Jun 4, 2014

Ketika Si Kecil Tantrum



Bismillah..

Menghadapi anak tantrum mungkin menjadi pengalaman nyaris semua orangtua di muka bumi ini, termasuk saya. Peristiwa horor ini berawal saat Farah, putri sulung saya, berusia 1 tahun 10 bulan, dan intensitas tantrumnya cenderung menjadi-jadi pada usia 2 tahun.
Farah kecil memulai aktivitas tantrum pertamanya dengan menangis saat ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Kabar buruknya adalah, kita sebagai orang terdekatnya sekalipun tidak selalu bisa memahami apa yang ia minta. Tangisannya mulai tak wajar : panjang, lama, penuh kemarahan, kadang juga disertai tindakan menyakiti diri sendiri. Para ahli bilang, tantrum adalah perilaku yang wajar karena anak-anak belum bisa mengekspresikan kekesalan mereka dalam cara yang tepat. Bahkan mereka sendiri juga belum tentu paham apa sebenarnya yang mereka inginkan.
Jadi, ketika Farah tantrum untuk pertama kalinya, saya hanya bilang pada diri sendiri dan ayahnya, “Oke, ini saatnya.”, dan kami mengambil ancang-ancang seperti penunggang kuda yang siap menarik pelana.  Berikut tips-tips yang pernah kami terapkan :


1)  Ilmu Dulu Sebelum (Berkata dan) Beramal
Kutipan masyhur dari ulama besar Imam Bukhari ini sangat relevan diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan.  Menyikapi atau melakukan sesuatu memang lebih enak jika sudah punya ilmunya. Maka saya dan suami pun membekali diri dengan pengetahuan seputar tantrum: apa, bagaimana, kapan, dsb. Dengan memiliki ilmu dan informasi yang cukup, alhamdulillah kami tidak terlalu terkejut dan dapat lebih logis ketika menghadapinya.

2)  Tetap Tenang.
Tetap tenang dalam situasi itu rupanya benar-benar tidak mudah, karena anak trantrum seolah-olah menguji sejauh mana kita dapat bersabar. Beberapa cara yang saya coba lakukan agar tetap tenang antara lain, menarik nafas panjang beberapa kali,  berdzikir atau bertaawudz (berlindung dari godaan syaitan agar tak terpancing emosi/marah), minum beberapa teguk, mensugesti diri agar tenang, atau bahkan menertawai sikap tantrum anak yang tidak rasional. Pernah suatu saat putri saya mengamuk sambil menangis keras. Lalu ia meminta saya pergi menjauh, dan saya pun menjauhinya. Baru saja keluar kamar, ia berteriak lagi, “Bunda sini aja..”.
Lihat, sangat tidak rasional, bukan? :D. Justru karena sikap mereka irasional, kita mesti paham bahwa tantrum seringkali tidak perlu dihadapi dengan serius.. hehe.. :)

3) Tonton Saja
Saat anak tantrum, anggaplah ia adalah aktor yang tengah berakting dan kita adalah penontonnya yang tidak terlibat sama sekali dalam adegan tersebut. Tips yang saya dapatkan dari babycenter.org ini rupanya sangat efektif mengendalikan diri saya sendiri. Lho, bukannya yang butuh dikendalikan itu adalah anak??
Sewaktu tantrum, biasanya anak sulit untuk dibujuk, ditenangkan, apalagi diperintah. Sehingga yang perlu dilakukan di awal adalah mengendalikan diri kita sendiri sebelum kita dapat mengendalikannya. Dengan menjadi penonton dan menguasai diri, kita tidak akan terpengaruh dengan adegan  apapun yang anak lakukan. Tonton saja, tak perlu terlibat. 

4) Rendahkan suara
Mendengar tangisan anak yang melengking dan mengamuk, apalagi di tengah orang banyak, seringkali memancing kita untuk meluapkan emosi secara lisan. Jika kita ingin berkata-kata di tengah tantrum anak, pastikan posisi tubuh kita sejajar dengan anak dan suara kita berintonasi rendah.  Posisi tubuh yang sejajar akan memberikan rasa aman pada anak dan perasaan dihargai. Sementara nada bicara yang rendah akan memunculkan feedback emosi lebih terkuasai, dan suara kita juga terdengar lebih berwibawa di depan anak. Sebab suara yang penuh kemarahan biasanya akan dibalas dengan tangisan yang lebih kencang atau tantrum yang semakin menjadi.
Di poin ini, kita bisa bicara pada anak dengan suara yang tegas namun tetap lembut,
“Kamu mau minta apa? Bicara yang jelas, karena Bunda tidak paham jika kamu menangis.”. Dengan cara ini anak akan memahami bahwa tangisannya bukanlah cara yang efektif untuk meminta sesuatu.

