Bismillah.
Sudah sering sekali nasihat itu terdengar di telinga,
tertatap di mata, dan terekam dalam kelip-kelip neuron syaraf ini.
“Jangan berharap pada manusia. Jangan hiraukan penilaian
manusia. Berharaplah hanya pada Allah yang tak akan pernah mengecewakanmu.”
Tapi sabar yang katanya ada pada benturan pertama, tak juga
membentuk diri di kala ujian yang serupa datang menyapa-nyapa.
Ada kalanya kemanusiaan kita meminta haknya. Menagih untuk
dimengerti. Meronta saat disalahpahami. Dan ia semakin menghebat berontaknya
ketika godam pengujinya memukul
berulang-ulang, bertubi-tubi, berkali-kali.
Betapa rumitnya manusia.
Apa yang tampak semestinya tidak menjadi parameter cerminan
apa yang terkandung jauh di lubuk hati sana. Maka godaan bagi si mata yang
hanya dua itu adalah, bagaimana ia bisa membuat hati tak menafsir sesuka
dirinya, dan karenanya analisa mendalam perlu dilakukan sembari memaksimalkan
cara kerja otak yang divergen bercabang ke berbagai arah. Bukan seperti si
‘kacamata kuda’ yang tak pandai mempertimbangkan sekian banyak kemungkinan.
Dan semakin rumit lagi ketika figur otoritas yang bisa saja
mengklaim pembenaran atas prilakunya, berperan dalam cerita ini. Lidah menjelma
hakim, hakim menjelma tuhan, dan kalau sudah begitu, apa yang bisa dirimu
lakukan?
Yang tampak baik sangat mungkin diterima buruk. Yang buruk
semakin jadi di-cap busuk.
Lari, barangkali menjadi solusi terbaik, bukan?
Mudah-mudahan, jika bukan karena tak lulus ujian, ada putih
yang menghadap di hari kemudian. Engkau memang terus diuji agar kembali dalam
keadaan putih. Hanya jika sabar
lagi-lagi menjadi energi tak berkesudahan.
Menggalaudimalamminggu 31032012, 22:38wib.
0 komentar:
Post a Comment