Jul 9, 2009

Kalau Beda, Terus Kenapa?

Bismillah…


Jarang-jarang saya menulis tentang sesuatu yang berbau politik. Walau sempat menyicipi politik kampus, tapi enough-lah… hehe. Daripada saya sotoy-marutoy kan…
Tapi tulisan ini sebenarnya tidak berbau politik sama sekali sih, hanya saja sedikit menyerempet tentang sikap, salah satunya bersinggungan dengan ranah itu.

Saya hanya tak habis pikir dengan salah seorang saudara yang… kebetulan ia punya preferensi berbeda dalam memilih wadah untuk lebih memahami Diin ini. Perkumpulan atau organisasi keislaman, katakanlah seperti itu.

Saya sudah lama tahu bahwa saya dan dia mempelajari Islam di tempat yang berbeda. Dan saya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Kita sudah sama-sama dewasa, bisa memilih mana yang menurut kita baik atau tidak, tentu dengan berbagai konsekuensinya.

Yang saya sering tak mengerti adalah sikapnya. Ketika organisasi saya bersikap A, dia mempertanyakan. Ya saya jawab sesuai dengan apa yang secara resmi dikemukakan oleh struktur organisasi saya. Tapi pertanyaannya bukan sekedar bertanya, ternyata. Saya merasa dia sedang menguji saya. Lebih tepatnya mungkin menguji kesabaran saya. Sudah jelas-jelas ada pernyataan resmi dari struktur, tetapi dia masih saja mendebat, “harusnya kan begini, begini… kok malah seperti itu,”.
Karena saya paling malas berdebat, saya sarankan dia membuka situs resmi organisasi saya dan bertanya langsung kepada orang-orang yang duduk di strukturnya.

Itu satu kasus.
Kasus lainnya adalah tahun 2004 ketika Pemilu. Sebagai kumpulan yang memandang Islam sebagai ajaran yang komprehensif, maka politik juga termasuk hal yang diberi perhatian. “Islam adalah sistem yang komprehensif yang berkaitan dengan seluruh kehidupan. Ia adalah negara dan kampung halaman. Ia adalah moral dan kekuasaan. Kebudayaan dan hukum. Juga jihad dan panggilan berjuang. Serta tentu saja ia adalah kepercayaan dan ibadah..."
Maka kami, perkumpulan kami, memilih untuk terjun ke dalam pemerintahan untuk –salah satunya- mewarnai dinamikanya dengan ajaran Islam yang lurus dan rahmatan lil ‘alamin.

Tapi di 2004 itu, kebijakan yang dibuat pemerintah –dimana kami turut mendukung si presiden naik ketika itu- ternyata dianggap kurang berpihak pada rakyat. Well, saya memang tidak tahu bagaimana kebijakan itu bisa keluar begitu saja. Apakah kurang kuat lobi kami? Apakah tidak ada mekanisme kontrol yang cukup? Apakah kami tidak diajak bermusyarawah?
Entahlah…

Dan hati saya panasss sekali ketika membaca spanduk besar dari organisasi rekan saya yang terpasang di jalan protokol ibukota itu.
Bunyinya lebih kurang, “Siapa suruh ikut Pemilu. Siapa suruh memilih si X. Akibatnya jadi begini…”.

Memang tidak jelas tersurat siapa yang disindir dalam spanduk itu. Tapi saya merasa memang organisasi kamilah yang dibidik. Wong kami satu-satunya yang mau rembukan masuk ke dunia abu-abu itu. Tapi apakah begini yang namanya ukhuwah islamiyah itu? Apakah ketika ada saudaranya yang melakukan kesalahan, kemudian boleh semakin disudutkan? Atau ketika ada saudaranya yang jatuh, lantas boleh “dilewek-lewek” alias “disukur-sukurin”?

Di dunia maya jauh lebih parah. Dan saya paaaaling malas membaca apapun yang berbau negatif, berasa nyedot energi. Yang jelas-jelas mencaci-maki mungkin sudah tak terhitung. Ada juga yang membuat postingan mempertanyakan kebijakan tertentu, menganalisa ini dan itu, lalu ujung-ujungnya menjelek-jelekkan.

Jadi bingung sayah…
Mbok ya kerja yang efektif gitu lho. Kalau mau nanya itu ya ke orangnya langsung, bukan ke publik. Kecuali kalau memang tujuannya mau melakukan character assassination (pembunuhan karakter), atau ghibah (ngomongin orang), atau namimah (mengadu domba). Gak usahlah mengatasnamakan “mengingatkan saudara”.
Kalau mengingatkan itu kan ada ADAB-nya. Salah satunya adalah tidak di muka umum.
Salah lainnya disampaikan dengan santun, tidak mengungkit kesalahan di masa lalu, tidak mengaitkan dengan kesalahan2 yang lain, dan yang paling penting NIAT-nya. Beneran mau ngingetin atau mau cari kesalahan? Beneran mau negur atau merasa paling benar? Beneran tulus karena sayang sama saudaranya atau cuma gatel pengen nuding-nuding kesalahan orang lain?
Bahkan seorang Umar bin Khaththab ra. saja beristighfar ketika pendapatnya yang dianggap benar.

Lalu saya jadi teringat pada sahabat saya di kampus dulu. Al-akh ini kebetulan juga berbeda organisasi sama saya. Tapi beliau cukup bisa diajak berdiskusi. Meski kami sama-sama kekeuh pada pendapat masing-masing, tapi kami tetap dapat saling menghargai.

Menjelang pilpres ini, eskalasi serangan semakin meningkat pasti. Saya sudah bosan dengan berbagai macam polah ini, “Pilihan kalian terjun ke dunia politik itu salah! Harusnya langkah kalian seperti ini. Harusnya kalian tidak melakukan itu. Kami menyesalkan blablabla…Harusnya kalian begini dan begitu…”.

Duh, lakukan saja lah, Bung.
Kami sedang melakukan dengan cara yang kami yakini. So, kita berbuat saja bersama-sama tanpa harus saling mencela. Biarkan dunia melihat siapa yang bekerja, siapa yang banyak bicara. Lagipula kalau kita berbeda, terus kenapa?

Dan sikap saya masih saja sama ketika bertemu orang-orang macam mereka.
“Inna sa’yakum lasyatta.”.
Menyungging senyum di pipi, dan meninggalkan mereka pergi.
Maafff sekali, kami tidak punya banyak waktu untuk membuang-buang energi.


Friday, June 26, 2009. 08:01 pm.

3 komentar:

Anonymous said...

SABAR.....SABAR....BUUU !!!!!! (he he he)

Rafi Ramadhani Yusuf said...

SABAR.....SABAR....BUUU !!!!!! (he he he)

Pendidikan Kecakapan Hidup said...

ada saja dimana pun, rekan yang hendak menguji kepintaran, pengetahuan, argumen dan kompetensi sesama rekannya...dan ini perlu disikapi dengan persuasif...namun, ketika sudah terlampau "ngelunjak", maka cara yang paling ampuh adalah "tutup kuping", "tutup mulut" dan katakan: "maaf, saya sudah lelah ^_^"...dan biarkan rekan tersebut mengintrospeksi dirinya yang selalu ingin dianggap terdepan, terbenar atau ter-ter-ter lainnya yang ia niatkan.

at last...moga beliau dapat mengubah sikapnya itu...mari kita do'akan.

tanx to all prajuritkecil seruan yang ikhlas dan cerdas dalam memahami perbedaan dan menyikapinya dengan bersama-sama, dengan ilmu, dengan keimanan, dengan musyawarah dan dengan tawakkal.