Oct 19, 2008

[no title]


Bismillah.
Lembayung menggurat.
Rona merah terbias berpadu kuning mentari, memendarkan eksotika cahaya yang seringkali mampu menggubah hati tiba-tiba, menjelma pujangga. Tenggelam sang surya ke peraduan, membiarkan abu-abu kemudian menutup cakrawala, menyambut selimut temaram sang malam. Dan panggilan Tuhan lalu berkumandang.
Tertipu kita. Selalu muncul sangka bahwa matahari berpulang dan besok ia akan muncul lagi menjalankan tugasnya. Tapi sekali-kali tidak. Nyatanya himpunan pijar api itu tak pernah berhenti terbakar. Dan ia tak pernah memudar. Hanya saja bumi yang memutar posisi. Berkeliling tak henti. Menaklukkan retina yang tak dapat melongok lebih dalam kemana siang atau malam turun atau tenggelam. Menyuguhkan waktu yang sedemikian tertata rapi, sekedar menegaskan bahwa siangmu sudah selesai, atau pagimu baru saja dimulai.
Walau demikian, binar tajam itu tak dapat menunggu. Ia hanya peduli dengan apa yang tertera di depan mata. Perputaran buana masih setia dengan 24 jamnya, tapi tak sudi ia memikirkan kemana mentari menghilang, dari mana pula rembulan selalu datang. Ada jutaan tugas yang lebih penting dari sekedar menulis roman, melukis senja, atau berasyik-masyuk menunggu purnama.
Jika tugasnya hanyalah terbang dan terus terbang, mengapa ia harus berpikir dan duduk santai sementara ada yang menunggu dengan lapar tertahan? Secepatnya, sebelum rembulan datang, ia harus pulang membawa buruan. Tak apa jika berlelah-lelah di waktu pagi dan siang, meskipun harus berulang kali memutar haluan.
Hari itu langit berpadu dalam biru dan putih yang berkilauan. Kiranya optimisme menggetarkan angkasa dan bumi, karena atas dasar kasih ia harus pergi mencari. Lembaran demi lembaran awan yang bertebaran, memaparkan terbentangnya sekian banyak ruang berikhtiar.
Tapi sayang.
Setengah perjalanan, nalurinya mencium firasat yang membuat hati tak nyaman. Ada hitam menggulung di kejauhan. Ada bau sejuk dingin yang tercium, dan udara seketika menjadi lembab pekat, bergumul dalam resah yang kian menguat.
Dan hujan mulai berjatuhan.
Tapi ia tak punya alasan untuk kembali pulang.
Kaki kukuhnya telah melangkah. Sepasang sayapnya telah mengepak gagah. Dan pekiknya telah membahana, menebar gigih yang menerabas keraguan atas segala rintangan. Ada yang menunggu. Dan ia tak mungkin kembali tanpa hasil signifikan.
Terbang ia.
Dan tak dihiraukannya tetes demi tetes yang semakin mengair bah dari langit, juga kilat yang menyambar-nyambar tubuh hingga menembus ke kulit.
Ada yang menunggu. Ada yang menanti. Dan tak mungkin ia kembali tanpa hasil meski sedikit.
Tapi ia memang hanya mampu berusaha. Kuasa Penciptanya jauh lebih kuat dari sekelumit ikhtiar, lebih rumit dari apa yang selama ini ia rencanakan. Gempita badai hari itu terlalu sulit ditembus. Guntur yang bersahut-sahut serasa menulikan telinga yang mulai kuyup. Apakah ia harus berkeras-keras mendapatkan makan, sementara jika diperolehnya pun, belum tentu ia akan selamat kembali pulang?
Dikepaknya lagi sayap kokoh itu. Ia tahu tugasnya hanya memaksimalkan usaha. Selebihnya, biarlah Yang Maha Melihatnya hari itu yang menentukan hasilnya.
Tetapi angin mempermainkan tubuhnya yang semakin limbung, lalu gelegar guntur nyaris menyambarnya tanpa ampun, membuat ia berkelit, dan tak lama terhuyung jatuh menukik.
Ah. Barangkali kali ini ia memang harus menyerah. Adalah konyol untuk memaksakan diri memenangkan hati, tapi setelah menang ia mungkin mati. Untuk apa berarti kini, dan esok yang tersisa hanyalah penyesalan di hati?
Lunglai, tubuhnya yang kehabisan tenaga memutar arah. Jika tidak hari ini, tentu ada esok hari. Jika gemuruh petir itu sulit tertandingi kini, barangkali esok malah muncul pelangi.
Pulang, tiba ia di hadapan cintanya.
Adakah apologi yang dapat dikemukakan tanpa harus berdusta?
Seraya menahan sakit dan gemuruh rasa bersalah di dada, suara sengaunya akhirnya berkata,
“Sayang, kita masih harus berpuasa.”
Sunday, 19.10.08, 09:53pm

0 komentar: