Banyak orang bijak bilang, hiduplah di masa kini, sekarang ini, agar terbebas dari kungkungan trauma masa lalu dan kecemasan akan masa depan yang belum menentu. Tak mudah berdamai dengan masa lalu yang acap terisi kenangan buruk. Dan mungkin begitu pula halnya dengan masa depan yang seringkali memunculkan kejutan-kejutan tak menyenangkan.
Tapi sungguh, terjebak di situasi itu membuat kita maju tak bisa, diam di tempat pun tak menghasilkan apa-apa. Maka demikian memprihatinkannya kisah saya, dan mungkin juga Anda, tatkala tiba-tiba tertarik ke memori suram masa lalu, terpaku diam disitu, dan sekonyong-konyong tak bisa keluar dari trauma menyakitkan yang mungkin cukup menekan. Apalagi memikirkan masa depan yang jauh sekali dari jangkauan.
Miris dan mengiris, kadang-kadang.
Tapi sayangnya kita tak dapat lupa, tak dapat begitu saja membuang jejak-jejak ingatan yang sudah demikian kuat tertanam. Lebih kacau lagi, pada saya yang pemikir-perasa komplit ini. Logika hilang kemana, dan yang muncul adalah kecemasan-kecemasan berlebihan yang apabila diperturutkan, jangan-jangan anxiety disorder¹lah akibatnya.
Seorang psikolog rekan saya bilang, trauma itu bukan dihilangkan, tapi kita berdamai dengannya. Dan saya terbelalak. Ohya? Bagaimana bisa?
Bisa, ujarnya. Namun butuh proses dan kesabaran menjalaninya.
Dalam kebuntuan yang didominasi perasaan tak menyenangkan, saya berpikir. Tetapi makin saya pikirkan, makin kejam pula demon-demon² itu menghujamkan duri-duri ingatannya. Tepat sekali, makin depresilah saya pada akhirnya.
Tak menemukan jawaban, saya membiarkan waktu terus berjalan dan mengalir begitu saja. Hari-hari saya terisi banyak pengalaman baru; dan laiknya dinamika kehidupan, tentu, positif-negatif, senang-sedih, susah-mudah dan berbagai pasangan rasa bertebaran disana. Jawaban sederhana untuk semua itu ternyata ada disini, di hati ini. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa ‘sembuh’, tetapi yang jauh lebih penting daripada itu semua adalah perasaan ikhlash dan berserah kepada-Nya. Itu sebabnya, ketika saya berfokus pada keinginan untuk pulih, justru saya semakin merasa tertekan. Maka hal yang lebih nyaman daripada itu adalah berserah saja, titik. Tidak ada yang lain.
Pertanyaan saya, memangnya apalagi yang bisa kita lakukan untuk mengubah?
Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyibukkan diri pada sebanyak mungkin agenda kebaikan yang akan melebur keburukan, serta bertawakkal. Toh tidak ada sehelai daunpun yang jatuh tanpa seijin-Nya. Dan apalagi segala macam peristiwa-peristiwa besar yang menyelimuti kita. Pasti, pasti ada hikmahnya.
Maka hari itu, ketika seseorang bersama memori buruk yang melekat tentang dirinya, datang tiba-tiba, saya bisa dengan sumringah menyambutnya. Saya bisa memilih untuk menjadi sedih, untuk marah, atau bahkan membuang muka tak suka. Tapi lagi-lagi, buat apa? Apakah memori itu menjadi hilang kemudian dengan serta-merta?
Tidak ada yang dapat menghapus apa yang sudah terjadi. Jadi saya memutuskan untuk beranjak berdiri sembari berharap semoga apa yang pernah terjadi serta apa yang saya lakukan di hari ini dan nanti, bisa membuat saya semakin bijak menata diri.
Tidak ada yang bisa membuatnya hilang, lenyap, atau berubah seketika. Mengasihani diri sendiri sama saja dengan membunuh waktu dan membiarkannya terlewat sia-sia, sementara hari esok menunggu untuk dilukis secepatnya. Betul, sama sekali tidak mudah, tapi sama sekali tidak mustahil pula untuk dicoba. Hanya perlu itu: kemauan untuk mencoba. Berani? :)
"Face your past without regret.
Life is wonderful if you know how to live it."
Friday, July 04, 2008; 3:06 pm.
Untuk seorang sahabat lama yang muncul tiba-tiba, welcome :)
²demon : setan. Dalam mata kuliah psikologi kognitif semester awal, ilustrasi gambar yang diberikan untuk jejak-jejak ingatan adalah gambar setan-setan kecil bertanduk yang membawa garu. Ia mencuat dimana-mana dalam kognisi kita dan muncul begitu saja sebagai representasi buah-buah pikiran.