Dec 5, 2008

Pembicara NATO*



Bismillah…

Kata orang, pengalaman adalah guru terbaik.
Dan sepertinya saya harus sepakat.

Dalam 2 tahun terakhir ketika mengisi pelatihan/seminar, banyak sekali peserta yang lebih senior secara usia maupun pengalaman. Dan saya berdiri di depan mereka sebagai fasilitator, pembawa materi.

“Lihat!
Usianya saja jauh lebih mudah daripada kita.
Pengalamannya pasti juga tak banyak.”

Huffffhh....

Jika bicara soal knowledge/pengetahuan, kita bisa meng-upgrade-nya lewat membaca. Tapi kalau soal pengalaman, saya angkat tangan deh.
Kok bisa sih, bicara tentang pengasuhan anak tetapi sendirinya belum berkeluarga?

Duh, Pak, Buu... ampunnn...
Jangan serang saya begitu dunk... Mati kutu nih!

Yaa...alhamdulillah belum ada sih yang secara frontal bicara seperti itu ketika saya tampil. Tapi kadang-kadang saya jadi merasa minder sendiri. Bukan soal saya lebih tahu mengenai materinya. Juga bukan soal penguasaan apa yang saya bawakan. Tetapi ini soal aplikasi.

Sudah belum, kamu tuh mengaplikasikan apa yang kamu katakan?
Sudah belum, kamu benar-benar menghadapi susahnya menangani anak di sekolah sehari-hari?

Setahun terakhir ini saya semakin merasa tak nyaman.
Persoalannya cuma karena saya merasa... kok apa yang saya katakan normatif sekali ya...
Kok yang saya kasih tau ke peserta itu, cenderung ngawang-ngawang ya...
Kok jawaban-jawaban yang saya berikan, tatarannya ideal sekali dan belum tentu mudah direalisasikan?
Lebih dari itu, saya jadi merasa cuma tau teorinya doang, tapi gak ngerti aplikasinya.
Emangnya saya tahu susahnya jadi guru... sekarang malah berani-beraninya ngajarin guru...
Ngomong mah enak... coba kamu yang ngadapin murid sehari-hari...

Solusi pertama adalah tampaknya saya harus segera menikah *lho*
Maksud saya, minimal saya bisa ngerasain punya anak dan mendidiknya. Jadi kalau saya berbagi sama peserta pelatihan atau seminar, saya bisa bilang bahwa saya juga menerapkan apa yang saya katakan.
Gimana ceritanya mau jadi konsultan pernikahan/keluarga tapi belum menikah, coba...

Solusi kedua, saya harus sering-sering ngobrol atau mengamati orang-orang yang sudah punya anak atau juga guru-guru. Biasanya jadi tau masalah yang suka dihadapi. Misalnya, kalau anak suka bandel gimana, kalau menghukum anak yang efektif seperti apa, menyikapi ini gimana, itu seperti apa, dst.

Akhirnya yang paling sering saya lakukan adalah menceritakan pengalaman orang lain. Real, solutif, membumi, dan tentu saja, sangat aplikatif!
Setidaknya ini menutupi ”lubang” pengalaman saya yang minim sekali.
Judulnya kan berbagi, bukan ngajarin... Hehe... ngeles...

Eh tapinya ya, kalau di bisnis saya mah, gak bakalan boleh jadi pembicara kalau bisnisnya gak jalan. Karena pasti keliatan, antara orang yang benar-benar pengalaman berjuang, dengan orang yang sekedar NATO (no action talk only). Jadi, kejujuran dan integritas adalah fondasi utamanya. Karena kalau tidak jujur dan tidak berintegritas, pasti gak akan ada yang respek dan mau mendengarkan.

Tapi kalau disini nihhh yaa...
Dudududu...

Ah, kan udah saya bilang... saya harus resign secepatnya. Hehe...
*ngomong mulu lu, Ndra...kapan resign benerannya!!*
Peace



Thursday, 04.12.08, 07:23pm


*No Action Talk Only


2 komentar:

iioguj45e6ju3 said...

Biar lebih mantep jd pembicaranya makanya nikah dulu dong mba Fath ;)
ntar pengetahuannya baru bisa jadi ilmu kalo sdh diamalkan :p

Indra Fathiana said...

#enhadiy: kqkqk...iya nih mas! doaken sayah :D