Bismillah.
Saya menatap lembar berisi kolom-kolom yang selalu diedarkan tiap pekan itu
dengan tatapan tak bergairah. Ada sederet ibadah dengan kolom kosong yang harus
diisi angka. Sholat berjamaah, sholat sunnah rawatib, shalat Dhuha, tilawah
Qur’an, puasa sunnah, qiyamullail, berolahraga, membaca buku, dsb.
Kami, saya dan sejumlah rekan satu pengajian diharuskan mengisi “Mutaba’ah
Yaumiyah” itu, suatu form evaluasi ibadah harian yang akan dipantau oleh
ustadzah kami. Tujuannya tentu baik, agar kami melakukan ibadah-ibadah harian
sesuai standar yang ditetapkan, yang mengacu pada bagaimana Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabatnya melakukan. Sebut saja, tilawah Al Qur’an sebaiknya bisa
khatam dalam waktu sebulan, atau secepat-cepatnya 3 hari. Kalau targetnya
sebulan khatam, berarti 1 hari minimal menamatkan 1 juz.
Begitu juga ibadah lainnya. Shalat Dhuha, Qiyamullail, Sunnah Rawatib, kalau
bisa tidak ditinggalkan. Bukan bermakna mewajibkan yang sunah, tetapi mengingat
betapa banyak keistimewaan yang terkandung dalam ibadah-ibadah tersebut, yang
amatlah sayang jika dilewatkan. Apatah lagi dalam kamus seorang “aktivis
da’wah”. Jika yang ia sampaikan adalah da’wah, dan yang mengubah hati manusia
adalah hanya Rabb mereka, maka bagaimanalah mungkin kita tak berdekat-dekat
pada-Nya?
Hati saya masih netral sampai disitu.
Tetapi menjadi agak lemas, kalau tidak boleh dibilang ingin memberontak,
saat mengetahui prestasi ibadah saya diperbandingkan dengan yang lain.
Dalam kelas-kelas belajar di sekolah-sekolah, sistem ranking lambat-laun menjadi basi karena dinilai kontraproduktif. Setiap anak dipacu untuk saling bersaing satu sama lain. Dalam persaingannya, ada saja anak yang iri, “Mengapa harus dia yang jadi juara?”. Dan lalu muncullah keberanian untuk berbuat curang, bahkan ada pula yang diimami sang guru atau dilakukan berjamaah. Lenyap sudah esensi belajar, yang penting angka dikejar, peringkat dikedepankan. Semangat yang terwujud kemudian adalah mengungguli orang lain, dan jika kita telisik selanjutnya akan memunculkan pertanyaan "untuk apa?". Disorientasi tujuan semakin jelas, saat kita bangga telah melampaui kemampuan orang lain, bukan mengungguli diri sendiri.
Saya tidak tahu apakah sistem seperti ini juga perlu diterapkan dalam Mutaba’ah Yaumiyah yang banyak orang lakukan bersama kelompok pengajian mereka. Yang saya tahu, urusan ibadah amatlah personal, antara ia dengan Tuhannya. Kepada manusia, perannya hanyalah sebatas pengingat, mengingati dalam kebenaran, mengingati untuk menetapi kesabaran.
Jika memang dalam soal ibadah juga perlu “buka-bukaan”, saya yakin diperlukan usaha yang lebih keras untuk menjaga keikhlasan dalam melakukan ibadah tersebut. Mengerikan sekali membayangkan syaitan membisiki kita saat melakukan sholat Tahajjud, “ayo lakukan supaya kolom sholat Tahajjud di lembar evaluasi ibadahmu tidak kosong! Dan kamu tidak perlu malu lagi pada ustadzah dan teman-temanmu karena ibadahmu sedikit…”. Na’udzubillah… Na’udzubillah…
Padahal, bukankah telah jelas haditsnya, “peperangan terbesar adalah melawan hawa nafsumu sendiri”, bukan “melawan (hawa nafsu) orang lain?”. Maka mengapa sesuatu yang sangat personal ini kemudian dibawa ke ranah perbandingan antarindividu? Bukankah seharusnya pembanding diri kita sejatinya adalah diri sendiri yang dikonteks-i waktu? “Saya kemarin, saya hari ini, dan saya esok” seyogyanya menjadi ukuran yang nyata jelasnya, apakah dalam lompatan-lompatan waktu itu kita menjadi lebih baik, stagnan atau bahkan lebih buruk.
Maka rekomendasi saya, jikalah sistem pengawasan dari orang lain masih diperlukan untuk membantu capaian-capaian ibadah kita, simpan saja baik-baik formulir itu antara diri kita dengan si evaluator. Cukup. Tak perlu beredar dan kemudian dibuat resume grafiknya, siapa paling tinggi, siapa paling rendah. Karena si paling tinggi mungkin juga berjuang keras mengendalikan potensi rasa ujub atau bangga hatinya pada amal yang telah ia kerjakan.
Itu yang pertama.
Yang kedua, sejauh ini dalam 10 tahun terakhir dievaluasi secara rutin, saya belum pernah mendapatkan pertanyaan yang lebih mendalam dari sekedar torehan angka. Angka membuat saya terpasung, jika saya sudah mencapainya maka Alhamdulillah, tercapai juga standar yang harus dipenuhi. Jika tidak, ya berarti saya harus berusaha lebih giat lagi. Sebatas itu saja. Bagi saya ini memancing perasaan “cukup” dalam beribadah. Padahal orang-orang shalih terdahulu tidak pernah merasa cukup dengan ibadah yang mereka lakukan, dan amat sangat khawatir amalan mereka diterima atau tertolak.
Jadi apa kabar dengan kualitas kekhusyu’an sholat kita?
Apakah sholat Dhuha dan Tahajjud kita masih dilakukan karena tergiur fadhilah-fadhilahnya saja? Lebih parah lagi, sekedar menggugurkan target demi target?
Bagaimana tilawah Qur’an kita? Cukupkah dikejar dengan membaca berlembar-lembarnya, ataukah dengan sejauh mana kita pahami makna ayat-ayatnya?
Bagaimana olahraga kita? Sekedar menyehatkan raga atau menjaga amanah Allah agar lebih optimal mengabdi
pada-Nya?
Sekali lagi, alangkah mengerikannya jika kita terjebak pada kuantitas dan tidak terlalu memperhatikan kualitas amal ibadah. Betapa meruginya saat kita merasa “cukup” dengan target yang ditetapkan, tapi luput memperhatikan seberapa baik kadar kekhusyu’an, kadar keikhlasan, atau kadar ketinggian orientasi pada amalan yang dilakukan.
Maka biarlah kolom-kolom mutaba’ah beredar 4 mata. Kontrol berjamaah yang saya tak pungkiri masih diperlukan, tak perlu menjadi sarana yang berbalik memfasilitasi para syaitan dalam mempermainkan keikhlasan hati, karena disanalah salah satunya, terletak syarat diterimanya amal itu sendiri.
Sesungguhnya telah jelas menjadi teladan, bahwa Ali bin Abi Thalib serta Malik bin Dinar yang kadar shalihnya melebihi kita, begitu khawatir jika amalnya tidak diterima daripada banyak beramal. Karena kita tidak pernah ingin segala rupa ibadah yang kita lakukan, menguap tak berbekas hanya karena selintas perasaan riya’ atau ujub yang berhembus, yang mungkin tanpa sadar kita perbesar peluang kemunculannya..
Wallahua’lam.
Jagakarsa, 15/8/2013, 00:59wib