Ada seorang al akh yang begitu istiqomah menundukkan pandangannya tanpa pandang bulu. Ia berbicara pada wanita non mahram dengan menjaga pandangan sebisa mungkin : tidak menatap mata lawan bicaranya. Terhadap orang yang lebih tua, dosen, atau teman-teman wanita yang belum mengerti, ia sedikit memberikan “toleransi” : sesekali menengok ke wajah sang pembicara. Cibiran jelas ia terima disebabkan ketidaklaziman sikapnya. Dipergunjingkan, dianggap tidak menghargai lawan bicara, aneh, dan bahkan cap terlalu fanatik ia tuai. Tapi apakah itu semua membuat langkahnya surut ke belakang? Tidak. Sama sekali tidak. Ia tetap tersenyum menanggapi pertanyaan, nada sinis maupun teguran yang mungkin juga datang dari saudaranya sendiri yang telah sama-sama faham. “Hijab hati itu jauh lebih penting. Apa gunanya menundukkan pandangan, kalau hatinya kotor?”, kata mereka.
Tetapi pandangan adalah salah satu dari panah-panah Iblis. Dan mencegah masih lebih baik daripada mengobati.
Hasilnya? Lambat-laun orang-orang berhenti menggunjing dan mencapnya yang tidak-tidak. Setiap orang akhirnya mengerti, “oh, si Anu memang seperti itu bila berbicara dengan wanita yang bukan mahramnya,”. Dan mereka menghormatinya, menghargai sikapnya, dan bahkan menjadi segan terhadap beliau. Saudara-saudaranya yang lain pun mengacungkan jempol, salut dan meneladani akhlaqnya itu.
Di lain tempat, seorang al akh (ter)biasa melambaikan tangannya kepada teman-teman perempuannya. Bercanda berlebih dan bicara dengan jarak yang sangat dekat menjadi hal yang lumrah. Ghodhul bashor? Makanan apa tuh?!?!?!
Aku menelusuri jejak-jejak ingatan pada sosok al akh yang teguh itu, dan lantas membanding-bandingkannya dengan keadaanku serta medan jihadku saat ini.
Cukup satu kata: Astaghfirullah…
Seringkali aku, dan mungkin kita, mentolerir diri dan mengendurkan batas-batas syar’i di balik alasan, agar lebih mudah diterima lingkungan. Benar, sungguh mulia jika kita berusaha menampilkan wajah Islam yang ramah, tidak eksklusif, tidak kaku, dan sebagainya. Tapi haruskah dengan melunturkan sedikit demi sedikit adab yang seharusnya? Mengapa harus malu menunjukkan identitas? Toh ternyata telah terbukti, orang-orang yang belum paham justru akan menghargai prinsip yang kita pegang. Adalah suatu keniscayaan ketika kita harus menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim (dengan idealisme al-akh—tambah seorang ikhwah). Seandainya pun manusia tidak ridho, tidak cukupkah keridhoan Allah di atas segalanya?
yaa muqollibal quluub... tsabbit qolbii 'alaa diinik...
~YangMasihBelajarMenegakkanIdentitas.
Untuk seorang saudara nun jauh disana… keep istiqomah.
Sep 6, 2005
Isyhadu bi anna muslimun!
Diposkan oleh Indra Fathiana di 9/06/2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
assalamualaykum Akhi,
tetap istiqomah yah, mari kita sama-sama belajar.
wassalamualaykum..
Post a Comment