Apr 26, 2012

Rumit


Bismillah.


Sudah sering sekali nasihat itu terdengar di telinga, tertatap di mata, dan terekam dalam kelip-kelip neuron syaraf ini.
“Jangan berharap pada manusia. Jangan hiraukan penilaian manusia. Berharaplah hanya pada Allah yang tak akan pernah mengecewakanmu.”

Tapi sabar yang katanya ada pada benturan pertama, tak juga membentuk diri di kala ujian yang serupa datang menyapa-nyapa.

Ada kalanya kemanusiaan kita meminta haknya. Menagih untuk dimengerti. Meronta saat disalahpahami. Dan ia semakin menghebat berontaknya ketika godam pengujinya memukul  berulang-ulang, bertubi-tubi, berkali-kali.

Betapa rumitnya manusia.

Apa yang tampak semestinya tidak menjadi parameter cerminan apa yang terkandung jauh di lubuk hati sana. Maka godaan bagi si mata yang hanya dua itu adalah, bagaimana ia bisa membuat hati tak menafsir sesuka dirinya, dan karenanya analisa mendalam perlu dilakukan sembari memaksimalkan cara kerja otak yang divergen bercabang ke berbagai arah. Bukan seperti si ‘kacamata kuda’ yang tak pandai mempertimbangkan sekian banyak kemungkinan.

Dan semakin rumit lagi ketika figur otoritas yang bisa saja mengklaim pembenaran atas prilakunya, berperan dalam cerita ini. Lidah menjelma hakim, hakim menjelma tuhan, dan kalau sudah begitu, apa yang bisa dirimu lakukan?

Yang tampak baik sangat mungkin diterima buruk. Yang buruk semakin jadi di-cap busuk.
Lari, barangkali menjadi solusi terbaik, bukan?

Mudah-mudahan, jika bukan karena tak lulus ujian, ada putih yang menghadap di hari kemudian. Engkau memang terus diuji agar kembali dalam keadaan putih. Hanya jika sabar lagi-lagi menjadi energi tak berkesudahan.



Menggalaudimalamminggu 31032012, 22:38wib.

0 komentar: