Jun 28, 2007

Luntur?!?!

bismillah...

Jumat, 16 Juni 2007, 23.05 wib.

“Indra, sejak bla…bla…bla… saya punya pemahaman utk gpp bersalaman tangan dgn ce.. Jadi jangan kaget ya :) tp sy ttp hargain bgt yg ga salaman.. sy emang berubah dlm bbrp hal fiqh”
(Sms dari sahabat seniorku)

***

Bicara tentang perubahan, katanya memang tidak selamanya menyenangkan. Bahkan, perubahan sering dikatakan sebagai perpindahan dari kondisi nyaman kepada kondisi tidak nyaman.

Aku tidak tahu apakah perubahan yang dialami sahabatku itu termasuk dalam kategori “pindah dari menyenangkan menjadi tidak menyenangkan”. Sebab pada kenyataannya, dia mengaku merasa lebih nyaman sekarang dengan perubahan yang ada.

Sms itu datang setelah kami bertemu dalam 1 forum. Tiba-tiba saja dia berkata seperti itu dalam sms-nya, seperti hendak menjelaskan bagaimana kondisi dirinya sekarang. Padahal aku juga tidak cukup tahu bagaimana dirinya dahulu, karena kami beda kampus dan beda usia 2 tahun. Dulunya kami memang 1 sekolah di tingkat SMA, tapi itupun tidak saling kenal, hanya sebatas “aku tahu dia kakak kelasku”. Jadi sebenarnya baru 3 tahun terakhir ini aku berinteraksi dengan beliau. Selama itu, aku hanya sekedar tahu bahwa dia tumbuh sebagai muslim yang banyak melakukan kajian intens terhadap agamanya. Dan dalam lingkungan kajian itu, kurasa kami sama-sama tahu tentang hal berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Dalam forum itu, ketika baru bertemu rekan berlainan jenis, seperti biasa, kuusahakan untuk hanya mengatupkan tangan sebagai isyarat bersalaman (baca: tidak berjabatan tangan). Bukan jijik atau apa ya. Tapi ini adalah bagian dari menjaga dan menghormati diri sendiri dan orang lain. Bahasan lebih mendalam tentang ini bisa dicek disini.


Awalnya agak canggung, memang. Selalu ada pikiran-pikiran, “nanti terlihat aneh tidak ya? nanti dianggap terlalu ekstrimkah?” dst, dst.
Wajar, kupikir. Sebab aku sekarang lebih banyak berada dalam situasi dan kondisi heterogen dimana tidak semua orang memahami apa yang aku pahami.
Tapi meskipun begitu kesini-sini aku semakin terbiasa melakukannya.
Entah ‘masa bodoh’-ku kumat sehingga gak mau mikirin reaksi orang lain, atau nekat, atau aku semakin merasa independent untuk melakukan apa yang aku inginkan, atau entah apa…

Syukurnya, sejauh ini, untuk perilaku berjabat tangan, lawan jabat tanganku yang lain jenis dapat mengerti. Termasuk yang bertemu di forum malam itu. (Bukan mengerti dalam arti tahu alasan di balik kenapa aku gak mau jabat tangan, tapi memahami perbedaan).
Dan sahabat laki-lakiku itu, sebenarnya tidak terlalu kuperhatikan bagaimana sikapnya ketika bersalaman dengan lawan jenis. Tetapi mungkin dia hanya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya dia faham untuk masalah tidak berjabat tangan dengan perempuan non-mahram, tapi dia mengalami perubahan yang mungkin akan membuatku mempertanyakannya (padahal enggak juga…GR aja dia :)


Well, aku membalas sms itu dengan ini:
“everyone has his/her own choice. And every choice has its consequences. Bla..bla..bla..
Kalau merasa yakin dengan perubahan fiqh, silakan… Aku fine-fine aja :)”


Dan dia mengucapkan terima kasih atas sikap pengertianku.

Aku bukannya tidak mau mengingatkan dia.
Dia cerdas. Teramat cerdas.
Itu sebabnya aku yakin dia terlalu pintar untuk diajarkan tentang bagaimana interaksi lelaki-perempuan nonmahram dalam Islam, termasuk hal kecil macam jabat tangan itu.
Apalagi aku tahu bahwa dia cukup punya kepribadian yang kuat. It means, aku bisa memastikan dia tidak sekedar ‘terbawa arus’ ketika melakukan sesuatu, tapi pasti ada alasan di baliknya. Bukan sekedar tidak enak dengan pandangan orang, tapi ada yang lebih esensial daripada itu.
Dan tentu, aku (harus) menghormati pilihannya.

