Feb 13, 2016

Siapa yang Butuh?





Di antara adab menuntut ilmu adalah kita menghampiri para guru.

***

Kemarin seharusnya jadwal saya berbagi ilmu pada rekan-rekan. Mau saya sebut ‘mutarabbiy’ rasanya saya juga belum layak dikatakan ‘murabbiy’. Jadi ya kita sebut begitu sajalah, majelis juga baru berjalan 3 bulanan.

Jadwal kali ini tiba-tiba berubah. Begini bunyi mesej yang terkirim di wa saya, “mba Indra hari ini ternyata ada ta’lim dengan ustadz blabla.. liqonya kita cancel saja ya.”

Hati saya bergemuruh membaca pesan itu, meski akhirnya saya balas, “hmm.. hari ini sudah saya luangkan waktu sih khusus untuk teman-teman”, sambil membubuhkan emoticon smiley.

Setelah itu saya curcol pada murabbiy saya.  How come, ummi? Emang sih aku ga sekaliber ustadz itu blabla.. tapi kenapa ga jadwal lain aja yang dicancel.. why me, why me... *ini agak lebay sikit*

Nasihat beliau -yang sebenarnya sudah saya ketahui teorinya- kemudian meluncur : yang sabaaaarrr, indraaa... membangun komitmen itu berproses, ada yang cepat, ada yang lama. Lagipula kan memang belum lama mulai kelompoknya :)

Sebelumnya perasaan saya campur aduk. Ditambah pikiran lain yang juga menumpuk, sempurna membuat jiwa saya keruh. Harusnya murid yang nyamperin guru, ngejar-ngejar gurunya. Ini kenapa jadi saya yang harus ngejar-ngejar mereka. Siapa yang butuh? Okelah kalau ustadz anu memang ilmunya lebih sempurna, da aku mah apa atuh.. Cuma remah-remah rempeyek di kaleng khong guan. Tapi ngertiin kek kalo aku juga meluangkan waktu untuk mereka, memangnya aku gak ada kerjaan lain... dst dst.

“Siapa yang butuh?” ini meracun sekali. Alhamdulillah Allah segera beri saya hidayah untuk aware. Mereka mungkin tidak terlalu butuh, sehingga merasa tidak penting untuk membuat komitmen dengan saya. Tapi  alhamdulillah karena petunjuk Allah, saya gedor jiwa saya di saat itu bahwa sayalah yang membutuhkannya. Saya butuh ladang amal, saya butuh melatih sabar, saya butuh agar kelak tangan mulut kaki saya bersaksi bahwa saya sudah menyampaikan. Yes kamu yang butuh. Maka kamu layak perjuangkan itu. Kamu layak mengusahakannya dengan tetap santun, tetap beradab, dan kelak mereka akan melihat.

Tiba-tiba saya pun teringat tulisan seorang guru yang saya hormati. Dulu di masa-masa jahil beliau, ujarnya, seorang senior kampusnya yang gigih mengajak belajar islam, harus menelan kenyataan selalu ditinggal kabur oleh para juniornya. Junior-junior ini lebih suka menghindar dengan berbagai alasan ketimbang duduk bersamanya dalam majelis untuk memperdalam agama. Tapi sang senior tidak pernah marah, tidak sedikitpun surut mengajak, tidak tampak bosan mengejar-ngejar. Saat berjumpa dia selalu berhias senyuman tulus, sapaan hangat, perhatian yang ikhlas, dan tak berubah sampai akhirnya mereka berpisah.

Bertahun-tahun kemudian, beberapa di antara mereka akhirnya tersentuh untuk mendalami agama lebih kontinyu. Dan teringatlah mereka pada kebaikan sang murabbiy, si kakak senior tadi. Jikalah si senior ini tidak sabar, bosenan, baperan *ya Robb gue banget* dan semacamnya, mungkin tidak ada sedikitpun bekas akan kebaikan akhlaq penyeru diin ini. Ini juga yang kemudian menginspirasi beliau untuk terus sabar, terus mendoakan, karena bagaimanapun usaha seniornya itu berbuah! Tidak dalam waktu singkat, tapi menembus masa, berbilang tahun kemudian. Dan si junior, guru saya itu, terus mendoakannya karena sungguh hidayah itu amat tak ternilai, dan menjadi perantaraannya adalah pekerjaan mulia. Maasyaa Allah. Doa itu! Adakah yang lebih indah dalam muamalah selain mendapat doa tulus dari sesama?

Kemudian saya merasa kecil, kerdil. Sudah tahu watak jalan ini namun baru sedikit saja terbentur, mengeluhnya jauh lebih banyak ketimbang sabarnya. Padahal Nabi harusnya lebih layak baper, lebih layak lari saat menghadapi masyarakat yang begitu bengal saat ditunjukkan kebaikan, lebih nangis darah karena ujiannya berrrkali lipat jauh lebih dahsyat.

Jadi siapa yang butuh?

