Bismillah…
Jarang-jarang saya menulis tentang sesuatu yang berbau politik. Walau sempat menyicipi politik kampus, tapi enough-lah… hehe. Daripada saya sotoy-marutoy kan…
Tapi tulisan ini sebenarnya tidak berbau politik sama sekali sih, hanya saja sedikit menyerempet tentang sikap, salah satunya bersinggungan dengan ranah itu.
Saya hanya tak habis pikir dengan salah seorang saudara yang… kebetulan ia punya preferensi berbeda dalam memilih wadah untuk lebih memahami Diin ini. Perkumpulan atau organisasi keislaman, katakanlah seperti itu.
Saya sudah lama tahu bahwa saya dan dia mempelajari Islam di tempat yang berbeda. Dan saya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Kita sudah sama-sama dewasa, bisa memilih mana yang menurut kita baik atau tidak, tentu dengan berbagai konsekuensinya.
Yang saya sering tak mengerti adalah sikapnya. Ketika organisasi saya bersikap A, dia mempertanyakan. Ya saya jawab sesuai dengan apa yang secara resmi dikemukakan oleh struktur organisasi saya. Tapi pertanyaannya bukan sekedar bertanya, ternyata. Saya merasa dia sedang menguji saya. Lebih tepatnya mungkin menguji kesabaran saya. Sudah jelas-jelas ada pernyataan resmi dari struktur, tetapi dia masih saja mendebat, “harusnya kan begini, begini… kok malah seperti itu,”.
Karena saya paling malas berdebat, saya sarankan dia membuka situs resmi organisasi saya dan bertanya langsung kepada orang-orang yang duduk di strukturnya.
Itu satu kasus.
Kasus lainnya adalah tahun 2004 ketika Pemilu. Sebagai kumpulan yang memandang Islam sebagai ajaran yang komprehensif, maka politik juga termasuk hal yang diberi perhatian. “Islam adalah sistem yang komprehensif yang berkaitan dengan seluruh kehidupan. Ia adalah negara dan kampung halaman. Ia adalah moral dan kekuasaan. Kebudayaan dan hukum. Juga jihad dan panggilan berjuang. Serta tentu saja ia adalah kepercayaan dan ibadah..."
Maka kami, perkumpulan kami, memilih untuk terjun ke dalam pemerintahan untuk –salah satunya- mewarnai dinamikanya dengan ajaran Islam yang lurus dan rahmatan lil ‘alamin.
Tapi di 2004 itu, kebijakan yang dibuat pemerintah –dimana kami turut mendukung si presiden naik ketika itu- ternyata dianggap kurang berpihak pada rakyat. Well, saya memang tidak tahu bagaimana kebijakan itu bisa keluar begitu saja. Apakah kurang kuat lobi kami? Apakah tidak ada mekanisme kontrol yang cukup? Apakah kami tidak diajak bermusyarawah?
Entahlah…
Dan hati saya panasss sekali ketika membaca spanduk besar dari organisasi rekan saya yang terpasang di jalan protokol ibukota itu.
Bunyinya lebih kurang, “Siapa suruh ikut Pemilu. Siapa suruh memilih si X. Akibatnya jadi begini…”.
Memang tidak jelas tersurat siapa yang disindir dalam spanduk itu. Tapi saya merasa memang organisasi kamilah yang dibidik. Wong kami satu-satunya yang mau rembukan masuk ke dunia abu-abu itu. Tapi apakah begini yang namanya ukhuwah islamiyah itu? Apakah ketika ada saudaranya yang melakukan kesalahan, kemudian boleh semakin disudutkan? Atau ketika ada saudaranya yang jatuh, lantas boleh “dilewek-lewek” alias “disukur-sukurin”?
Di dunia maya jauh lebih parah. Dan saya paaaaling malas membaca apapun yang berbau negatif, berasa nyedot energi. Yang jelas-jelas mencaci-maki mungkin sudah tak terhitung. Ada juga yang membuat postingan mempertanyakan kebijakan tertentu, menganalisa ini dan itu, lalu ujung-ujungnya menjelek-jelekkan.
