Sepertinya ini sudah masuk masa-masa jengah.
Baru terasa sekarang ya? 1 tahun lebih berjalan, pastinya. Pantas, sejumlah orang serentak mundur begitu merasa tidak ada lagi jalan keluar selain benar-benar permisi dan keluar. Satu-satunya alasan dibalik semua ini akhirnya baru kami mengerti kemudian. Dan kabar yang sempat kami ragukan itu malah kami rasakan sendiri sekarang. Sebagai new comers yang baik saat itu, tentu saja yang kami lakukan hanyalah mendengar, diam, menganalisa, dan mengerjakan apa yang memang harus kami kerjakan. Tidak lebih.
“Ah, masa sih, beliau...?” tanya kami lugu di awal dulu.
“Yah… setiap orang punya kekurangan…” jawab golongan lama, masih berusaha menetralisir suasana.
Maka kami jalani saja hari demi harinya. Berharap lembaran baru akan kami mulai dengan lebih baik, tentu saja.
Tapi lama-kelamaan, satu-persatu kami mulai gelisah. Sedikit banyak kemudian membenarkan argumentasi kawan-kawan lama. Dan sulit sekali mulut ini terbuka. Hingga yang terjadi selanjutnya adalah mencari solusi di belakang yang sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bagaimana bisa, sebab mungkin sang fokus perhatian tidak merasakan itu sebagai masalah ataupun kesalahan yang melukai kita.
Dua hari ini aku semakin berempati pada sejawat yang ada. Dan pastinya, juga semakin memahami alasan dibalik hengkangnya kawan-kawan lama. Semua, semua merasakan hal yang sama! Maka bagaimana tidak, kami bersepakat bahwa memang begitulah, dan benar-benar itulah penyebabnya!
Dari mulai…
“Bersabar, ya…”,
“Positif… Ayo positiff…”,
Sampai…
“Gue mah cukup tau aja…”
“Capek deh…”
Dan bahkan…
“Tahun depan mungkin sudah di tempat yang lainnya…”
Menghiasi hari-hari kita.
1-2 hari, mungkin bisa.
4-6 bulan, hmm…dipertimbangkan.
1 tahun kemudian? Ah ya, kami rasa sudah waktunya kita berpisah!
Maka, setelah kualami peristiwa itu, kukatakan kepada seorang rekan, “Sekarang aku memilih untuk skeptis saja,” sambil tertawa menanggapi segala kata-kata yang meluncur dari lisannya.
Yang benar saja, teori tanpa aplikasi membuat telingaku mual seketika!
Salah satu cara membuat sadar dirinya adalah dengan memberikan masukan. Tapi sulitnya, masukan itu akan ia anggap sebagai penyerangan, seperti yang terjadi 2 tahun lalu ketika teman-teman lama melakukannya.
Jika semua orang menilai orang lain dan memberi penekanan di titik mana masing-masing individu harus melakukan perbaikan, aku rasa itu akan jauh lebih halus, tak mematikan, namun juga sekaligus tepat sasaran.
Ya! Kami belum melakukan itu, memang. Tapi sayang bukan kepalang, sebelum kami semua sempat meluangkan waktu untuk membuat instrumennya, segunung agenda segera mempersempit ruang gerak dan pikir kami, bahkan sekedar untuk menyelonjorkan kaki!
Arggh…
Harus bagaimana???
1 tahun berjalan adalah waktu yang cukup untuk mengetahui pola dan
Aku sendiri?
Haha… awal tahun ini ceramahnya terpaksa kutelan bulat-bulat. Terlepas dari evaluasi yang harus segera diperbaiki, kesimpulanku setelah itu adalah: mbok ya kalau ndak tau bagaimana isi, jangan sembarangan menilai dari kulitnya… Kekurangan informasi membuat salah persepsi. Dan sudah kurang info, masih sok tahu lagi. Ck…ck…ck… kacaunya…
Jelas, setelah itu aku menjaga jarak aman agar benar-benar merasa nyaman. Dan demikian pula yang dilakukan para rekan. Bukan karena feedback yang beliau berikan ya, tetapi sikap beliau yang gak sesuai sama perkataannya aja...
Ah iya. Aku tidak hendak ngrasani orang disini. Yang jelas, aku hanya sedang mencari cara menumbuhkan semangat untuk memberi dengan optimal, bekerja dengan maksimal.
Menghadapi atasan yang sulit sepertinya sudah basi ya?
Siapa suruh jadi karyawan dan bekerja pada orang lain… -_-'
Ya. Aku hanya sedang memompa energi yang semakin berkurang. Memfokuskan perhatian dan perasaan pada hal itu hanya akan membuat produktivitas kerja justru menurun. Proaktif salah, tidak inisiatif juga salah.
So……..
Yang bisa kulakukan sekarang adalah benar-benar meresapi arti keikhlasan; untuk siapa aku bekerja, demi apa aku berusaha.
Untuk gaji semata-mata kah?
Untuk menyenangkan dan mengambil hati si bos-kah?
Untuk kemanusiaan dan kepedulianku pada sesama-kah?
Atau goal yang lebih besar dari itu: untuk Allah dan Allah semata?
Jika memang yang terakhir menjadi alasan, niscaya tak akan peduli kita pada penilaian manusia. Dan tentu saja, tak semestinya semangat bekerja turun-naik cuma gara-gara manusia!
Well…
Sepertinya tekadku semakin menguat saja. Aku rasa aku harus segera pensiun dari kerja secepatnya!
-LagiBosenDiTempatKerja…
gbrnya dari http://cio.com/special-reports/boss-and-you/index
dan dari sini jg, dg editan: www.losanjealous.com