Bismillah…
Menakjubkan. Benar-benar menakjubkan.
Negeri yang katanya berpenduduk muslim terbesar di seluruh dunia ini, rupanya masih belum bisa melindungi hak muslim itu sendiri.
Sementara sejumlah kalangan berteriak bahwa minoritas senantiasa tertindas di negeri ini, mari kita bertanya, apakah yang sesungguhnya tengah dilakukan oleh banyak perusahaan yang melarang para muslimah menunaikan kewajibannya untuk berjilbab, sekali lagi, di negeri yang katanya mayoritas penduduknya adalah umat Islam!
Saya pikir itu isu basi. Hal yang tak semestinya muncul lagi. Tapi beberapa pagi lalu, sebuah televisi swasta menayangkan kasus baru lagi.
Beberapa tahun silam, dalam sebuah demonstrasi memberi dukungan pada rekan-rekan mahasiswi sekolah tinggi kedinasan yang dilarang berjilbab, saya sekilas melihat debat seorang expatriate yang mengamati aksi kami di pinggir jalan, dengan rekan saya.
Ujarnya, “Jilbab itu tak lebih dari simbol!”.
Muntab, rekan saya yang diajak bicara oleh orang asing itu marah dan berteriak menegasikannya.
Ya. Jilbab itu simbol. Tapi tentu saja lebih dari sekedar itu, Tuan.
Jilbab kami adalah identitas kami.
Harga diri kami.
Kehormatan kami.
Dan sebagaimana para wanita mempertahankan dirinya saat ingin diperkosa, maka seperti itulah kami mempertahankan jilbab ini saat ada orang lain yang ingin menanggalkannya.
Jilbab kami memang simbol keislaman kami.
Simbol ketundukan kami pada aturan Tuhan bahwa sudah sepantasnya perhiasan kami, tubuh kami, kemolekan kami, hanya boleh dinikmati oleh yang halal menikmatinya.
Biarlah mereka yang melenggak-lenggokan tubuhnya, melucuti sebagian besar pakaian dan menyisakan sedikit saja kain untuk menutupi bagian-bagian vitalnya, menjadi seperti apa yang mereka inginkan.
Menjadi seperti apa yang orang lain harapkan; kehilangan identitas dan konsep diri yang matang.
Tapi kami tak mau kehilangan identitas kami.
Bahwa kami betul perempuan, dan kami selayaknya merdeka dari tatap laki-laki jalang. Kami bukan himpunan daging yang bisa dinikmati begitu saja, atau bahkan menyodorkan diri disentuh lalat-lalat yang menjadikan ia cemar.
Dan saya masih saja terbelalak mendengar berita ini.
Pekan kemarin seorang perawat wanita di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi harus menunjuk seorang pengacara hanya untuk memperjuangkan haknya karena ia dilarang mengenakan jilbab pada saat bekerja.
Di Bekasi! Indonesia!
Saya tak akan heran jika itu terjadi di Prancis sana, misalnya, atau negara-negara dimana Islam menjadi minoritas.
Tidak adakah hal lebih penting lainnya yang bisa mereka urus daripada sepotong kain yang menutupi tubuh kami?
Dan, oh… ternyata muslimah itu tak sekedar dilarang. Pihak rumah sakit belum puas sampai ia mendapat ancaman setiap saat atas jilbabnya, dan juga memotong tunjangan hingga tak utuh seperti yang biasa ia terima.
Lain lagi kisah muslimah di Surabaya yang juga mengalami kasus serupa. Ia diperkenankan tetap memakai jilbabnya, tapi harus memakai rok mini yang memang menjadi seragam di kantornya.
Wow!
Pelecehan macam apa lagi yang akan diterima atas jilbab kami, kehormatan kami?
Dan jujur saja saya jadi ingin bertanya.
Jika Anda seorang artis penyanyi wanita, dan Anda sudah memakai kostum rok mini serta tank top sebagaimana demikianlah trend yang ada saat ini, apa sikap Anda saat produser Anda berkata, “Ya, boleh pakai baju seperti itu. Tapi tolong tidak usah memakai roknya” ???
Tolong koreksi saya : dimana relevansi antara suara yang menjadi keunggulan Anda (dan memang itulah yang seharusnya ditonjolkan ketika Anda memilih menjadi pe-nya-nyi), dengan kostum yang harus menampakkan, maaf, organ kesucian Anda?
Dan kemudian saya jadi ingin membedah kepala para penentu kebijakan rasialis ini, tak habis pikir dengan pemikirannya.
Apakah jilbab kami bau busuk, Tuan?
Apakah jilbab kami kotor atau lusuh?
Apakah kain yang menutup kepala kami ini mengandung zat atau bakteri yang mematikan?
Apakah kami merugikan orang lain dengan kerudung yang kami pakai?
Benar-benar menakjubkan.
Sementara sebagian besar orang mengelu-elukan kemenangan Obama yang dianggap merepresentasikan terhapusnya diskriminasi bagi ras tertentu, disini, di negeri yang 80% penduduknya muslim mayoritas ini, kami menjadi terdakwa karena menunaikan apa yang menjadi kewajiban bagi kami.
Sementara Prancis bersemboyan Liberte, Egalite, Fraternite, di saat yang sama muslimah disana menjadi bulan-bulanan polisi karena tak boleh mengenakan jilbab saat bersekolah.
Sementara Amerika memasang badan paling depan untuk menjadi simbol penegakan HAM, penjajahan mereka atas Irak dan Afghanistan terus berlangsung dan menyisakan jutaan anak yatim-piatu dan janda-janda papa nan terlantar.
Sementara Yahudi menjadi penyokong terkuat Amerika sang penegak demokrasi, pada waktu yang sama, peluru-peluru tentara mereka memecahkan kepala ribuan bayi, anak-anak, orangtua, dan membuat tempat tinggal rakyat Palestina rata dengan tanah!
Demokrasi untuk apa?
Keadilan yang bagaimana?
Kesetaraan untuk siapa saja?
Dan kita, detik ini, di Indonesia, Palestina, Chechnya, Pattani, Moro, masih terpasung hanya karena bertuhankan Allah, bertauhid dan memegang teguh keyakinan serta mengamalkan ajaran Islam.
Phobia akut.
Menjalar menjadi penyakit kejiwaan yang berteriak lantang-lantang :
Apapun bentuknya, Islam adalah musuh dan ancaman!
Betapa kerdilnya.
Betapa memprihatinkannya.
Tidakkah mereka butuh terapi atau pengobatan?
Monday, 17.11.08, 11:45 pm
Nov 17, 2008
Jilbab Kami, Kemerdekaan Kami
Diposkan oleh Indra Fathiana di 11/17/2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 komentar:
suatu hal aneh yang mulai membudaya... saat orang lebih nyaman melihat "half-naked" daripada yg berhijab atau berniqab *shrug*
#dee : begitulah :)
di Indonesia sendiri masih ada yg ngelarang pekerjanya memakai jilbab.. keterlaluan bgt tu..
Post a Comment