Sebenarnya bukan itu sih yang mau aku omongin di postingan kali ini…
(jadi sepanjang ini baru pembukaan doank?!?!)
Hehe… ya gak juga.
Aku cuma sedang mencermati perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingku aja.

Banyak orang bilang, dunia nyata mampu melunturkan banyak hal yang menjadi idealisme selama di kampus. Mulai dari pemikiran, perilaku, apapun itu.
Dan aku merasakan itu. Mungkin juga teman-temanku yang lain.

Katanya, ada muslimah yang pas kuliah nutup rapat tubuhnya pake jilbab, lalu pas masuk dunia kerja sampai lepas…
Gak sedikit juga yang tadinya jilbabnya lebar, lalu pas kerja menyusut…
Yang tadinya kukuh menjaga sentuhan, mulai toleran jabat tangan dengan nonmahram…
Yang tadinya kritis, jadi melempem begitu berhadapan dengan unchangeable system…
Yang dulunya begini, sekarang begitu…

Aku gak tau musti bilang apa dengan gejala ini.
Dari dulu aku berusaha ngejewer diri sendiri kalo udah mulai berani menilai keseluruhan orang hanya karena secuplik sikap, perilaku atau hal-hal printil.
Maksudku, tidak semestinya yang secuil-secuil itu menjadi alasan untuk menilai secara general, bukan?
Aku gak tau apakah sikapku benar atau tidak dalam menyikapi ini.
Aku juga gak tahu apakah (jangan-jangan) aku juga sudah meluntur ketika berhadapan dengan dunia nyata yang gak seideal konsep2 yang kupahami ketika masih jadi mahasiswa dulu. Apakah aku sekarang menjadi lebih toleran terhadap hal-hal yang tidak ideal? Atau dengan kata lain, aku juga mengalami ‘kelunturan’?
Atau apakah aku justru mengalami perubahan paradigma, terutama tentang bersikap open mind?

Seseorang bilang, aku berubah agaknya. Gak sekaku dulu.
Kutanya balik, is it better or worst???
Better, jawab dia.
Aku merasakan hal yang sama.
Walau tidak tahu apakah aku better or worst than before, aku lebih enjoy dengan diriku sekarang.
Aku lebih menikmati penerimaanku terhadap perbedaan.
Aku lebih toleran terhadap hal-hal yang tidak seragam.
Dan aku bersyukur, bisa belajar tuk tidak lagi berkacamata kuda.

Parahnya, (ini parah gak sih?!?!), aku jadi tidak mudah mengkritisi sesuatu sekarang.
Jadi lebih banyak empati. Lebih banyak melihat dari berbagai segi.
Contoh simple, aku pernah merasa sangat berempati sama Pak SBY.
Ketika banyak orang bilang SBY cuma tebar pesona dan gak memunculkan perbaikan signifikan, aku memikirkan hal “gak penting!!!” lainnya...
Aku gak berani bilang seperti orang-orang karena aku pikir dia pasti juga capek akibat jadwal tidur yang berkurang, permasalahan bangsa yang gak selesai-selesai, musibah yang gak berhenti-berhenti datang, dan… percaya atau enggak, aku bener-bener kasihan melihat kantong matanya yang kian menebal dengan wajah yang penuh beban.
Dari situ aku melihat hal lain yang justru bikin aku mengaguminya : di tengah hujatan, beliau tetap bisa tenang dan tidak mengeluarkan kalimat negative sebagai ekspresi kekesalan.
Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan misuh-misuh dan berpikir, “lo tukang kritik tau apa sih, yang jalanin gue, mending lo bantuin gue kasih solusi atau perbuatan konkrit daripada ngritik doang…”
Nah, kan…

Akhir-akhir ini aku hanya sedang banyak berpikir aja.
Dulu, ketika mahasiswa, bisa aja teriak-teriak dan nyalah-nyalahin si oknum pejabat yang begini, si anggota dpr yang begitu, nuntut harusnya ini, harusnya itu, dst.
Bukan berarti aku gak peka dan sekarang jadi toleran sama korupsi, misalnya. Yang jelas-jelas zholim ya aku masih frontal-lah…
Tapi aku sekarang merasa bahwa ketika aku mau ngritik orang, aku jadi mikir-mikir dulu : aku bisa ngritik tapi aku belum tentu bisa berbuat lebih baik ketika aku ada di posisi dia.
Aku bisa nyela macem-macem, tapi benarkah aku bisa menjalankan peran orang yang kucela? Aku bisa bilang, yang benar itu bla..bla..bla… tapi, yakin gak sih, aku sudah pasti bisa menjalankan bla..bla..bla..ketika aku jadi dia?

