Bismillah.
Perbincangan saya dengan seorang teman di seberang
“Punya visi apa setelah nanti jadi psikolog?”
Atau, “Habis lulus profesi mau ngapain?”
Dan mengejutkannya, 3 dari 5 rekan saya ini menjawab dengan begitu ‘ngawang-ngawang’-nya.
“Mmm…belum tau,”
“Apa ya, Ndra? Jujur gw belum kepikiran tuh, ngejalanin aja sih…”
“Duh, gak tau deh. Mikirin yang di depan mata aja sekarang. Tugas-tugas nih numpuk banget!”
Selebihnya, 2 orang yang lain, lumayan memiliki pandangan jauh ke depan.
“Mau bikin lembaga pendidikan, atau sekolah yang bagus,”
“Mmmm… belum tau juga. Tapi mungkin akan seperti Mba “X” (psikolog di kampus –red), jadi family-terapist,”
Mungkin saya sedikit perfeksionis. Menjalani sesuatu tanpa menyadari hakikat “buat apa saya melakukan hal tertentu”, adalah hal yang cukup mengganggu. Implikasinya jelas, jika tidak ada niat sungguh-sungguh di balik itu, ketika kebosanan atau kesulitan menghadang, pasti kita akan mudah jatuh. Lebih dari itu, adalah kesia-siaan ketika kita menjalani sesuatu tanpa ruh, tanpa hal yang menjiwai mengapa kita harus melakukan itu, mengapa kita harus berada disana, dst.
Mungkin ada juga beberapa orang yang menemukan hakikat sembari menjalaninya. Well, tidak salah juga. Tapi sekali lagi, saya hanya ingin memastikan bahwa saya menjalani semua dengan penuh kesungguhan, dengan penuh visi yang akan membuat saya yakin bahwa apa yang saya lakukan akan bermanfaat sebesar-besarnya. Bukankah para pemain bola selalu berusaha mengarahkan bola mereka ke gawang?Sehingga, pertanyaan-pertanyaan inilah yang barangkali harus saya buat jawabnya se-SMART* mungkin. Buat apa saya menjadi psikolog? Apa yang akan saya lakukan jika saya sudah bergelar psikolog? Sekedar prestise sajakah? Tampak keren dan wah di mata orang? Atau apa?
Kening saya pun berkerut, mengindikasikan kognisi yang sibuk mencari jalan. Minimal ada hal yang bisa saya berikan terhadap mereka; entah saran, masukan, apapun itu. Tapi saya gagap, dan menjawab dengan asumsi-asumsi ditambah bumbu pengalaman yang minim sekali. Dan saya merasa bersalah sekali tidak bisa membantu dengan optimal karena bekal yang kurang.
Disitulah gap itu terasa.Ada
Untuk pertanyaan terakhir, saya berkaca pada rekan senior saya. Berlatar belakang sarjana pendidikan dan master di bidang sastra inggris (catat : bukan psikologi), beliau sering sekali ‘menerima klien’ untuk dimintai nasihat dan saran. Sejumlah pasangan nyaris cerai datang kepada beliau dan berkonsultasi, dan hasilnya, alhamdulillah mereka rukun kembali dan mengurungkan niat untuk berpisah.
Jadi, apakah harus menjadi psikolog? :)
Dunia nyata pasca kampus menggiring saya bertemu dengan begitu banyak fragmen kehidupan. Dan semakin saya berhadapan dengannya, semakin saya merasa begitu minim bekal yang saya punya. Bagaimana bisa kita berhadapan dengan seorang anak depresi sementara kita tidak tahu cara menanganinya? Bagaimana bisa kita menjiwai permasalahan rumah tangga, sementara pengalaman belum ada, dan secara keilmuan juga tak seberapa? Bagaimana kita dapat menangani korban-korban pasca trauma, entah karena musibah bencana, atau kekerasan yang menimpa, dengan ilmu yang alakadarnya dan hanya sekedar mencoba-coba tanpa metodologi yang baik dan kemampuan analisa-saran rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan?
