Bismillah…
Selasa sore di terminal Kampung Melayu, senja menjelang malam.
Jakarta diguyur hujan badai.
Berlebihan?
Ah, tidak. Benar-benar badai.
Hujan mendera tanpa ampun, ditingkahi guntur yang susul-menyusul. Pukul 14.15 wib hari itu langit benar-benar hitam, bukan lagi kelabu. Sama persis dengan kondisi langit pukul 18.00 dalam keadaan normal. Bayangkan!
Beruntung, saat aku pulang pukul 17.00, hujan sudah menyusut.
Sudah sampai terminal Kampung Melayu.
Berjingkat aku melangkah, menghindari masuknya air ke dalam sepatu. Mengapa kerumunan orang begitu banyak menyemut di tengah-tengah?
Kuedarkan pandang ke sekeliling. Arus kendaraan menuju Cawang begitu padat. Rupanya tak banyak angkot yang stand by di terminal. Bukan tak mau, tapi tak sampai. Sepertinya macet luar biasa karena kemungkinan besar banjir dimana-mana.
Aku mematung. Angkotku mana, ya?
Tiba-tiba seorang pengamen kecil mendekatiku. Perempuan. Kutebak usianya baru 8-9 tahun.
”Mbak minta Mbak...”
Refleks aku mengatupkan tangan dan berucap maaf, sembari mengalihkan perhatianku pada kendaraan yang ditunggu.
Tapi ternyata ia tak menyerah.
”Mbak...... minta Mbak...”
Aku menoleh. Kali ini memperhatikan dengan lebih seksama.
Oke... *gak tega
”Nyanyi dulu...” pintaku. Tidak ada yang gratis di dunia ini, nak...
”Minta mbak...”
”Yah nyanyi dulu. Gak mau ngasih kalau gak nyanyi...”
*maksa mode : on. Lah dia juga maksa... Lo dapet gw dapet donk... haha...
Akhirnya gadis kecil itu bersiap menyanyi.
”Eh! Jangan nyanyi deh! Ngaji aja!” potongku.
”Ngaji apa Mbak....”
”Umm...apa ya... hafalnya apa?”
”Doa makan aja Mbak??” matanya berbinar.
Seorang bocah kecil lain menghampiri kami. Kali ini jauh lebih muda usianya. 4-5 tahun mungkin? Seketika sejumput perih tiba-tiba hadir bertandang...
”Iya Mbak...Allahumma baariklana fiima rozaqtana waqinaa ’adzaabannaar...” si kecil berteriak tanpa diminta. Wajah polosnya seolah haus pujian.
Aku tersenyum. ”Al Fatihah coba gimana...”
Lalu mereka berlomba melafalkan, berbalap-balapan.
”Allahumma baariklana fiima rozaqtana...”
”Lho... Al Fatihah... kok jadi doa makan terus... Gak mau... coba ulang...”
Aku membantu mengarahkan. ”Bismillaahirrohmaanirrohiim...”
Lalu mereka melanjutkan. Dan aku menyimpul senyum senang. Enak ya ngerjain anak-anak... *lho?!
Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua perlu harganya sendiri. Jika kamu ingin mendapatkan apa yang kamu inginkan, berusahalah sekuat tenaga.
Hina. Betul-betul hina.
Siapa yang mengajari mereka meminta-minta???
Tak sanggup kubayangkan apa jadinya mereka yang sejak dini diajari menengadahkan tangan; meminta dan meminta!
Seorang bapak paruh baya mendekat dan mengamati mereka. Pertunjukkan mereka usai, dan imbalan yang kujanjikan segera berpindah tangan.
”Ditabung ya...” pesanku sebelum mereka berlari. Cerewet kaali kakak ini, mungkin begitu mereka pikir...
”Anak seperti itu aja bisa ngaji... banyak anak orang kaya malah hancur hidupnya...” si bapak berkomentar tanpa ditanya.
”Hehe... begitu ya Pak...”
”Iya... ada yang narkoba lah... sekolah gak bener lah... tapi anak-anak kaya mereka bisa ngaji...”
”Hehe... saya iseng aja tadi Pak. Daripada mereka minta-minta, saya suruh ngaji aja dulu...”
”Ya bagus mereka bisa...”
Akhirnya kami malah berbincang ringan. Sampai tak lama kemudian angkot yang ditunggu oleh bapak itu datang. Sementara mobil yang kutunggu masih tak kunjung datang, kuputuskan untuk meminta orang rumah menjemput saja.
Dan terminal Kampung Melayu semakin diselimuti malam. Sekelebat peristiwa, mungkin mengandung begitu banyak pembelajaran...
Jadi sebenarnya tema tulisan ini apa ya?
Tuesday, 14.04.2009, 09.30 am.
http://direy.blogspot.com/2007/11/suasana-terminal-kampung-melayu.html
haturnuhun..maaf belum ijin..