Ngerti kan ya?

Aku gak tau apakah ini disebut gejala meluntur atau bukan.
Yang jelas sekarang pengennya ati-ati aja kalau mau bicara macam-macam, khawatir jatuh jadi hakim yang bisa bikin penilaian a, b, c, padahal diri sendiri aja belum sepenuhnya benar. Kalo balik lagi ke kasus temenku diatas soal bersalaman, aku gak berani melarang macam-macam karena aku sebenarnya kadang-kadang juga masih sulit tuk tidak menjabat tangan lawan jenis nonmahram (selain alasan aku menghormati pilihannya). Persentuhan kadang sulit dihindari kalau orang lain udah nyosor duluan, kan? Apalagi kalo berhadapan dengan orang tua (yang bener-bener sepuh, misalnya).

Itu baru soal salaman.
Apalagi kalau ngomongin jilbab menyusut, keberbauran terhadap berbagai tipikal orang, dst, dst. Duh, duh, duh… gak berani bilang apa-apa deh, apalagi sampai menilai macam-macam.
Buru-buru menjewer diri sendiri deh kalo terlintas sekelebat perasaan ‘bertanya-tanya’ :
“Hey indra, keimanan gak sekedar diliat dari jilbab doank!” dan semacamnya.

Dan satu hal lagi, (semoga ini bukan pembenaran…),
Kurasa aku tidak lagi bisa bertahan dengan sikap terlalu kaku ketika saat ini duniaku begitu berbeda dengan masa-masa kampus dulu. Tentu, dunia kerja jauh lebih heterogen dibanding ketika kuliah ketemunya 4L terus (Lu Lagi-Lu Lagi, – red). Dahulu, hidup dalam zona nyaman, setiap saat menerima nasihat, pengingatan, dikit-dikit melihat dan mendengar bacaan tilawah beberapa rekan di berbagai sudut, merasa begitu dihormati sebagai wanita dan muslimah karena mereka mengerti apa yang seharusnya layak dan tidak layak dilakukan terhadap kami…dst.
Satu-satunya tantangan signifikan paling ‘hanya’ perbedaan pendapat atau kepentingan dengan rekan lain. Lobi sana-sini atau diskusi, beres tuh urusan…


tetapi sekarang, aku tidak bisa memilih dengan siapa aku harus berinteraksi sehari-harinya. Pejabat-petinggi perusahaan X, karyawan akunting kantor yang tidak bisa menjaga jarak fisik (ya ampun! Kagak liat jilbab gua apa… *keluh*), ngisi training berdua sama rekan lain jenis (SDM di tempat kerjaku asli cuma 5 orang trainer! Kudu ganti2an dan pastinya akan terpasang sama dia juga…lagian cowok yang asyik cuma 1 diantara 2, yaitu dia… *lho?!?!?!*), ber-ramah-ramah dengan para klien dan kolega, kerjasama dengan beratus orang dari lembaga ini, itu, menerangkan bla-bla-bla pada bapak-ibu paruh baya seperti waktu ngisi diklat waktu itu, ketemu sama rekan bisnis yang punya background macam-macam, mulai dari tukang ojek, manajer, karyawan, mantan tukang nongkrong, penjudi (aku baru tau kemarin2 kalo pria bertampang polos dan kalem itu ternyata hobi berjudi! Oh my God >_<…), dan banyak hal lain yang mau gak mau, suka gak suka harus aku jalani.

Kadang merasa begitu beruntung ketika dalam forum besar dimana aku bertemu banyak tipe orang (mostly nonmoslem), aku masih bisa menunjukkan identitas sebagai muslimah. Pokoknya kalau sama cewek berjilbab kayak aku, mereka hanya mengatupkan tangan kalau ingin bersalaman. Bangga sekali bisa membuat mereka memahami kami dengan segala symbol yang melekat, disamping aku acungi jempol untuk sikap positif dan toleransi mereka yang sangat tinggi. Terkadang memang kita dihantui persepsi-persepsi tentang kemungkinan reaksi negative orang lain terhadap apa yang kita lakukan. Tapi yang lebih sering terjadi adalah segala macam pikiran negative itu benar-benar hanya kekhawatiran dan ketakutan semata. Jadi, …??LL>?

