Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, awan kelabu seketika menggantung di cakrawala dan menerbitkan gundah pada degup-degup ketidakpastian yang masih saja melanda.
Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, pada rinai hujan yang sama, pada rintik gerimis yang sama, pada saat itu, kepasrahan bermuara pada satu penyerahan total: bahwa segala hal tak lagi dapat diputuskan dengan semena jiwa.
Pada gurat abu awan yang sama, langit hitam yang sama, pada masa itu pula, kesudahan adalah ketika keinginan tiada lagi diperturutkan: karena kuasa tak pernah dapat dikendalikan seenaknya.
Haruskah karam menjadi jawaban ketika sekian banyak gelombang waktu justru semakin mendekatkan pada kepastian yang selama ini dikembarakan?
Betapa angkuhnya, ketika persinggahan menjadi begitu melenakan hingga tak lagi ingat mana fatamorgana, mana pula realita. Ketika bahtera berhenti sejenak di atas ketenangan ombak kehijauan, luput sudah kesadaran bahwa palung menjorok di kedalaman telah bersiap menenggelamkan. Dan pada akhirnya, di saat bersamaan, gelombang menggulung dan badai bersahutan meluluhlantakkan semua perbekalan.
Sia-sia sudah haru-biru pasrah dan kerinduan dalam tunduk yang meleburkan segala hasrat ketika itu, hingga pertahanan demi pertahanan terkoyak-moyak dalam rasa sakit yang terus menderu.
Rapuh...
Perlu sekian waktu rupanya, menjegal dan memenjarakan semangat yang salah tempat.
Jika memang hujan membuat sayap-sayap teguh itu patah, patutkah kepayahan ini membela diri hingga jatuhnya ke jurang tampak sebagai hal yang biasa?
Pula, belum sempat pulih itu kembali sedia kala, binar cahaya di dasar bumi membuat silau dan lagi-lagi, lagi-lagi!, menggeret sejuta luka yang merah darahnya menghangat tersiram cuka!
Tidakkah degil itu dapat terhenti jika memang belum tiba waktunya meregang nyawa?
Tidakkah jera mencuat saat pecut itu mengena dan meninggalkan gores-gores yang tak bisa luntur bekas sayatannya?
Pada hujan dan dingin deru angin yang sama,
Pada pergantian cuaca yang tak pernah terkira,
Juga pada pancaroba yang menerbangkan harap bercampur cemas luar biasa,
Disinilah kiranya karam sang bahtera.
Jikalau matahari tak menembus lapis demi lapis samudra,
Atau nafas sesak itu tak tergesa-gesa meminta haknya,
Adakah sadar itu hidup untuk kesekian kali, mencari dimana sesungguhnya tempat berpijak hakiki?
Ruang demi ruang adalah medan tak berkepastian.
Pula masa demi masa yang masih nyata dalam penglihatan.
Seandainya batas itu diproklamirkan, tentu tak lagi ada kesungguhan tuk merajut keterbaikkan. Saat garis cakrawala membaur dengan sapuan angkasa, tak akan sanggup tertebak kapan saat akan berhenti, kapan pula saat akan menepi.
Maka yang terus terlihat adalah biru, abu-abu, serta gelap gelombang yang menerjang kuatnya cengkeraman. Atau kelebat angin yang menampar hebat di tiap kayuhan.
Atau juga godaan karena kelelahan, hingga muncul kemenyerahan : inilah masa dimana sang pecundang menjemput kematian.
Kalah.
Jatuh.
Hina.
Dan tentu saja,
mati sebelum waktunya.
**
Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.
Hanya saja harus ada beda antara gerak kayuh hari ini dan hari itu.
Seperti juga kesadaran bahwa berhenti sama dengan menjadi rugi, begitu pula halnya bila berjalan tertatih-tatih.
Jika faham sudah bahwa perjalanan trilyunan kilo tak dapat ditempuh dengan jiwa nan rapuh, maka sudah sepantasnya tegak itu disandang dengan terus mengukuh. Tenggelamlah jika memang menginginkan pasir-pasir hitam menjadi bangunan kehidupan yang goyah. Pada saat satu-persatu maju memberikan persembahan, ucapkan selamat tinggal pada sekian kali dungu yang tak mau belajar dari kesalahan.
Jika terik surya harus menjadi teman, dan gelombang pasang menjalin persahabatan, lalu gulita semesta serta amukan badai merapat menjadi bagian perjalanan, haruskah karam menjadi pilihan?
Walau perih kepalmu menggenggam kemudinya,
penat jiwamu menanti akhirnya,
dan nyaris pecah batinmu mengemis sejatinya cahaya,
Pada akhirnya, perjumpaan akan menjawab segala tanya.
Persuaan akan mengubur segala luka.
Dan percaya, ribuan kali ujian masih tak sebanding membayar harga mahalnya.
Ratusan badai masih tak setara dengan nikmat tak terkira.
Karena memang, kesucian tak pernah meminta kecuali tebusan yang sama.
Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.
Masih ada gerimis yang sama.
Juga binar mentari yang tak kunjung berubah pula.
Maka tetap tegakkan kepala, dan melangkahlah lebih baik dari sekian putaran masa.
Kelak gugur dedaunan, hembusan angin kencang, serta kemarau penantian, surut menghempas gigih bangkitmu dari ketenggelaman, berganti semi yang menyemaikan kesyukuran: Dan perjalanan bahteramu menjadi usai.
August2007,diiringDentingPianoKevinKernDalamAnotherRealm-EnchantedGarden-nya.
~Allahumma,tsabbitQolbi’Aladdiinik,shorrifQolbi’alaththo’atik...
gbr dari
http://www.squirrelldesigns.co.uk/another%20rainy%20day.html
lifesymphony.blogfa.com/
http://www.pocketpcmag.com/SuperCD/CFreeThemesVGA.aspx
http://www.fortoldningsafdelingen.dk/fortoldninger.htm
maaf ga ijin...
7 komentar:
Bismillaah..
Another story that can make me "ndak mudeng" (kalo orang jawa bilang)..
:D - peace -
Sip.. keren Mbak, postingannya luar biasa kok.. tetap semangat!!!
Giliran muji, udah diwakilin sama yg diatas, sering2 aja bikin yg ginian :)
Btw, ini teh tentang "hubbud dunya wa karohiyatul maut" ya ?
Emang berat menakhodai hati ini agar tetap mengikuti navigasi.
Yah, saling support aja ya bu!
Ikutan mengamini doa ketetapan hati...
to andik: ga harus dimengerti kok, ndik :)
to agah: alhamdulillah, smg Allah perbagus sangkaan saudaraku. intinya lg muhasabah deh gah :D
to nico: aamiin... smg Allah selalu mengaruniakan petunjuk pada hati2 kita. salam kenal, pak. thx 4 visit :)
wah ini sudah sebuah prosa...
to mas iman:
prosa naon, om? :D
hihi..sy dipanggil pak, baiklah bu, lam kenal juga :D
Post a Comment