Di antara adab menuntut ilmu adalah kita menghampiri para
guru.
***
Kemarin seharusnya jadwal saya berbagi ilmu pada
rekan-rekan. Mau saya sebut ‘mutarabbiy’ rasanya saya juga belum layak
dikatakan ‘murabbiy’. Jadi ya kita sebut begitu sajalah, majelis juga baru
berjalan 3 bulanan.
Jadwal kali ini tiba-tiba berubah. Begini bunyi mesej yang
terkirim di wa saya, “mba Indra hari ini ternyata ada ta’lim dengan ustadz
blabla.. liqonya kita cancel saja ya.”
Hati saya bergemuruh membaca pesan itu, meski akhirnya saya
balas, “hmm.. hari ini sudah saya luangkan waktu sih khusus untuk teman-teman”,
sambil membubuhkan emoticon smiley.
Setelah itu saya curcol pada murabbiy saya. How come, ummi? Emang sih aku ga sekaliber
ustadz itu blabla.. tapi kenapa ga jadwal lain aja yang dicancel.. why me, why
me... *ini agak lebay sikit*
Nasihat beliau -yang sebenarnya sudah saya ketahui teorinya-
kemudian meluncur : yang sabaaaarrr, indraaa... membangun komitmen itu
berproses, ada yang cepat, ada yang lama. Lagipula kan memang belum lama mulai
kelompoknya :)
Sebelumnya perasaan saya campur aduk. Ditambah pikiran lain
yang juga menumpuk, sempurna membuat jiwa saya keruh. Harusnya murid yang
nyamperin guru, ngejar-ngejar gurunya. Ini kenapa jadi saya yang harus
ngejar-ngejar mereka. Siapa yang butuh? Okelah kalau ustadz anu memang ilmunya
lebih sempurna, da aku mah apa atuh.. Cuma remah-remah rempeyek di kaleng khong
guan. Tapi ngertiin kek kalo aku juga meluangkan waktu untuk mereka, memangnya
aku gak ada kerjaan lain... dst dst.
“Siapa yang butuh?” ini meracun sekali. Alhamdulillah Allah
segera beri saya hidayah untuk aware. Mereka mungkin tidak terlalu butuh,
sehingga merasa tidak penting untuk membuat komitmen dengan saya. Tapi alhamdulillah karena petunjuk Allah, saya
gedor jiwa saya di saat itu bahwa sayalah yang membutuhkannya. Saya butuh
ladang amal, saya butuh melatih sabar, saya butuh agar kelak tangan mulut kaki
saya bersaksi bahwa saya sudah menyampaikan. Yes kamu yang butuh. Maka kamu
layak perjuangkan itu. Kamu layak mengusahakannya dengan tetap santun, tetap
beradab, dan kelak mereka akan melihat.
Tiba-tiba saya pun teringat tulisan seorang guru yang saya
hormati. Dulu di masa-masa jahil beliau, ujarnya, seorang senior kampusnya yang
gigih mengajak belajar islam, harus menelan kenyataan selalu ditinggal kabur
oleh para juniornya. Junior-junior ini lebih suka menghindar dengan berbagai
alasan ketimbang duduk bersamanya dalam majelis untuk memperdalam agama. Tapi sang
senior tidak pernah marah, tidak sedikitpun surut mengajak, tidak tampak bosan
mengejar-ngejar. Saat berjumpa dia selalu berhias senyuman tulus, sapaan
hangat, perhatian yang ikhlas, dan tak berubah sampai akhirnya mereka berpisah.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa di antara mereka akhirnya
tersentuh untuk mendalami agama lebih kontinyu. Dan teringatlah mereka pada
kebaikan sang murabbiy, si kakak senior tadi. Jikalah si senior ini tidak
sabar, bosenan, baperan *ya Robb gue banget* dan semacamnya, mungkin tidak ada
sedikitpun bekas akan kebaikan akhlaq penyeru diin ini. Ini juga yang kemudian
menginspirasi beliau untuk terus sabar, terus mendoakan, karena bagaimanapun
usaha seniornya itu berbuah! Tidak dalam waktu singkat, tapi menembus masa, berbilang
tahun kemudian. Dan si junior, guru saya itu, terus mendoakannya karena sungguh
hidayah itu amat tak ternilai, dan menjadi perantaraannya adalah pekerjaan
mulia. Maasyaa Allah. Doa itu! Adakah yang lebih indah dalam muamalah selain
mendapat doa tulus dari sesama?
Kemudian saya merasa kecil, kerdil. Sudah tahu watak jalan
ini namun baru sedikit saja terbentur, mengeluhnya jauh lebih banyak ketimbang
sabarnya. Padahal Nabi harusnya lebih layak baper, lebih layak lari saat
menghadapi masyarakat yang begitu bengal saat ditunjukkan kebaikan, lebih
nangis darah karena ujiannya berrrkali lipat jauh lebih dahsyat.
Jadi siapa yang butuh?
Saya insyafi ini kalimat angkuh. Merasa lebih, merasa ingin
dihargai.
Padahal keangkuhan inilah yang menghalangi kita masuk surga-Nya. Pun adab menuntut ilmu memang menggariskan bahwa mendatangi guru itu lebih patut, tapi kebersihan hati jua menjadi syarat jiwa ini kelak selamat.
Padahal keangkuhan inilah yang menghalangi kita masuk surga-Nya. Pun adab menuntut ilmu memang menggariskan bahwa mendatangi guru itu lebih patut, tapi kebersihan hati jua menjadi syarat jiwa ini kelak selamat.
Ya, saya yang butuh. Maka saya perlu kejar itu, perlu
optimalkan diri di situ. Mudah-mudahan ada cipratan hidayah-Nya atas apa yang telah tersampaikan. Jikapun tidak,
cukuplah ia memberatkan catatan amal nanti di yaumil hisab.
***
Murabbiy saya lalu menutup nasihatnya dengan indah.
“...jadikan itu celah untuk perbaikan mereka. Jika dikemas
dengan santun, dan disampaikan dengan niat kasih sayang, insya Allah akan
diterima dengan baik. Semangat ya Indra shalihah :) ”
Kekesalan saya mencair, berganti rasa malu dan istighfar banyak-banyak,
sekuat mungkin meluruskan niat. Ya Allah, ampuni, ampuni.. bimbing kami
menuju-Mu...
Note : anyway ini mungkin cemen banget yak wkwk.. *tutupmuka* tapi yang
cemen ini smoga ada pembelajarannya.