartawan yang dinamis sekali kerjanya.

Kedua, ketemu sama Kang D dan Kang R, manager dan staf marketing yang subhanallah welcome dan baik hati sekali.

Ketiga, ketemu sama Pak G sang bos area penerbitan Jabar dan Jateng, yang begitu humble dan berbaur dengan para bawahannya.

Otak saya langsung nguing-nguing (kalau saya jadi lebah, pasti antenanya udah kelip-kelip deh).

Sepertinya menarik juga kerja di penerbitan, terutama marketingnya. Target sudah pasti ada, tapi yang saya amati dalam dunia marketing adalah dimana proses learning by doing menjadi salah satu hal terbesar yang menjadikan mereka semakin menyempurna.


Jadi, dalam pandangan saya yang awam tapi sotoy ini, orang-orang marketing itu tidak cukup hanya dengan membaca buku, ilmu atau teorinya berjilid-jilid, untuk menjadi pintar. Tapi harus action, action dan action. Dan dalam action itulah seringkali ilmu atau teori kalah benarnya. Atau dengan kata lain, pembelajaran/hikmah yang didapatkan ketika action, melebihi sekedar teori belaka. Menantang, bukan?


Ditambah lagi, waktu kerjanya relatif bisa dikendalikan. Mau sambil makan-makan, libur sekarang atau nanti, asalkan target tercapai, bereslah pekerjaan kita, ujar Kang D, si bos marketing penerbit G area Jabar.

Dan buat saya, pekerjaan ini punya nilai tambah tersendiri. Sebagai orang yang belajar ilmu perilaku manusia, marketing menjadi lahan belajar yang subhaanalloh luaaaaaaas… sekali, untuk mempelajari setiap saat, bagaimana memahami manusia sebagai subyek, dimana hablumminannas berlaku dengan segala rambu dan ketentuan-Nya. Otomatis, kualitas diri dalam berinteraksi dengan sesama manusia pasti ter-upgrade karena banyak learning by action tadi.


Lalu apakah kemudian saya mengajukan diri untuk bekerja sebagai staf marketing dari penerbit G?

Hehe. Belum, ternyata.


Pertama, saya masih menimbang-nimbang apakah cukup menenangkan bekerja di perusahaan yang punya stereotip kurang baik dalam konteks aqidah. Saya belum menemukan kebenarannya (karena yang namanya stereotip belum tentu benar, kan?). Walaupun banyak orang menjadi karyawan perusahaan ini-itu yang jelas-jelas menikam ummat, itu urusan mereka lah. Kalo sekarang kan saya sedang bicara tentang saya thok, bukan orang lain. Yang jelas ini PR buat saya cari tahu faktanya seperti apa, dan merupakan hal yang berkaitan dengan nurani. So, tidak usah ditanya seperti apa mendasar/tidaknya.


Kedua, jika saya ingin bekerja di tempat mereka, maka saya harus menimbang untuk hidup di Bandung, meninggalkan Jakarta. Dan ini berarti saya harus berhadapan dengan keluarga yang dari dulu selalu memberatkan jarak dan waktu bagi saya dalam bekerja. Okelah kalau hanya beberapa lama keluar kota. Tapi kalau sampai bekerja tetap di kota lain, dalam waktu berbulan-bulan, sepertinya saya pesimis akan mendapatkan ijin.

“Emang di Jakarta gak ada kerjaan bagus apa, sampe harus ke luar kota segala???”

Kira-kira demikianlah potensi ‘nyap-nyap’ dari 3 significant person di rumah.

Kecuali… ya, kecuali, ada mahram yang mendampingi disana.


Ketiga, ini juga tak kalah penting. Memangnya mereka sedang buka lowongan?

Hehe… gubrak deh.


Tapi entah kenapa saya seperti punya dorongan kuat untuk menindaklanjuti ladang terakhir ini. Pasalnya saya di-support sekali oleh sahabat saya yang tahu benar bagaimana linglungnya saya akhir-akhir ini untuk soal pendapatan.

Katanya, “Ya udah coba aja. Kamu kan minat. Kerja di penerbitan asyik lho, bisa kenal penulis-penulis ternama. Relasimu juga jadi lebih luas. Bisa kembangkan bisnismu juga. Selain itu kamu juga suka menulis. Siapa tahu bisa jadi editor J

Walau dia sama sekali belum berpengalaman di dunia penerbitan, hati kecil saya bersorak memberi dorongan yang sama positifnya. Entah kenapa.


Wellhh…

Panjang kaaali cerita kali ini ya?!?

Yah, pastinya saya masih harus mencari informasi kesana-kemari.

Ini memang bukan soal keyakinan bahwa rizqi sudah ada yang mengatur. Tapi ini soal kerja keras mencari pintu rizqi itu, dan soal pilihan-pilihan yang akan menentukan lukisan takdir macam apa yang akan saya jelang kedepannya.

Kalau begitu saya mohon doa (dan info2nya) ya, teman-teman… Semoga saya ditunjukkan yang terbaik :)


Kebayang deh, kalau aja saya curhat sama partner bisnis saya yang satu itu, pasti dia akan bilang….“Perasaan dari dulu udah gua bilang untuk cari yang lebih baik. Sampe sekarang belum dilaksanain juga solusinya? Yang kayak gini aja dipusingin, Iiiin… In! Fokuslah sama hal besar!”

Hahahaa… ampun dah, Bu Ap!!! ^_^



~ampeInsomniaGinihEuy..

Saturday, 04.10.08; 03.56 am



gambar2nya dari sini niiihh...

www.parentalk.co.uk/atwork/default.asp

http://homework.syosset.k12.ny.us/teachers/swrigley/extra-help.htm

http://www.istockphoto.com/file_closeup/business/business_concepts/banking/1973631_money_bag_the_cartoon_toolbox_series.php?id=1973631

http://www.school-clipart.com/_pages/0511-0710-1112-0653.html

Oct 3, 2008

Sayap Yang Tak Pernah Patah

Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang mem

buat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:

O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.


Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan.

Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

(Anis Matta)


~lemahKarenaPosisiJiwaKitaYangSalah...

Friday, 03.10.08; 02:17pm

http://www.bbvancouverisland-bc.com/gallery/photos-ocean-view.html

http://www.artistwithlight.com/files/archive-jan-2008.html

http://www.oreillys.com.au/discovery-program/bird-watching/

Idul Fitri 1429 H


bismillah...


Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita di waktu yang lalu dan akan datang...
menjaga kita dari segala keburukan...
meneguhkan kita dalam berbagai kebaikan...
dan mempertemukan lagi dengan Ramadhan, bulan yang dirindukan...
Mohon maafkan segala ketidaknyamanan, kekecewaan, sakit hati atau sekecil apapun hal yang tidak mengenakkan, selama berinteraksi dengan saya.

Doa saya untuk semesta dan kalian semuanya...

Taqabbalallaahu minna wa minkum...
Selamat Idul Fitri 1429 H



pic from http://www.sacred-destinations.com/pakistan/lahore-badshahi-mosque.htm