May 8, 2007

Nulis Karya Ilmiah

Bismillah…


Beberapa waktu lalu, Yumna, sahabatku di kampus dulu, memberi kabar bahwa karya tulis kami (aku dan dia) masuk jurnal API (Asosiasi Psikologi Islam) edisi Desember 2006. Aku bahkan udah hampir lupa kalau pernah menulis sebuah karya tulis psikologi, apalagi yang islami! Kalau bukan barengan sama Yumna, mungkin gak ada sejarahnya seorang Indra Fathiana bikin karya akademis psikologi islami yang diikutsertakan dalam temu ilmiah di Yogyakarta tahun 2005 lalu. Bukan apa-apa, untuk membuat karya tulis biasa pun aku tak mahir. Makanya, pas aku coba-coba ikutan LKTI Korupsi dengan mengusung tema “Korupsi di Indonesia : Analisis Kondisi, Sebab, Akibat dan Solusinya dalam Perspektif Psikologi”, temenku yang anak kriminologi dan terbiasa bikin karya tulis, berkomentar saat membaca makalahku itu. Ujarnya, “Belum pernah bikin karya ilmiah ya sebelum ini?”
Hmmh… dilarang ketawa! *sigh*

Jadi inget peristiwa bikin makalah psikologi islami itu.
Waktu itu Yumna ngasih tau aku bahwa akan ada Temu Ilmiah Psikologi Islam di Jogja. Dan dia ngajak aku untuk ikutan. Naasnya, saking banyaknya yang mau ikutan, kami masuk waiting list, alias belum tentu bisa ikut kecuali ada peserta yang ngundurin diri. Berbekal nekat (waktu pengerjaannya cuma 2 pekan, man…) akhirnya berjibakulah kami membuat makalah itu di tengah-tengah aktivitas kuliah dan organisasi yang cukup padat. Finally, jadi juga makalah berjudul “Pacaran versus Ta’aruf : Telaah Proses Menuju Pernikahan dalam Perspektif Psikologi dan Islam” .

Ok, ini sedikit ulasannya…
Istilah pacaran diartikan sebagai proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks social yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, dalam Adiningtyas, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Sarwono, diperoleh data bahwa pada remaja di Jakarta, aktivitas yang dilakukan saat berpacaran adalah berkunjung ke rumah pacar, berjalan berduaan, berpegangan tangan, mencium pipi, mencium bibir, memegang buah dada dst sampai akhirnya sebagian di antaranya melakukan senggama. Hal ini menunjukkan bahwa pacaran mengarahkan pasangan pada perilaku seks bebas yang membahayakan bagi kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan penyakit kelamin. Selain itu, tidak jarang pada saat pacaran terjadi pelecehan seksual sehingga perempuan sangat dirugikan dalam hal ini.

As a solution, Islam datang memberi jalan alternatif : ta’aruf. Ta’aruf meminimalisir semua hal di atas. Ta’aruf (berkenalan) dalam konteks ini diartikan sebagai berkenalan dengan lawan jenis untuk memilih pasangan hidup, yang dimediasi oleh seorang mediator yang dapat dipercaya. Keberadaan mediator ini sesuai dengan alasan yang dikemukakan Nabi Muhammad saw dalam haditsnya, “Janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian (bersepi-sepian) dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan,” (HR. Imam Ahmad dari Amir bin Robi’ah ra.).

Ta’aruf biasanya dimulai dengan saling bertukar biodata dan foto. Jika masing2 individu merasa cocok, bisa berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu mengadakan pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak disertai mediator masing-masing. Hal-hal yang dibahas dalam pertemuan ini biasanya seputar pandangan hidup, kepribadian, kelebihan, kekurangan, latar belakang keluarga, aktivitas dan seterusnya. Kuantitas pertemuan disesuaikan dengan kebutuhan kedua belah pihak. Jika dari hasil pertemuan ini ditemui kecocokan, bisa dilanjutkan ke tahap pernikahan. Kalau merasa tidak cocok, proses bisa dihentikan sesuai kesepakatan. Dalam praktiknya ta’aruf memiliki banyak variasi, tentu tetap berjalan sesuai aturan Islam. Aktivitas kedua calon pasangan dibatasi, tidak ada kontak fisik ketika bertemu dan jika bertemu harus ditemani orang ketiga.