Jadi bingung sayah…
Mbok ya kerja yang efektif gitu lho. Kalau mau nanya itu ya ke orangnya langsung, bukan ke publik. Kecuali kalau memang tujuannya mau melakukan character assassination (pembunuhan karakter), atau ghibah (ngomongin orang), atau namimah (mengadu domba). Gak usahlah mengatasnamakan “mengingatkan saudara”.
Kalau mengingatkan itu kan ada ADAB-nya. Salah satunya adalah tidak di muka umum.
Salah lainnya disampaikan dengan santun, tidak mengungkit kesalahan di masa lalu, tidak mengaitkan dengan kesalahan2 yang lain, dan yang paling penting NIAT-nya. Beneran mau ngingetin atau mau cari kesalahan? Beneran mau negur atau merasa paling benar? Beneran tulus karena sayang sama saudaranya atau cuma gatel pengen nuding-nuding kesalahan orang lain?
Bahkan seorang Umar bin Khaththab ra. saja beristighfar ketika pendapatnya yang dianggap benar.
Lalu saya jadi teringat pada sahabat saya di kampus dulu. Al-akh ini kebetulan juga berbeda organisasi sama saya. Tapi beliau cukup bisa diajak berdiskusi. Meski kami sama-sama kekeuh pada pendapat masing-masing, tapi kami tetap dapat saling menghargai.
Menjelang pilpres ini, eskalasi serangan semakin meningkat pasti. Saya sudah bosan dengan berbagai macam polah ini, “Pilihan kalian terjun ke dunia politik itu salah! Harusnya langkah kalian seperti ini. Harusnya kalian tidak melakukan itu. Kami menyesalkan blablabla…Harusnya kalian begini dan begitu…”.
Duh, lakukan saja lah, Bung.
Kami sedang melakukan dengan cara yang kami yakini. So, kita berbuat saja bersama-sama tanpa harus saling mencela. Biarkan dunia melihat siapa yang bekerja, siapa yang banyak bicara. Lagipula kalau kita berbeda, terus kenapa?
Dan sikap saya masih saja sama ketika bertemu orang-orang macam mereka.
“Inna sa’yakum lasyatta.”.
Menyungging senyum di pipi, dan meninggalkan mereka pergi.
Maafff sekali, kami tidak punya banyak waktu untuk membuang-buang energi.
Friday, June 26, 2009. 08:01 pm.
Jul 9, 2009
Kalau Beda, Terus Kenapa?
Diposkan oleh Indra Fathiana di 7/09/2009 3 komentar
Label: Thought
Adakah Qur'an di Hati Kita?
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan ikutan mabit (bermalam -red) dengan adik2 di SMA. Bagi saya, mabit dalam nuansa ruhiy adalah salah satu sarana re-charging iman, selain mengeratkan ukhuwah dengan teman2 juga tentunya. Dan beruntungnya, malam itu kami kedatangan al ustadz yang hafizh qur'an. Wow kerenn....
Mau tau berapa usianya?
Hm... saya taksir sekitar 23-24 tahunan.
Dan pada umur berapakah ia tunai menghafalkan Al Qur'an 30 juz?
14 tahun, sodara-sodara!
Dan tahukah apa yang ia katakan ketika itu?
"Sebenarnya saya malu hafal Qur'an umur segitu... soalnya teman-teman saya umur 9 tahun sudah pada hafal..."
Dan penonton pun bergubrak-gubrak ria...
Si ustadz yang lebih suka dipanggil "Bang Arul" ini kabarnya masih kuliah dan menjadi ketua LDK UNJ *dan saya membayangkan keberkahan da'wah di kampus itu ketika dipimpin oleh seseorang yang intens berinteraksi dengan kalamullah...
