Bekerja di sebuah lembaga yang mengusung suatu issue universal, agaknya menarik beberapa kalangan untuk bekerjasama dengan kami; aku dan teman2ku di kantor. Kali ini kami berkesempatan bekerjasama dengan (salah satunya) orang2 dari dunia entertainment, dengan segala keunikannya.
Kali pertama bertemu dalam ramah-tamah perkenalan (dimana aku berhalangan hadir), seorang temanku langsung mengeluarkan keluh-kesahnya begitu aku bertanya.
“Lu kebayang donk, Ndra... gw, dengan jilbab panjang gw, masih ‘nongkrong’ di kafe jam 11 malem! Mana amit-amit bau asep rokoknya... bener2 tersiksa...”
Aku mendengarkan ceritanya dengan muka prihatin, walau sebenarnya agak geli membayangkan dia disana ketika itu (hehe...jahat banget ya. Maap ya Mirce... ^_^).
Dan sore itu, kami berkumpul di rumah bosku untuk membincangkan kerjasama kami selanjutnya. Tak banyak orang. Hanya ada aku, bosku, 3 temanku, dan 3 orang dari mereka. Just like usual, tak ada formalitas dalam acara bincang-bincang kami. 2 dari mereka, laki-laki, mengenakan baju kasual, t-shirt dan celana jeans. Sementara satu lagi, si Mbak yang cantik, mengenakan kaus dan (ehm...) celana pendek setinggi ± 25 cm dari atas lututnya. Begitu ia duduk, tangannya langsung meraih bantal dan refleks menutupi bagian tubuhnya yang terbuka itu.
Kami membincangkan banyak hal.
Namun ketika tengah asyik ngobrol kesana-kemari, adzan maghrib dari musholla dekat rumah berkumandang. Bosku yang sedang mengungkapkan pikirannya terus saja berbicara dan kami mendengarkannya dengan seksama. Sampai akhirnya, di bait kedua adzan itu, si Mbak yang cantik memotong...
“Eh, lagi adzan. Gimana kalau kita dengerin dulu?”
Dan semua yang ada di ruangan itu langsung terdiam khusyuk. Hening, dan hanya terdengar adzan yang syahdu memanggil-manggil.
Tiba-tiba aku merasa malu. Maluuu sekali.
tapi ini baru soal adzan. seringkali di rapat2 para petinggi yang aku amati, sholat menjadi urusan yang dinomorsekiankan. naudzubillahh...