Aug 9, 2005

Stop KDRT!


bismillah.

Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, Phd, dekan sekaligus dosenku yang akrab dipanggil Mbak Yati, membagi sedikit pengalamannya ketika kuliah Psikoterapi. Saat itu kami sedang membahas An Integrative Perspective dan beliau bercerita tentang kliennya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sang klien adalah seorang dokter wanita berusia 30 tahunan, telah berumah tangga selama 18 tahun dan telah memiliki anak.

Awalnya, wanita ini menikah dengan pria pilihannya. Orangtuanya sebenarnya kurang sreg menikahkan putrinya dengan pria tersebut, namun akhirnya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada putri mereka. Satu tahun menikah, tidak ada masalah berarti. Dua tahun kemudian, suaminya mulai sering memukul dan sangat membatasi aktivitas sang dokter. Memang sejak mereka pacaran, pria ini bisa dikatakan cukup possessive. Ia tidak senang ketika tahu si wanita meminta tolong apapun kepada orang lain. “Kan ada saya, kenapa harus dengan orang lain?”, kira-kira begitu ujarnya.

Sehari-hari dalam kehidupan mereka, suaminya seringkali memukuli dan mengata-ngatainya ketika ia tidak melakukan sesuatu dengan baik. Suaminya berkata bahwa inilah cara ia mendidik dan mengajari istrinya. Ia juga mengatakan bahwa ini semua untuk kebaikan istrinya juga. Sang dokter pun mencoba berpikir positif, mungkin ini ujiannya dalam berkeluarga. Apalagi setelah bertengkar pun suaminya terlihat menyesal dan meminta maaf, serta berjanji untuk tidak mengulangi lagi.

Hari-hari berjalan dan kekerasan demi kekerasan terus terjadi.
Namun wanita ini berusaha bersabar dan tidak menceritakannya kepada orang lain, termasuk keluarga dan orangtuanya sendiri. Mungkin ada sedikit rasa gengsi, karena toh dulu ia menikah dengan pria pilihannya sendiri. Ketika ditanya penyebab biru dan memar di badan dan kepalanya, ia berusaha menyembunyikan dan berkilah bahwa itu semua akibat terjatuh. Sampai kemudian adik iparnya (adik kandung suaminya) mengetahui dan bersama-sama anaknya meminta tolong kepada Mbak Yati untuk menangani masalah ini. Dan untuk kesekian kalinya wanita itu memohon agar masalah ini jangan sampai terdengar ke telinga keluarganya.

Mbak Yati pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menasehati wanita itu agar mau berontak ketika berhadapan dengan suaminya. Alasan yang membuat ia “bertahan” selama 18 tahun adalah karena setiap kali ia dipukul, suaminya selalu mengatakan bahwa hal ini adalah untuk mengajari dirinya dan untuk kebaikannya juga, sehingga ia menerima saja.

Ketika itu Mbak Yati bercerita bahwa ia sangat gemas menghadapi kasus ini dan berkata kepada kliennya, “Kamu itu dokter! Kamu itu cerdas dan seharusnya bisa membela diri ketika suami menyakiti kamu!”. Sayangnya, ia tentu tidak bisa mengintervensi kasus ini terlalu jauh dan hanya bisa memberikan masukan serta saran-saran kepada kliennya tersebut. Dan kami yang mendengarkannya pun hanya bisa menahan geram.

Namun karena kata-kata suaminya sudah demikian kuat mempengaruhi kognitif wanita ini, ia pun tetap “nrimo” ketika suaminya terus memukulinya : menbenturkan kepala istrinya ke tembok, ataupun perlakuan kasar secara fisik dan verbal lainnya.

Pernah suatu hari ketika malam takbiran, peristiwa itu terjadi. Keluarga besar istrinya sedang berkumpul di rumahnya dan ia kembali mengalami perlakuan kasar sang suami. Dibawanya sang istri ke kamar mandi, dan dinyalakannya air keran serta kaset rekaman suara takbir sekencang-kencangnya. Lalu istrinya dipukuli habis-habisan, lagi-lagi dengan alasan, beginilah caranya mendidik sang istri karena ia memang harus diajari!

Sebulan lamanya sang klien tidak muncul ke tempat Mbak Yati, dan Mbak Yati mulai cemas. Adakah sang wanita tetap menderita disana, ataukah ia sudah baik-baik saja?

Akhirnya ia lega. Dokter wanita yang tegar itu datang mengucapkan terima kasih dan memberitahukan bahwa ia tengah mengurus gugatan cerai dengan suaminya di pengadilan. Akhirnya ia sadar dan berani berkata tidak terhadap perlakuan suaminya, lalu dengan kesadaran penuh ia mengambil keputusan itu.

***

Mungkin ada banyak kasus serupa, bahkan lebih parah, yang menimpa ratusan wanita di luar sana. Haruskah membuat perjanjian bermaterai saat menikah, yang berisi ketentuan untuk tidak menyakiti istri dalam bentuk apapun, sebagaimana dilakukan Rieke Diah Pitaloka beberapa waktu lalu? :(


"Tidaklah memuliakan wanita kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan wanita, kecuali ia orang yang hina pula."
(hadits Rasulullah saw, -gak tau shahih apa enggak-)

1 komentar:

Anonymous said...

"Bayangkan... wanita akan menikah dengan seorang yang baru, yg tidak pernah bersamanya sejak balita. Tiba2, Semua rahasia luar dalam akan transparan, tanggung jawab ayahnya diserahkan seluruhnya pada orang tsb. Dan dia harus patuh dan berbagi hidupnya seumur hidupnya!"
...... Sesungguhnya jika seorang wanita meninggal, dan suaminya ridho padanya, maka Jannah lah balasannya. Sesungguhnya, neraka kebanyakan terisi oleh wanita, salah satunya karena mereka banyak membangkang/mengeluh pada suaminya..... Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik thd keluarganya.