Bismillah.
Alloohummaghfirlahuu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu anhu..
***
Kuseka airmata yang sejak tadi tak henti mengalir. Dan sekuntum kamboja melayang dihembus bayu. Luruh. Layu. Dan mati. Melangkah kutinggalkan puluhan kamboja yang juga rebah, meresapi setiap prosesi yang pasti ‘kan dihadapi. Mati.
***
Masih terngiang ribut mama yang menggedor mandiku pagi itu. “ Dek.. cepat! Om Kuri gawat!!!”. Bergegas kusudahi ritual yang biasanya menghabiskan bermenti-menit waktu, berlari melesat memburu nafas dalam doa yang tiada terputus.
Jejak kakiku hingga di ruang tamu. Dan kusaksikan sosok itu terbujur. Kaku. Serta merta kupeluk hangat tubuh tanteku, mencoba mengalirkan energi agar ia terus bertahan dalam sabarnya. Entah bagaimana jika aku yang menghadapi musibah yang sama...
Takbir agung masih terdengar bersahut-sahutan. Di saat orang berbondong-bondong menuju sholat ‘Ied lebaran, kami berduka. Di saat orang-orang menuai gembira di hari raya, kami tersungkur dalam luka. Ya Allah.. jangan rusak fitri-Mu dalam tangis kami yang pecah....
Lidahku tak henti ber-fatihah. Kubuka kain putih yang menutup, dan tersembul wajah pucat yang siap menghadap Robb-nya. Sosok yang senantiasa menjaga sholat fardhunya di masjid. Yang menyemangatiku untuk meraih cita mempelajari ekonomi syariah, meski perahuku kini tak berlabuh di sana. Yang begitu setia mendampingi hari-hari stroke kakak kandungnya, ayahku sendiri, di Mitra Keluarga. Yang tabah memapah lumpuh sisi kanan orangtuaku dan mengusahakan berbagai pengobatan untuknya. Yang membiayai studi kami, aku dan kakakku, agar tetap dan terus berjalan meski harus tertatih-tatih. Yang menasehatiku agar senantiasa memegang teguh prinsip kejujuran dan kebenaran, sesulit apapun kondisi yang dihadapi. Yang menjadi teman diskusi pengganti saat ayah tak lagi berfungsi. Yang mendorong kami agar tetap tegar meski berjuta kesulitan hidup datang menghadang. Yang begitu kupuji ketelatenannya mencatat setiap transaksi keluarga. Yang begitu kubanggakan keteguhannya memakan apa yang hak kala rekan-rekan kerjanya berlomba-lomba menjadi kaya dengan cara yang tak semestinya. Yang begitu kukagumi keistiqomahannya menembus dingin di pagi buta demi bertemu Sang Pencipta dalam shubuh di masjid raya.
Airmataku deras mengucur. Secepat inikah? Dengan meninggalkan 3 putra yang belum semuanya genap dewasa? Astaghfirullah... Jiwaku menggelepar mengingat bait-bait suci yang sering kulantunkan. “Kullu nafsin dzaa’iqotul mauut.. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..,” Bagaimana bisa kulupa ketika kuhadapi kematian keluargaku sendiri?
Kognisiku melayang ke beberapa waktu silam. Masih terbayang suapan demi suapan yang kumasukkan ke mulut lemahnya disaat ia terbaring dalam penyakit batu ginjalnya. Masih terbayang jerih-payahnya menemani 4 tahun sakit ayahku yang membuatnya begitu terpukul. Masih terlintas jejak-jejak nasihat bijak agar aku merawat orangtuaku baik-baik. Pun melayangkan cita setinggi langit agar kelak mampu memajukan diin ini. Dan mataku mengabur lagi untuk kesekian kali.
Satu–persatu tetangga melayat dan memberikan bantuan semampu yang mereka bisa. Menahan haru sedih, melapangkan dada agar mampu memaafkan segala salah. Kurasakan aura kematian yang menyerang cepat, memenuhi langit-langit rasa, menguliti kesombongan yang masih saja hidup dalam derap-derap perilaku dan kata. Menanggalkan berjuta angkuh dan menikamnya bulat-bulat, memaksa tunduk dalam kehendak Yang Maha Perkasa. Sungguh hanya Allah-lah Yang Tak Kenal Musnah.
Kulemparkan pandang ke sekeliling. Semua mata memerah. Semua jiwa menangis. Tiada lagi yang dikenang kecuali kebaikan dan kebaikan. Luluh sudah segala dendam, tinggal sudah harta dan keluarga. Berangkat dijemput Izroil dengan membawa serta semua amalan, lalu menunggu hisab di pengadilan padang mahsyar. Begitu mudah. Begitu sederhana. Mati. Lalu habis perkara.
Beratus bintang menari-nari dalam benakku. Baru kali ini kusaksikan kematian yang begitu dekat. Begitu membekas. Terefleksi segera, memantul berulang-ulang ke dinding jiwa. Entah apa yang sudah kupersiapkan jika sedetik kedepan aku menyusul. Entah sudah berapa manusia tersakiti dan terzholimi atas perilakuku. Entah sudah berapa gunung amal yang nantinya akan kupanggul. Dan entah berapa banyak yang harus luntur karena ketidakikhlasan, keriyaan, sum’ah, dan sebagainya.
Bermilyar dosa seolah terbeberkan. Menguak kemunafikan dalam jasad terbalut hijab, tapi entah hatiku terhijab atau tidak. Menelanjangi segala kepura-puraan dalam tindak-tanduk keseharian, menguraikannya satu-persatu hingga memperberat sisi kiri timbangan. Menjegal paksa karat-karat noda dalam hati, menabur beratus sembilu yang menyayat perih. Mengorek semua prasangka dan perbuatan nista, memuntahkannya bersama lumpur angkara yang menuai marah. Memberontak. Memasung jiwa agar tak lagi berlaku semaunya. Menjeruji nafsu agar tak lagi membelenggu. Memenjarakan maksiat dalam sel-sel kengerian, menghadirkan nuansa nyala panas api neraka.
Dan jiwaku tersudut. Bersusah-payah membangunkan semangat taubat yang dahulu menguap. Tertatih-tatih membanting segala bentuk egoisme yang masih bermunculan. Berkaca pada bening nurani, mengakui segala kelemahan diri.
Robbighfirlii...
***
Gundukan itu rampung sudah. Satu-satu berjalan meninggalkan areal pemakaman yang sunyi, sesunyi alam kubur itu sendiri. Hanya ditemani sejumlah amalan. Entah menerangkan. Entah menggelapkan.
Aku masih juga tertunduk menekuri bait-bait perjalanan hidup. Betapa harta, prestasi, keturunan, dan segala kenikmatan duniawi akan segera musnah begitu ajal telah tiba. Tak dapat sedtikpun ditunda. Tak ada rumusan jeda dalam takdir Sang Penguasa.
Semilir bayu berhembus gundah. Dan sekuntum kamboja luruh lagi ke tanah. Menyisakan sejuta makna.
2nd Fitri Day.
26.11.03//07.20 wib.
In memoriam my beloved uncle, Masjkuri Wasjhar: tenanglah di sisiNya...
--notes :
tulisan ini aku buat taun 2003. waktu itu pas idul fitri hari kedua. hiks...jadi sedih lagi :(
Jan 22, 2006
Kala Kamboja Luruh ke Tanah...
Diposkan oleh Indra Fathiana di 1/22/2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment