Waktu kuliah psikoterapi sama Mbak Yati di semester lalu, aku baru saja menemukan kalimat di bawah ini dalam buku Pychotherapy part 3, Integration and Application..
“…they (Lazarus and his colleagues—red) also suggest a trend toward matching clients not only to specific treatment techniques but also to therapists’ interpersonal styles. What this means is that we will be better able to prescribe therapeutic relationships of choice for individual clients…” (pg. 450)
Wow… kaget banget aku. Ternyata psikolog itu bisa dan boleh memilih-milih kliennya ya?!
Tadinya aku berpikir, ini sangat tidak adil. Bukankah setiap orang yang bermasalah berhak mendapatkan bantuan kita? Bukankah profesi psikolog sama dengan dokter yang tidak boleh pandang bulu terhadap pasiennya?
Tapi kemudian Mbak Yati menjelaskan bahwa ketika ada hal-hal yang tidak cocok antara psikolog dan klien terkait kepribadiannya, maka bisa jadi itu justru akan menghambat proses terapi/konseling. Matching klien disini bukan hanya dengan teknik treatment yang tepat dan spesifik, tapi juga dengan tipe interpersonal terapisnya, seperti kata Lazarus di atas.
Sampai sini aku manggut-manggut. Aku jadi ingat, ketika salah seorang teman curhat, entah kenapa kok malah gak pernah beres. Padahal aku udah berapa kali mikir dan evaluasi, apa yang salah ya?
Ternyata emang kepribadianku sama kepribadiannya gak bisa nyambung. Aku keras dan dia juga keras. Jadi, ketika aku mulai gak sabar, dia malah makin defense. Mau digebrak-gebrak kayak apa juga, kalo orangnya emang gak insightful, susah banget buat disadarkan bahwa dia punya andil menimbulkan masalah. Tujuan terapi (mencari solusi atas masalah yang dicurhatin) akhirnya gak tercapai deh.
Sekali lagi, hal ini mungkin memang terkesan tidak adil. Logika bahwa profesi psikolog harusnya sama seperti dokter yang harus bersikap professional dengan tidak memilih-milih siapa pasiennya, ternyata gak sepenuhnya sama. Sebab ya itu tadi, kalaupun mau dipaksakan tanpa mempertimbangkan tipe kepribadian psikolog dan kliennya, bisa jadi tujuan terapi tidak tercapai dan mungkin akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Mungkin hal yang bisa dilakukan adalah menerima siapapun klien itu, dan kalau dirasa tidak cocok, bisa ditransfer ke psikolog lainnya yang lebih “match”.
Lagipula menurutku, perbedaan fundamental antara dokter dan psikolog adalah pada objeknya (kalo psikologi disebut subjek). Mungkin pasiennya sama-sama manusia, tapi yang ditangani seorang dokter adalah penyakit fisik yang gak ada hubungannya sama rasa hati dan jiwa. Kalau sakit, ya tinggal dikasih obat, dengan harapan semoga sembuh. Sedangkan psikolog, yang ditangani adalah psikisnya. Kalau salah treatment sedikit saja, implikasinya pada kejiwaan. Salah-salah orang datang ke psikolog bukannya psychically lebih baik, tapi malah makin stress. Dan bagiku, menyembuhkan orang stress itu lebih sulit dibanding ngobatin penyakit fisik.
Wah…wah…wah... jadi psikolog itu ternyata emang gak mudah... -_-'
Sep 26, 2005
Psikolog Boleh Milih2 Klien
Diposkan oleh Indra Fathiana di 9/26/2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment