Bismillah..
Menghadapi anak tantrum mungkin menjadi pengalaman nyaris
semua orangtua di muka bumi ini, termasuk saya. Peristiwa horor ini berawal
saat Farah, putri sulung saya, berusia 1 tahun 10 bulan, dan intensitas tantrumnya
cenderung menjadi-jadi pada usia 2 tahun.
Farah kecil memulai aktivitas tantrum pertamanya dengan
menangis saat ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Kabar buruknya adalah,
kita sebagai orang terdekatnya sekalipun tidak selalu bisa memahami apa yang ia
minta. Tangisannya mulai tak wajar : panjang, lama, penuh kemarahan, kadang
juga disertai tindakan menyakiti diri sendiri. Para ahli bilang, tantrum adalah
perilaku yang wajar karena anak-anak belum bisa mengekspresikan kekesalan
mereka dalam cara yang tepat. Bahkan mereka sendiri juga belum tentu paham apa
sebenarnya yang mereka inginkan.
Jadi, ketika Farah tantrum untuk pertama kalinya, saya hanya
bilang pada diri sendiri dan ayahnya, “Oke, ini saatnya.”, dan kami mengambil
ancang-ancang seperti penunggang kuda yang siap menarik pelana. Berikut tips-tips yang pernah kami terapkan :
1) Ilmu Dulu Sebelum (Berkata dan) Beramal
Kutipan masyhur dari ulama besar Imam Bukhari ini sangat relevan diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan. Menyikapi atau melakukan sesuatu memang lebih
enak jika sudah punya ilmunya. Maka saya dan suami pun membekali diri dengan
pengetahuan seputar tantrum: apa, bagaimana, kapan, dsb. Dengan memiliki ilmu
dan informasi yang cukup, alhamdulillah kami tidak terlalu terkejut dan dapat lebih
logis ketika menghadapinya.
2) Tetap Tenang.
Tetap tenang dalam situasi itu rupanya
benar-benar tidak mudah, karena anak trantrum seolah-olah menguji sejauh mana
kita dapat bersabar. Beberapa cara yang saya coba lakukan agar tetap tenang
antara lain, menarik nafas panjang beberapa kali, berdzikir atau bertaawudz (berlindung dari
godaan syaitan agar tak terpancing emosi/marah), minum beberapa teguk, mensugesti
diri agar tenang, atau bahkan menertawai sikap tantrum anak yang tidak
rasional. Pernah suatu saat putri saya mengamuk sambil menangis keras. Lalu ia
meminta saya pergi menjauh, dan saya pun menjauhinya. Baru saja keluar kamar,
ia berteriak lagi, “Bunda sini aja..”.
Lihat, sangat tidak rasional, bukan? :D. Justru
karena sikap mereka irasional, kita mesti paham bahwa tantrum seringkali tidak
perlu dihadapi dengan serius.. hehe.. :)
3) Tonton Saja
Saat anak tantrum, anggaplah ia adalah
aktor yang tengah berakting dan kita adalah penontonnya yang tidak terlibat
sama sekali dalam adegan tersebut. Tips yang saya dapatkan dari babycenter.org
ini rupanya sangat efektif mengendalikan diri saya sendiri. Lho, bukannya yang
butuh dikendalikan itu adalah anak??
Sewaktu tantrum, biasanya anak sulit untuk
dibujuk, ditenangkan, apalagi diperintah. Sehingga yang perlu dilakukan di awal
adalah mengendalikan diri kita sendiri sebelum kita dapat mengendalikannya.
Dengan menjadi penonton dan menguasai diri, kita tidak akan terpengaruh dengan
adegan apapun yang anak lakukan. Tonton saja,
tak perlu terlibat.
4) Rendahkan suara
Mendengar tangisan anak yang melengking dan
mengamuk, apalagi di tengah orang banyak, seringkali memancing kita untuk
meluapkan emosi secara lisan. Jika kita ingin berkata-kata di tengah tantrum
anak, pastikan posisi tubuh kita sejajar dengan anak dan suara kita berintonasi
rendah. Posisi tubuh yang sejajar akan
memberikan rasa aman pada anak dan perasaan dihargai. Sementara nada bicara
yang rendah akan memunculkan feedback emosi lebih terkuasai, dan suara kita
juga terdengar lebih berwibawa di depan anak. Sebab suara yang penuh kemarahan
biasanya akan dibalas dengan tangisan yang lebih kencang atau tantrum yang
semakin menjadi.
Di poin ini, kita bisa bicara pada anak
dengan suara yang tegas namun tetap lembut,
“Kamu mau minta apa? Bicara yang jelas,
karena Bunda tidak paham jika kamu menangis.”. Dengan cara ini anak akan
memahami bahwa tangisannya bukanlah cara yang efektif untuk meminta sesuatu.