4) Biarkan
Salah satu cara efektif menyikapi tantrum adalah dengan membiarkannya, begitu kata banyak ahli. Yang pernah saya lakukan adalah sebagai berikut :
a)      Membiarkan sambil menemani
“Oh.. Farah sedang marah ya. Gak papa, Bunda temani ya nangisnya.” Demikian kalimat yang acap saya katakan saat putri saya tantrum. Saat ia menangis hebat, saya hanya diam, berusaha tetap tenang sambil memperhatikannya.  Cara ini efektif selama kita bisa mengendalikan diri dan tidak terpengaruh oleh tangisannya yang bisa jadi sangat-sangat annoying.

b)      Meninggalkannya
Kadang, saya meninggalkan Farah yang sedang tantrum karena khawatir ikutan kesal atau memang ada hal lain yang harus dikerjakan. Biasanya saya katakan padanya, “Farah kalau sudah selesai nangisnya, kasih tahu Bunda ya,”. Setelah itu kita perlu menengok sesekali, memastikan apakah ia sudah selesai dengan tantrumnya atau belum. “Sudah selesai belum nangisnya? Oh.. belum ya. Ok, Bunda pergi lagi ya. Nanti kalau sudah selesai nangis, bilang ya Far.”
Begitu tangisnya sudah mulai mereda, kita bisa mendatangi sambil memberikan apresiasi berupa kalimat positif, ciuman atau pelukan. “Wah, sudah selesai ya nangisnya.. Anak Bunda pinter sekali, gak nangis lagi. Coba cerita sama Bunda, Farah maunya apa...”.


Teknik komunikasi seperti ini juga pernah saya terapkan saat Farah minta sesuatu. Ketika itu Farah minta digendong, tetapi sambil menangis. Karena saya dan ayahnya tidak ingin mengabulkan permintaan yang dilakukan sambil menangis, kami tidak mengabulkannya. Kontan saja ia tantrum hebat. Tapi kami berusaha konsisten sambil terus mengatakan, “Ayah akan gendong kalau Farah diam. Sudah belum nangisnya?”. Farah yang mulai mengerti pun berusaha menghentikan tangisnya. Seketika itu pula ayahnya menggendong Farah. Namun saat Farah mulai menangis lagi, ayahnya meletakkan lagi ke lantai. Begitu seterusnya berkali-kali sampai Farah benar-benar berhenti menangis. Saat ia berhenti dan sudah tenang, barulah ayahnya menasehati bahwa meminta digendong tidak perlu sambil menangis, tapi cukup bilang saja baik-baik. Sampai sekarang pola ini kami pakai ketika ia kumat (meminta sesuatu sambil menangis/menangis tanpa alasan yang jelas). Dan alhamdulillah Farah sudah sadar, jika kami mendiamkannya maka lama-kelamaan  ia akan berusaha mengendalikan tangisannya sambil tersengguk-sengguk dan berkata, “Sudah, Bunda... Sudah.”. Itu artinya, ia sudah selesai menangis dan siap untuk berbicara baik-baik.


5) Memastikan Keamanan Anak
Seringkali anak yang tnatrum melakukan hal-hal yang berbahaya seperti membentur-benturkan kepalanya ke lantai atau tembok, memukuli badannya sendiri, berguling-guling dll. Ketika membiarkan anak mengekspresikan diri dengan tantrumnya, kita perlu memastikan bahwa : 1) ia tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya, 2) ia berada di tempat yang tidak membahayakan dirinya, dan 3) di sekitarnya tidak ada benda berbahaya yang bisa mencelakakan dirinya.


Kira-kira begitulah tips yang saya dan suami lakukan. Yang agak sulit adalah jika Farah tantrum di tempat selain rumahnya, karena orang lain seringkali tidak tega atau cenderung memberikan saja apa yang diminta karena  terganggu mendengar tangisan anak. Kalau sudah begini, orangtuanya harus cukup tegas menegakkan prinsip atau membawa pergi si anak dari TKP.

Ohya, sehebat apapun teknik menghadapi tantrum yang dibagikan para ahli, saya kira semuanya mutlak membutuhkan kesabaran seluas samudra dari kita para orangtuanya. Dan biasanya, kesabaran menghadapi dinamika pada anak berasal dari bagaimana kualitas hubungan kita dengan Allah.

Okay, selamat menghadapi tantrum dengan bahagia ya, Ayah-Bunda. Pasti BISA! J


Rabu, 04.06.2014 - 15:45 wib
~di hari ke-40 adiknya Farah