Dalam uraiannya, ia menukil hadits2 yang memotivasi kita untuk banyak-banyak membaca Al Qur'an karena begitu banyak kebaikan dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Beberapa hadits yang ia kutipkan seperti ini nih,
"Orang yang pandai membaca Al Qur'an akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan yang membaca tetapi sulit dan terbata-bata maka dia mendapat dua pahala."
(HR. Bukhari dan Muslim)
"Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya."
(HR. Bukhari)
"Orang yang dalam benaknya tidak ada sedikitpun dari Al Qur'an ibarat rumah yang bobrok" (Mashabih Assunnah)
"Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa 'at bagi pembacanya. " (HR. Muslim dari Abu Umamah).
Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, katanya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf. " (HR. At-Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih).
Nah, selain mengutip hadits-hadits yang berkaitan dengan membaca Al Qur’an, Akh Arul juga bilang kalau momentum mengkhatamkan Al Qur’an itu mengandung banyak sekali keberkahan. Jadi alangkah baiknya jika kita sudah hampir khatam Qur’an, kita ajak anggota keluarga berkumpul dan menyelesaikan bacaan Qur’an hingga khatam, lalu berdoa bersama-sama.
Maka, pas mabit itu kita bagi-bagi bacaan Qur’an. Ada yang baca ayat sekian sampe sekian, dan semuanya dibagi rata sampai ayat terakhir dari juz terakhir. Lalu pas Qiyamul Lail sang ustadz membaca doa khatamul qur’an yang bikin saya tersengguk-sengguk mengingat arti-artinya… huhu, what a great moment..
Meski lumayan pegal karena 11 raka’at dihabiskan untuk membaca 1 juz (cuma juz 30 doang sih, tapi udah kerasa pegelnya..), mabit ini lumayan berkesan dan berbekas. Maklum, udah lama gak ketemu momen seperti ini.
Ohya, beliau juga cerita kalau ada seorang ustadz (saya lupa namanya..) yang membiasakan diri mengkhatamkan Al Qur’an dalam 1 minggu. Jadi bisa diperkirakan ya, setiap hari minimal harus membaca 4-5 juz. Menariknya, ketika ustadz ini ingin menghafalkan Qur’an, ia bisa menghafal dalam waktu yang tidak begitu lama, sekitar 3 bulan saja kalau saya tidak salah ingat. Luar biasa dahh…
Terakhir, untuk melengkapi, saya lampirkan tanya-jawab bersama akh Arul al-hafizh yang diketikkan adik kelas saya.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi kita untuk terus mendekatkan diri dengan bacaan mulia ini. Selamat menikmati ya...
***
Tanya jawab lailatul katibah
1. Setiap harinya berapa lama kak arul melakukan murajaah atau tilawah?
Yang saya lakukan saat ini tidak berstandarkan waktu namun berdasarkan banyaknya(halaman quran) nah biasanya saya dan keluarga itu meluangkan satu waktu khusus yaitu ba’da maghrib dimana tidak ada aktivitas lain selain berinteraksi(murajaah atau tilawah) dengan alquran. Sedangkan waktu-waktu lainya karena sibuknya aktivitas maka kak arul memanfaatkan waktu luang dengan sebaik-baiknya, misalnya saat perjalanan menuju kampus kak arul melakukan murajaah dan biasanya dapat 1 juz atau lebih,mantap boy…! Atau ketika jam kosong menuggu dosen,dll
2. Menurut pendapat imam abu hanifah diperbolehkan untuk salat sambil memegang mushaf, namun bila dilakukan maka akan terdapat beberapa masalah diantaranya,1. Kita tidak memandang tempat sujud,2. Kita banyak melakukan gerakan diluar gerakan salat,sedangkan menurut pendapat imam syafii sendiri melarang gerakan diluar salat lebih dari 3 kali. Bagaimana menurut pendapat antum?
Menganai gerakan diluar gerakan salat itu yang tidak diperbolehkan adalah gerakan yang tidak berguna untuk dilakukan. Sedangkan gerakan yang berguna seperti menggaruk ketika gatal itu diperbolehkan karena apabila ditahan rasa gatal mnyebabkan tidak khusunya salat maka menggaruk diperbolehkan.