Aku bahkan menyinggung sahabatku di atas dengan kalimat,
“Mempertahankan sesuatu yang kita yakini gak selamanya mengundang hal negatif. Justru mereka akan lebih menghargai orang yang punya prinsip, dan aku sudah buktikan itu…”
Kalaupun muncul hal negatif, tidakkah kita memiliki independensi untuk tidak melulu bergantung pada pandangan orang lain?


Yah… Well…
Kuharap ini bukan suatu ‘kelunturan’ atau sesuatu yang negatif.
Selama kita masih pegang rambu-rambunya, tahu mana hal terbaik, dan berani memperjuangkan/melakukan apa yang kita yakini, selama itu pula aku merasa tak perlu terbebani dengan keharusan-keharusan menjadi sosok yang bukan diriku sesungguhnya…



~pastiAbisIniBanyakYangCommentsDeh^_^
SokDibukaForumDiskusinya…



gbr dari :
www.hermann-de/photoblog/autumn-leave
http://moms-er.com/2006/11/
http://images.mooseyscountrygarden.com/weather-seasons/autumn-leaves/
http://www.horizoncardsandprints.com/gallery4.htm
http://www.ksphotography.com.au/autumn_leaves.htm
http://digital-photography-school.com/blog/photographing-autumn-leaves-diy-studio/
http://www.danheller.com/images/California/Humboldt/Redwoods/Slideshow/img20.html

7 komentar:

Dewi said...

Seseorang pasti milih sesuatu yg lebih nyaman buat dirinya, bahkan mungkin dia merasa nyaman dengan ketidaknyamanannya (nah lo). Yaa.. pokoknya gitu deh.

Sebenernya, masih enak banget islam di Indo. Kl pun ada perbedaan kita bisa menjelaskannya dengan baik, dan orang2nya pun cenderung legowo (pengalaman nolak jabat tangan ama superintendent, trus disentil PM bo'). Tapi itu cuma contoh kecil, kecil banget.. percaya deh, tantangan di luar sana lebih hebat dari itu.

Indra Fathiana said...

yup! so far beruntung skali aku blm pernah merasakan dihambat waktu sholatnya...atau dicemooh gara2 jilbabnya...atau dikucilkan gara2 hal2 yg semestinya ga perlu dipermasalahkan, dst.
cuma bisa berharap smg diri ini terus -menerus maju dalam perbaikan, bukan stagnasi, apalagi mundur ke belakang...

thx, mba!

Anonymous said...

hmmm, jangan lupa mbak, kalo Tuhan jugalah yg menciptakan setan Iblis utk mendorong manusia menuju keburukan. coba baca aja sejarah masa lalu betapa gelapnya masa sebelum Islam datang. gak beradab bgt. Tuhan ngapain aja sih...?
ak cuma sedih ngeliat mahasiswa naif yg kayaknya semangat bgt pas demo.
jangan terlalu dipaksain sih menurut saya. toh Tuhan sendiri gak ingin membebani di luar kesanggupan kita kan.
wassalam.

anugerah perdana said...

Seorang ulama pernah menuliskan bahwa Salah satu tanda diterimanya amal seseorang adalah istiqomah.

Di deket rumah saya, ada seorang bapak (yang notabene bukan tokoh masyarakat) selama 20 tahun lebih beliau tidak pernah lepas dari shalat subuh berjama'ah di masjid (kecuali ada alasan syar;i)

Dan tentu, setiap orang memiliki berbagai amalan favoritnya bukan !?

Anonymous said...

Dan konsisten/istiqamah itu berat banget *cry:

Anonymous said...

ikutan komentar:

Yupss istiqomah atau peningkatan diri ke arah lebih baik berat banget ujiannya cuma jika berusaha dg ikhlas apapun hasilnya hanya Alloh swt yang tahu. Dan lagi-lagi kerahiman Alloh swt diperlihatkan, Dia tidak pernah melihat hasil manusia tetapi usaha dan ikhtiar mereka yang akan dicatatNya sbg timbangan berat amal baik, allahumma aamiin.
Apakabar Indra Fathy...???

Wassalamu'alaykum
Ratih - IndosatM2

Indra Fathiana said...

thx 4 comments...
bener banget, istiqomah itu sulit.
beriman adalah step pertama, kata quran surat...apa ya. tapi selanjutnya kita diminta untuk istiqomah. dan itu tidak ringan, sodara2...
kalo udah begini,kondisi ruhiyah bener2 jadi benteng deh. oya, dan saling mengingatkan juga. jadi, sering2lah ingatkan sayah ^_^

to mba ratih: kabar baikkk... how bout u?! :)