Mungkin saja yang harus saya lakukan sekarang ini adalah melakukan gerak horizontal –bukan vertikal- yaitu dengan memperkaya pengalaman, memperbanyak kenalan serta memperluas relasi dan jaringan. Dan syukurnya, di LSM tempat saya bekerja sekarang, pengalaman dan jaringan merupakan suatu keniscayaan :)
Saya percaya, akan ada waktu yang tepat nantinya jika saya harus belajar lagi di S2. Sebagaimana hal lainnya, selalu ada waktu terbaik dimana kita layak berada disana.
Lagi-lagi Allah memberi saya hikmah itu : saya mendapat apa yang saat ini saya butuhkan, dan bukan apa yang saya inginkan :)
Friday, July 04, 2008. 2:23pm.
~belumSaatnyaMenikmatiZonaNyaman…
*SMART = specific, measurable, attainable, realistic, time limit. Ini adalah panduan membuat goal/target yang biasa dipakai dalam ilmu manajemen/psikologi.
dan
http://zulfikri.wordpress.com/2007/06/11/peran-atap-dalam-arsitektur-sebagai-simbol-martabat-bangunan/
sudah ijiin! makasih banyak..
10 komentar:
ah.. para calon psikolog yang butuh psikolog xD
eniwei, pertanyaan "abis lulus mo ngapain" itu kadang2 emang paling enak dijawab ga tau ndra ;D (psikolog harusnya tau nih kenapa ;p) jawabannya mungkin udah ada, tapi terkadang terlalu dini untuk dibagi ke orang lain, we called it 'subtle' ;D
serahkan sesuatu pada ahlinya
'ahlinya' ngga selalu identik dengan jurusannya lho
kalo menurut saya, 'ahlinya' itu adalah :
orang yang emang punya passion kuat dan banyak bertindak, sehingga ilmunya otomatis nambah
demikian dari saya wahai ibu sarjana :)
#author: kok diapus?!
#mba dew2: mgkn itu yg perlu dievaluasi dari sistem pendidikan ini. mencetak sarjana yang tidak tahu setelah lulus mau apa :P
btw jumlah sarjana pengangguran skarang berapa mba? ;)
#agah: jadi si 'ahlinya' itu siapa?! *gak mudeng*
Dalam hal ini sepertinya kita punya masalah yg sama.. Salam kenal, semangat!
buruan Fath...insya Allah when there is a will, there is a way ;)...
btw, mau ke pante mane? ancol ?
#rasyeed: hehe. law of attraction :)
#ocha: iyah, maunya siy cepet. tp kynya emang blm waktunya. hyukkkk kita ke pantaaaiii... ya mana lagi selaen ancol, jeunk. emangnya km mau ngajak aku ke ambon..kalo gratis mah mau aku.hihi.. ;)
coba deh liat
http://amri.web.id/index.php/tuhan-menghendaki-kita-kaya-3/
lucu bacanya :)
hmm, saya rasa analogi naik tangga adalah analogi yang pas. walaupun tidak sedikit yang kuliah sambil bekerja dan mengalami kemajuan di keduanya. in my humble opinion, S2 bukan hanya gelar akademik, tapi juga beban sosial dan lingkungan, sebab S2 dituntut memecahkan masalah dengan pendekatan ilmiah. kalo hanya sekedar buat nyari kerja, dari dulu saya sudah cepet kuliah lagi :) ngarep mode on
salam
telat ya fath
tertohok juga niy baca postingan yang ini, jadi biar telat, nekat komen
kalau dulu di awal saya ditanya kenapa s2, saya iseng jawab mengisi waktu luang, hehe
tapi sebenernya, lebih dari itu, saya kan sudah menikah, saya melek sekali, bahwa perempuan sudah menikah, pasti punya konsekuensi logis dalam memutuskan mengaktualisasikan elmu nya
makanya, saya pikir, selain s2 profesi bisa meningkatkan posisi tawar (disini saya malah gak mikir masalah finansial yang bakal saya dapet, saya juga berharap bisa punya flexible work hours supaya peran sebagai ibu juga gak terbengkalai
Post a Comment