Ada beberapa penelitian tentang ta’aruf sebagai proses menuju pernikahan.
Penelitian Rubby (2005) yang berjudul “Gambaran Psychologycal Well-Being Mahasiswi yang Menikah tanpa Pacaran” menunjukkan bahwa masing-masing responden mempunyai kesejahteraan psikologis yang baik. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan pengungkapan perasaan2 pribadi atas apa yang dirasakan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.

Sementara itu, penelitian lain yang berjudul “Gambaran Cinta pada Pasangan yang Menikah Tanpa Pacaran” menunjukka hasil bahwa masing-masing pasangan mempunyai komitmen yag terlihat jelas untuk membentuk dan mempertahankan rumah tangganya (Adiningtyas, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa cinta yang berkembang setelah pernikahan dengan proses ta’aruf tidak mengalami hambatan.

Penelitian lain mengenai penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa pacaran menunjukkan hasil bahwa pasangan tidak mengalami kesulitan dalam melakukan kesepakatan-kesepakatan kehidupan rumah tangga. Artinya, penyesuaian yang dialami berjalan lancar wlaupun ada pasangan yang belum mengenal sama sekali sebelum mereka menikah (Hendrawan, 2004).

Sebagai simpulannya, aku dan Yumna menulis bahwa metode ta’aruf merupakan metode yang mampu menghindarkan calon pasangan dari perilaku seks bebas dan penyakit menular seksual. Selain itu, metode ta’aruf sesuai dengan ajaran Islam yakni larangan mendekati zina ( QS. Al Israa’ 17 : 32). Dari sudut pandang psikologi sendiri, telah dinyatakan dalam beberapa penelitian bahwa tidak ada masalah dalam hal berkembangnya rasa cinta, penyesuaian perkawinan dan kesejahteraan psikologis setelah menikah pada pasangan yang menggunakan metode ta’aruf dalam memilih pasangan hidupnya.


Giiitu deh, garis besarnya.

Ngomong-ngomong soal menulis karya ilmiah, aku jadi rindu berkutat dalam nuansa akademis. Menyenangkan sekali (umh..sometimes deng) bisa tau banyak hal dari membaca diktat yg lebih mirip bantal daripada buku saking tebelnya, atau nguprek-nguprek skripsi-tesis-TA orang di perpustakaan, nyari teori, menyatukannya dalam tulisan, menyusunnya sedemikian rupa dengan sistematika berpikir yang runut dst dst.

Walau terkadang mumet juga, ditambah aku merasa punya kelemahan dengan pikiranku yang suka loncat-loncat dan tertuang dalam rangkaian paragraf yang tidak sistematis, tapi tetap saja nuansa akademis itu ‘ngangeni’, kalo orang jawa bilang.

Hmm… Kapan ya… bisa menikmatinya lagi?



-menguburInsecure,Berangsur-angsur...


gambar dari sini

4 komentar:

Trian Hendro A. said...

saran saya: jangan dulu cepat2 kembali ke 'naunsa akademis' dulu, demi kebaikan..

*mengingat masa2 draft sidang lalu :p

Mohamad Fahdillah Rhani said...

heheheh, dunia akademis emang ngangenin. sungguh menyenangkan klo dah berkutat dgn research dan paper2 orang, dan akhirnya melahirkan ide2 baru. tp jgn terus jd menara gading ya... :)

Indra Fathiana said...

to trian: hehe..pengalaman akan membuat kita semakin matang, bukan? :D *beuh..gaya bener gw..*

to dil2: iya, ga blh jadi menara gading!tp pokonya skrg mah lg kangen bgt diskusi sm para akademisi dan membaca-berpikir-menulis hal2 berbau akademis. btw, s2 psikologi di malay bidangnya apa aja sih? sxs 4 ur study ya pakcik! slg doakan :)

Anonymous said...

Kutipan mengenai penelitan tentang taaruf itu bagus. Sayangnya, kutipan mengenai penelitian tentang pacaran kurang akurat. Untuk yang lebih akurat, lihat paragraf terakhir pada artikel http://pacaranislami.wordpress.com/2007/09/03/ciuman-dengan-pacar/