Saya insyafi ini kalimat angkuh. Merasa lebih, merasa ingin dihargai.
Padahal keangkuhan inilah yang menghalangi kita masuk surga-Nya. Pun adab menuntut ilmu memang menggariskan bahwa mendatangi guru itu lebih patut, tapi kebersihan hati jua menjadi syarat jiwa ini kelak selamat.

Ya, saya yang butuh. Maka saya perlu kejar itu, perlu optimalkan diri di situ. Mudah-mudahan ada cipratan hidayah-Nya  atas apa yang telah tersampaikan. Jikapun tidak, cukuplah ia memberatkan catatan amal nanti di yaumil hisab.

***

Murabbiy saya lalu menutup nasihatnya dengan indah.
“...jadikan itu celah untuk perbaikan mereka. Jika dikemas dengan santun, dan disampaikan dengan niat kasih sayang, insya Allah akan diterima dengan baik. Semangat ya Indra shalihah :) ”

Kekesalan saya mencair, berganti rasa malu dan istighfar banyak-banyak, sekuat mungkin meluruskan niat. Ya Allah, ampuni, ampuni.. bimbing kami menuju-Mu...


Note : anyway ini mungkin cemen banget yak wkwk.. *tutupmuka* tapi yang cemen ini smoga ada pembelajarannya.


 Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)

Feb 6, 2016

Jurnal Harian Anak

Bismillah.

Sudah waktunya tidur dan saya tak bisa memejamkan mata. Banyak hal belum selesai, dan mungkin tak pernah selesai karena mereka terus berulang setiap harinya. Pantas waktu saya bertanya serius pada seorang dokter tentang bagaimana tidur dengan lelap berkualitas, dia hanya tertawa dan menjawab sekenanya, “selesaikan semua urusan, mbak Indra. Tapi sayangnya urusan gak habis-habis ya.. hahaha...”. Fiuh :D

Tadinya saya mau bikin rancangan resep buat beberapa hari ke depan. Tapi teringat dan lebih tepatnya tergoda untuk ikutan nulis jurnal harian tentang perkembangan anak-anak. Yaa buat direcord aja, supaya kelihatan progress atau kemundurannya dari waktu ke waktu. Tapi kemudian teringat lagi kalau di folder leptop ini ada sekian tulisan yang rencananya akan dipost ke blog, tapi tak selesai daaann feel nya udah terbang entah kemana. #PR

Baiklah kita mulai dari yang saya pingin tulis aja dulu lah ya.

Jurnal harian anak.

Sesuai namanya, ini adalah rekam jejak observasi anak-anak sehari-hari. Tentang polahnya, aktivitas, dan terutama hal-hal positif yang mereka lakukan. Seorang teman saya yang praktisi dunia anak menyarankan untuk menuliskan (benar-benar MENULISKAN) hal positif yang dialami/dilakukan anak-anak setiap harinya. Ini berguna untuk membobol mindset dan kumpulan memori serta emosi negatif setelah berinteraksi dengan anak seharian. Maklumlah, jadi IRT yang stay at home selama 24 jam bareng bocah-bocah bukan tidak mungkin bikin kepala ini bertanduk dan berasap :D. Dan kalau sudah begini -apalagi terus terakumulasi setiap hari- yang terjadi adalah penumpukan informasi, pengalaman, memori atau emosi yang negatif tentang parenting. Akhirnya jadi berpikiran bahwa mengasuh anak itu susah, tidak menyenangkan atau bahkan menyebalkan, bikin capek dst dst. Lah padahal yang dulu minta dikaruniai anak..siapa.. wkwk.. *ngomong sama kaca*

So menuliskan pengalaman atau hal positif yang terjadi pada anak di hari itu, akan mereduksi pikiran-perasaan negatif kita. Meski secara faktual ada hal negatif terjadi, namun setidaknya akan mengalihkan diri kita dari state negatif tentang pengasuhan anak atau naudzubillah terhadap si anak itu sendiri. Menulis hal positif juga akan membimbing kita agar cenderung melihat hal-hal baik, yang pada gilirannya menggiring kita untuk bersyukur daripada mengeluh. Mudah-mudahan dengan bersyukur ini, Allah tambahkan lagi nikmat-Nya tak henti-henti :)

Manfaat lainnya tentu saja diri kita akan lebih ringan menjalani dinamika hidup bersama para bocah. Kita akan terbiasa melihat anak-anak dengan kacamata positif, dan ini sangat-sangat penting dalam pekerjaan superduper amazing bernama parenting. Meski saya sangat akui membersamai unyil-unyil itu cukup melelahkan, tapi kalau jiwa kita riang menjalaninya, insya Allah rasanya akan lebih ringan, sehat di jiwa.

Ohya, setelah ditulis, catatan ini perlu dibaca bersama pasangan. Kalau bisa berulang-ulang sebelum tidur. Ulangi selama beberapa hari dan lebih bagus lagi lakukan berturut-turut dalam 27 hari.

Terus.. mana contoh jurnal hariannya..?

Hehe.. sudah ngantuk. Saya posting di tulisan berikutnya aja :D