4) Biarkan
Salah satu cara efektif menyikapi tantrum
adalah dengan membiarkannya, begitu kata banyak ahli. Yang pernah saya lakukan
adalah sebagai berikut :
a)
Membiarkan sambil menemani
“Oh.. Farah sedang marah ya. Gak papa, Bunda temani ya nangisnya.”
Demikian kalimat yang acap saya katakan saat putri saya tantrum. Saat ia
menangis hebat, saya hanya diam, berusaha tetap tenang sambil memperhatikannya. Cara ini efektif selama kita bisa
mengendalikan diri dan tidak terpengaruh oleh tangisannya yang bisa jadi sangat-sangat
annoying.
b)
Meninggalkannya
Kadang, saya meninggalkan Farah yang sedang tantrum karena khawatir
ikutan kesal atau memang ada hal lain yang harus dikerjakan. Biasanya saya
katakan padanya, “Farah kalau sudah selesai nangisnya, kasih tahu Bunda ya,”.
Setelah itu kita perlu menengok sesekali, memastikan apakah ia sudah selesai
dengan tantrumnya atau belum. “Sudah selesai belum nangisnya? Oh.. belum ya.
Ok, Bunda pergi lagi ya. Nanti kalau sudah selesai nangis, bilang ya Far.”
Begitu tangisnya sudah mulai mereda, kita bisa mendatangi sambil
memberikan apresiasi berupa kalimat positif, ciuman atau pelukan. “Wah, sudah
selesai ya nangisnya.. Anak Bunda pinter sekali, gak nangis lagi. Coba cerita
sama Bunda, Farah maunya apa...”.
Teknik komunikasi seperti ini juga pernah saya terapkan saat Farah minta
sesuatu. Ketika itu Farah minta digendong, tetapi sambil menangis. Karena saya
dan ayahnya tidak ingin mengabulkan permintaan yang dilakukan sambil menangis,
kami tidak mengabulkannya. Kontan saja ia tantrum hebat. Tapi kami berusaha
konsisten sambil terus mengatakan, “Ayah akan gendong kalau Farah diam. Sudah belum
nangisnya?”. Farah yang mulai mengerti pun berusaha menghentikan tangisnya.
Seketika itu pula ayahnya menggendong Farah. Namun saat Farah mulai menangis
lagi, ayahnya meletakkan lagi ke lantai. Begitu seterusnya berkali-kali sampai
Farah benar-benar berhenti menangis. Saat ia berhenti dan sudah tenang, barulah
ayahnya menasehati bahwa meminta digendong tidak perlu sambil menangis, tapi
cukup bilang saja baik-baik. Sampai sekarang pola ini kami pakai ketika ia
kumat (meminta sesuatu sambil menangis/menangis tanpa alasan yang jelas). Dan
alhamdulillah Farah sudah sadar, jika kami mendiamkannya maka lama-kelamaan ia akan berusaha mengendalikan tangisannya
sambil tersengguk-sengguk dan berkata, “Sudah, Bunda... Sudah.”. Itu artinya,
ia sudah selesai menangis dan siap untuk berbicara baik-baik.
5) Memastikan Keamanan Anak
Seringkali anak yang tnatrum melakukan hal-hal yang berbahaya seperti membentur-benturkan kepalanya ke lantai atau tembok, memukuli badannya sendiri, berguling-guling dll. Ketika membiarkan anak mengekspresikan diri dengan tantrumnya, kita perlu memastikan bahwa : 1) ia tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya, 2) ia berada di tempat yang tidak membahayakan dirinya, dan 3) di sekitarnya tidak ada benda berbahaya yang bisa mencelakakan dirinya.
Kira-kira begitulah tips yang saya dan suami lakukan. Yang agak
sulit adalah jika Farah tantrum di tempat selain rumahnya, karena orang lain seringkali
tidak tega atau cenderung memberikan saja apa yang diminta karena terganggu mendengar tangisan anak. Kalau sudah
begini, orangtuanya harus cukup tegas menegakkan prinsip atau membawa pergi si
anak dari TKP.
Ohya, sehebat apapun teknik menghadapi tantrum yang
dibagikan para ahli, saya kira semuanya mutlak membutuhkan kesabaran seluas
samudra dari kita para orangtuanya. Dan biasanya, kesabaran menghadapi dinamika
pada anak berasal dari bagaimana kualitas hubungan kita dengan Allah.
Okay, selamat menghadapi tantrum dengan bahagia ya, Ayah-Bunda.
Pasti BISA! J
Rabu, 04.06.2014 - 15:45 wib
~di hari ke-40 adiknya Farah
1 komentar:
Waa.. mbak Indra juga ngeblooog.. asiiik.. :D
isti juga pernah nulis tentang tantrum mbak di sini: http://istianasutanti.wordpress.com/2013/10/12/parenting-mencegah-anak-tantrum/ :D
Post a Comment