Apr 20, 2008

Stagnan


Bismillah...

Sejujurnya saya tidak suka terjebak pada situasi itu. Tidak ada kemajuan, dan mundur malah lebih tidak memungkinkan. Pertanyaannya, sudahkah kita coba beranjak dari kondisi yang kita tidak sukai tersebut?

Saya jawab, saya mencoba.
Tapi kenyataannya saya hanya berputar-putar, terjebak pada kesemrawutan yang saya ciptakan. Benar. Jika saya mau, maka saya bisa saja mengubah dan menjadikan hal itu bukan permasalahan. Jika saya berkeinginan, maka saya bisa saja menjadikannya bukan sebagai beban. Tinggal klik gelombang di otak persepsi saya, dan “blass…”, segalanya menjadi lebih ringan.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu pula. Saya tidak sedang berbicara tentang diri saya. Melainkan juga kaitannya dengan berbagai macam unsur yang terlibat disana. Ada konsekuensi di balik setiap langkah yang saya ambil, tentu saja. Tapi bahkan saya sendiri tidak bisa, atau katakanlah, belum bisa memastikan, apa yang sesungguhnya saya inginkan.

Gamang.
Dan pandangan saya berkali-kali menjadi hampa, menerawang sambil memikirkan, “bagaimana, bagaimana…”

Sementara ada sekelumit tanya yang tengah menunggu jawabannya, berharap kepastian segera terbuka. Dan membiarkan waktu terus berjalan tanpa tanda-tanda, sama saja memberikan peluang untuk menjadikan luka –jika harus terluka- kian membesar; demikian nasihat seorang teman.

Saya hanya tidak berani, ujarnya.
Saya hanya takut menanggung konsekuensi, tambahnya lagi.
Mungkin benar demikian. Tapi sungguh, jika saja syaraf ini bisa terbelah, akan kaulihat simpul-simpulnya begitu menegang, nyaris terbakar. Karenanya saya lebih suka membiarkan perjalanan itu menemukan ujungnya sendiri, tanpa intervensi. Dan seketika ketegangan membeku, walau berpotensi memanas sewaktu-waktu.

Dan tidak ada kemajuan sedikitpun, tidak ada kecerahan, tidak ada keputusan, tidak ada apapun yang saya hasilkan.

Saya hanya berharap suatu saat akan terbuka jalan…
Suatu kondisi dimana tak ada lagi beban dan segala keputusan yang arif dapat dimenangkan. Tapi mungkin tidak sekarang.


Friday, April 18, 2008.
Kpd seorang sahabat: kali ini, bolehkah aku yang mengharapkan keajaiban?


gbr dari snailstales.blogspot.com
kali ini udah ijin. thx, sir :)

5 komentar:

Anonymous said...

Bismillah...
Mana yang lebih kita yakini

Janji dan jaminan Allah, atau
Rencana2 rapi dan kerja keras yang dilandasi keangkuhan kita?

Semuanya dari Allah, kembalikan ke Allah

Kalo udah KUN, walau seluruh jin dan manusia menentang, tetep aja FAYAKUN

Nuri Sadida said...

Kebetulan kmrn aku baru ngisi outbond, salah satu permainannya membuat semua frustrasi karena merasa tidak ada jalan ketemu.. aku bilang, "ada.. ada jalan.. ada jalan..", mereka ga percaya dan mereka totally desperate dan menganggapku berbohong.

Sekian puluh menit kemudian baru ketauan memang ada jalan.

so, kdg kita memang lebih percaya dengan indra kita (loh jadi namamu), dalam kesulitan yg amat membuntukan, bahwa tidak ada jalan. Padahal DIA sudah berjanji akan ada kemudahan sesudah kesulitan..

I donno, hope it helps.. aku berharap pada akhirnya adalah keputusan terbaik yang membuatmu dan orang2 lain bahagia. 'amiin..

zuki said...

boleh .. tapi keajaibanNya lah yang terbaik ...

pa kabar? :)

Anonymous said...

Hmm... seringkali stagnasi atau keajaiban kita sendiri yang menciptakannya...
Ya udah, pilih yang pasti-pasti aja. Jalan masih panjang, sayang kalo harus buang energi dalam kegamangan dan ketidakjelasan...
Btw, anonymous lagi promosi film ya? =)

Anonymous said...

nompol banget nih ukh dengan kondisi ku skrg y bnr2 lg stagnan!! tak ada perubahan y berarti..
Moga "keajaiban" itu sgr datang, ya.."keajaiban" y hanya datang jika kita benar2 serius utk menemukannya..
btw, syukron atas kunjunganx.. :)