Sedangkan mengenai pendapat imam abu hanifah maksud dari melakukan(memegang mushaf ketika salat) yaitu untuk manambah kekhusuyan kita ketika salat. Karena kalo imam membaca bacaan yang panjang dan kita tidak hafal bacaan itu maka apabila kita hanya menyimak maka kemungkinan pikiran kita akan melayang kemana-mana, wong orang yang sudah hafal saja pikirannya masih kemana-mana kok apalagi yang tidak hafal. Nah… kalo kita nyimak sambil megang mushaf maka konsenterasi kita akan lebih tinggi jadi kita lebih khusyu.
Nah menganai mamandang tempat sujud lagi-lagi kita harus memahamai bahwa memandang tempat sujud itu dimaksudkan agar kita dapat khusyu dalam salat nah kalo dengan memegang mushaf kita dapat khusyu maka tidak mengapa hal itu dilakukan.
Jadi…. Hukumnya boleh…
3. Bagaimana cara antum manjaga hafalan antum?
Cara menjaganya ya dengan melakukan murajaah(pengulangan) jadi bacaan yang sudah kita hafal sering kita ulang.
4. Saya masih kurang memahami mengenai kebiasaan para sahabat yang menyisakan sedikit bacaan kurannya ketika hendak menhatamkan al quran untuk dibaca bersama anggota keluarganya, mengapa demikian? Mengapa tidak membaca bersama dari awal?
Jadi keberkahan mengkhatamkan al quran itu sangat besar dimana pada saat itu juga merupakan waktu yang mustajab. jadi baik donk ketika kita hendak mengkhatamkan quran kita mengajak keluarga kita yang lain juga mendapat keberkahan, nah selain itu kan ada hadistnya barang siapa yang ikut bersama mengkhatamkan quran maka ia layaknya mendapatkan ghanimah, jadi gitu…
Nah mengenai baca bareng dari awal kak arul lupa untuk menjawabnya, tapi kalo menurut ana kelamaan gak sih kalo mesti baca bareng dari awal sampai akhir gitu, mending kalo sekeluarga kayak imam syafii lah kalo kayak kita… gimana hayo???
5. Bagaimana cara mudah menghafal alquran?
Mengenai cara,itu setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menghafalkan al quran entah dari segi waktu yang tepat ketika menghafal, tempat atu caranya. Adapun beberapa buku ada yang menyatakan cara cepat menghafal alquran itu lagi-lagi bergantung pada masing-masing individu lebih cocok dengan metode apa, so find your way
Namun ada beberapa kiat yang bisa memudahkan kita dalam menghafal al quran
1. Menggunakan 1 mushaf saja(jangan berganti-ganti mushaf)
2. Meluangkan waktu bukan mencari waktu luang (gak bakal ketmu waktu luang)
3. Memiliki tempat setoran hafalan alquran bisa temen qta, MR, abi, umi, om, tante, dll dah
4. Berada dalam komunitas yang juga menghafal al quran
Nah ini closing statement atau nasihat dari ust. Jauharul Chitam buat kita kata beliau kurang lebih gini:
Maju mundurnya umat islam itu sangat bergantung kepada interaksi umatnya kepada alquran umat ini akan maju bila umat baik interaksinya dengan alquran begitu pula sebaliknya. Nah kita juga mesti sadar bahwa ternyata musuh-musuh islam telah berusaha menjauhkan kita dari alquran.
Nah oleh karena itu buat temen-teman yang ngaku aktivis dakwah ni… kan aktivis tuh, jadi biasanya sih sibuk tapi ingat jangan sampai interaksi dengan Al Qur'an dilalaikan. Wokei….
Keep semangat n istiqomah!!! Allahu akbar!
Diposkan oleh Indra Fathiana di 7/09/2009 0 komentar
Label: Islam
Subscribe to:
Posts (Atom)