Bismillah.
Ada harapan besar ketika gayung bersambut hari itu : untuk dia dan dia. Setidaknya ikhtiar ini bisa memulai langkahnya.
Dan mereka berjalan. Bertatap muka kemudian.
Tapi entah. Langkah itu ternyata hanya diayunkan sekali lalu berhenti dan bahkan bisa jadi mundur lagi. Tidak ada penjelasan kecuali sebaris kalimat yang tak tepat konteksnya, kurasa. Bahwa benar, masa lalu kadang membunuh kita, membuat ketegapan berubah menjadi keraguan : sadar bahwa kita pernah terluka, lalu kita begitu waspada agar tak terjatuh lalu kembali lara. Tapi sungguh, serpihan kerikil itu hanya terlihat bak bongkah batu besar, padahal nyata-nyata ia sekedar ketakutan, serta kehati-hatian yang terlalu berlebihan. Dan ia benar jatuh. Lagi. Celakanya, apakah ia kerikil ataukah karang itu yang tak jelas, karena tak diraba apa bentuknya.
Lalu aku bertanya ‘mengapa?’ serta ‘bagaimana kalau..., apakah bisa?’
Tapi jawaban pertanyaanku adalah awan yang meliuk mengikuti angin yang membawanya. Tampak pasrah. Di permukaan terlihat berserah, tapi ditelisik tersembul menyerah. Tipis memang bedanya.
Bagaimana bisa, kaumemiliki cita tetapi bahkan kau tak mulai dengan rasa ingin tahu seperti apakah cita itu akan dapat dicapai? Tidak ada pertanyaan untuk menjaring kejelasan, setidaknya gairah yang menunjukkan bahwa benar kau ingin mencapainya, atau setidak-tidaknya, tunjukkan bahwa kau benar-benar memiliki cita-cita itu.
Ada ribuan hati yang menyalahkaprahi perjalanan singkat di dunia ini. Bahwa kemauan tidaklah cukup untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Bahwa keinginan saja tidaklah sebanding dengan harapan yang kita langitkan tinggi-tinggi menggapai andromeda. Itu sebabnya takdir seringkali memihak mereka yang bersungguh-sungguh berupaya, untuk kemudian total berserah pada yang Maha Mengaturnya. Bukan yang menyerahkannya pada alir demi alir, hembus demi hembus, hingga air serta angin menjadi kambing hitam yang tak semestinya dalam filosofi ini : hidupku mengalir seperti air, dan biarkan angin membawanya kemana ia ingin.
Tapi barangkali, beginilah skenario untuknya kali ini: berusaha menyenangkan hati sesama, tapi tak miliki hasrat alami yang mendorongnya melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Ada usaha yang terpaksa, tak bergairah, sehingga wajar jika antusiasmenya tak muncul, padahal bentang waktu sudah semakin menghimpitnya. Dan lalu muncullah prasangka baiknya yang berlonjak-lonjak, lebih mirip pembenaran yang kuharap ia tak lagi gunakan. “Dia bukan yang terbaik, dan akan datang yang terbaik suatu saat nanti.”
Sampai kapan?
Jika saja ada pembelajaran, tentu evaluasi itu tak lagi melulu penghiburan diri, tapi lebih pada perubahan sikap, kepantasan memiliki takdir yang harus direbut, bukan dihadiahkan.
Pada jiwa yang ini, bisa jadi aku tak cukup memahami. Mungkin akan datang masa dimana ia perlu menentukan sendiri bagaimana takdirnya akan ia lukis. Masalahnya, sampai kapan penantian itu dirajut, di titik ini aku hanya bisa mendoakan, semoga kesabarannya senantiasa bersemi, bermekaran.
Untuk seorang sahabat, semoga Allah mudahkan.
02042012, 19:09 wib