Aug 18, 2006

Kita belum merdeka, Tuan...


Kita belum merdeka, Tuan…
Atas kemiskinan yang terus menggurita
Pun kebodohan yang tampak semakin biasa
Tengoklah sekelilingmu yang berdarah
Atau pelosok-pelosok hati yang senantiasa mengecap luka
Selalu airmata
Ataupun tangisan gundah
Serta duka-lara yang menanah
Bersemayam di sana.

Bukankah mata kita belum buta
Dan ia masih berfungsi dengan teramat sempurna?
Maka longoklah kolong-kolong gedung bertingkatmu
Yang mencakar langit dan menembus awan semesta
Atau ujung-ujung lorong sempit di kotamu
Yang ditempati oleh tikus got dan manusia
Hidup berdampingan berbagi ruang dan masa

Atau sapalah tangan-tangan jelaga
Di antara rimbunan sampah menggunung
Yang kita hadiahkan bagi mereka
Bahkan menengokpun kadang kita tak rela
Apatah lagi menghirup bau badannya
Padahal kita tak pernah memberi mereka apa-apa
Kecuali sampah dan sampah semata

Tuan, agaknya kita memang belum merdeka
Tapi keterbelengguan itu takkan pernah terlihat jika kita enggan menundukkan kepala yang selalu tegak
Ayo, Tuan
Lihat ratusan jiwa nestapa di bawah sana
Perut mereka sudah terbiasa untuk senantiasa lapar
Juga menahan dingin hembus angin malam
Dan hujan, panas, badai, atau mungkin gelombang pasang

Begitulah, Tuan.
Kita memang belum merdeka.
Jika sekolah-sekolah selalu kekurangan guru untuk mengajar
Dan orangtua-orangtua berhutang sana-sini untuk melunasi buku serta iuran
Adakah kemerdekaan benar-benar mewujud nyata
Ataukah ia sekedar jargon-jargon saja?
Jika di segala penjuru bertebaran satu-sepuluh-ratusan-dan bahkan jutaan manusia miskin-papa,
Dan kaki-kaki kecil yang menjejak jalan-jalan mencari uluran receh-receh milik kita
Adakah merdeka sudah membumi-merealita
Ataukah ia cuma sampai pada tulisan-tulisan semata?

Kita belum merdeka, Tuan.
Serigala-serigala berdasi itu nyatanya masih bebas berkeliaran
Tak tanggung-tanggung, Tuan!
Dari MA hingga kelurahan
Suap-menyuap masih membudaya
Pun urus KTP, masih juga kena biaya
Ini, yang kita sebut dengan merdeka?
Polisi-polisi bahkan menilang untuk mendapat uang makan
Hakim-hakim berkomplot supaya dapat uang damai
Sementara ribuan buruh tak henti menuntut hak dan kesejahteraan
Peduli, kasih dan empati semakin menguap hilang
Pun benar dan salah yang semakin samar
Argh!
Inikah, Tuan, yang kita sebut dengan merdeka???

Sudahlah, Tuan.
Tak cukup kita berbangga dengan 61 tahun perayaan.
Tak cukup teriakan-teriakan hingga nafas tersengal
Atau semangat yang membuat kerongkongan kita tercekat
Apalagi ‘cuma’ makan kerupuk, balap karung dan panjat pinang
Seharian itu gembira jadi raja
Dan berpuluh-puluh hari berikutnya, duka-lara kembali membias jiwa

Kita memang belum merdeka, Tuan.
Miskin, bodoh, fakir, adalah penjajah sebenar-benarnya
Maka merdekakan bangsa kita sekarang juga
Atau nusantara, berpuluh tahun ke muka,
Boleh jadi tinggal nama.




-Bangkitlah,Indonesiaku!



*gambarBenderanyaDiambilDariSini.terimaKasiih.

3 komentar:

Aksara Kauniyah said...

Fath,
puisinya bagus...
gratz!

Anonymous said...

Tau nggak ndra... tadinya saya mau nulis puisi dgn judul yang nyaris sama. tapi stelah baca puisimu, sy jadi minder!!!!!!

Indra Fathiana said...

to mas aksara... masih bagusan tulisan2 anda koq...kalau dites, niscara linguistic intelligence-nya tinggian situ deh ^_^

to qibho...kenapa minder, Qibh?
kamu kan juga jago nulis :) ayo qibhoo...bikin blog juga...:P