bismillah...
nyetel tipi di awal2 tahun masehi ini, yang muncul kebanyakan pasti para peramal.
yakin deh, setiap awal taun pasti kocek mereka tambah tebel... saking banyaknya yang minta dibocorin soal jodoh, rejeki, bencana... anything.
gak ketinggalan juga rasa penasaran apakah tren nikah-cerai masih menjamur.
udah nikah, lalu cerai, nikah lagi, cerai lagi, eh bangga pulak...
heran gw... -_-'
daripada pusing ngedengerin ramalan dan bingung mau percaya apa enggak, better ganti channel tivi ke saluran berita aja. atau matiin tu tipi sekalian. beres dah...
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang, dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk, kecuali syaitan yang mencuri-curi yang dapat didengar lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang. (QS. Al-Hijr : 16-18)
Dari Aisyah ra bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Para malaikat ketika turun ke awan membacakan urusan-urusan yang telah ditetapkan di langit, datanglah setan mencuri dengar dan disampaikan kepada para dukun dengan membohonginya dengan 100 kebohongan dari diri mereka sendiri. (HR. Bukhari)
-gaPerluMusinginApaYangGakPerluDipusingin...
2 Feb 2008
gbr dari www.freerepublic.com/
Jan 2, 2008
Ramalan 2008
Diposkan oleh Indra Fathiana di 1/02/2008 6 komentar
Label: Daily
Dec 17, 2007
Sakaratul Maut
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
"Maafkanlah, ayahku sedang demam",kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
"Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
"Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangankhawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:
"Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku" "peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii,ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi.
***
bismillah...
aku bersyukur sekali bisa menyerupai Fathimah kala ia mendampingi detik-detik terakhir ayahnya SAW sebelum berpisah dengan dunia...
ayahku...
aku mendampinginya sampai ia menutup mata...
aku mentayamuminya dan membimbingnya sholat Isya'... untuk yang terakhir kalinya.
aku memperhatikan dengan seksama saat hidungnya berubah sedingin es walau kening dan pipinya demam dan menghangat...
aku menyaksikan penderitaannya menarik nafas dengan tersengal sejak 24 jam sebelum kematiannya...
aku juga mentalqikannnya dengan kalimat syahadat...
dan aku melihat dengan mata-kepalaku sendiri bagaimana ia menghadapi sakaratul maut, meregang nyawa dalam rasa sakit yang tak bisa ia katakan..
demi Zat Yang Nyawa-nyawa kita berada dalam Genggaman-Nya...
mari bersiap sekarang juga...
***
“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang”
(HR Tirmidzi)
“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?”
(HR Bukhari)
“Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa”.
(Ka’b al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
gbr dari http://earthobservatory.nasa.gov/Newsroom/NasaNews/2005/2005011118157.html
maaf ga ijin...
Diposkan oleh Indra Fathiana di 12/17/2007 4 komentar
Dec 15, 2007
Berita Duka
Telah berpulang ke Rahmatullah Ayahanda dari Indra Fathiana pada hari Jum'at (14/12/2007) pukul 23.00 wib.
Mohon do'a agar almarhum diampuni dosa-dosanya oleh Yang Maha Kuasa,
Mohon dima'afkan apabila ada kesalahan almarhum semasa hidupnya, dan jika ada hutang, mohon disampaikan.
Juga mohon do'a agar keluarga dan kerabat yang ditinggalkan mampu mengikhlashkan dan diberi kesabaran serta kekuatan dalam menghadapi ujian ini.
(posted by: Nuri Sadida, based on approval of Indra Fathiana)
Wassalaamu'alaikum WrWb
Diposkan oleh Indra Fathiana di 12/15/2007 14 komentar
Label: Family
Dec 6, 2007
Semusim Berlalu, Seperti Setahun Lalu
Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, awan kelabu seketika menggantung di cakrawala dan menerbitkan gundah pada degup-degup ketidakpastian yang masih saja melanda.
Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, pada rinai hujan yang sama, pada rintik gerimis yang sama, pada saat itu, kepasrahan bermuara pada satu penyerahan total: bahwa segala hal tak lagi dapat diputuskan dengan semena jiwa.
Pada gurat abu awan yang sama, langit hitam yang sama, pada masa itu pula, kesudahan adalah ketika keinginan tiada lagi diperturutkan: karena kuasa tak pernah dapat dikendalikan seenaknya.
Haruskah karam menjadi jawaban ketika sekian banyak gelombang waktu justru semakin mendekatkan pada kepastian yang selama ini dikembarakan?
Betapa angkuhnya, ketika persinggahan menjadi begitu melenakan hingga tak lagi ingat mana fatamorgana, mana pula realita. Ketika bahtera berhenti sejenak di atas ketenangan ombak kehijauan, luput sudah kesadaran bahwa palung menjorok di kedalaman telah bersiap menenggelamkan. Dan pada akhirnya, di saat bersamaan, gelombang menggulung dan badai bersahutan meluluhlantakkan semua perbekalan.
Sia-sia sudah haru-biru pasrah dan kerinduan dalam tunduk yang meleburkan segala hasrat ketika itu, hingga pertahanan demi pertahanan terkoyak-moyak dalam rasa sakit yang terus menderu.
Rapuh...
Perlu sekian waktu rupanya, menjegal dan memenjarakan semangat yang salah tempat.
Jika memang hujan membuat sayap-sayap teguh itu patah, patutkah kepayahan ini membela diri hingga jatuhnya ke jurang tampak sebagai hal yang biasa?
Pula, belum sempat pulih itu kembali sedia kala, binar cahaya di dasar bumi membuat silau dan lagi-lagi, lagi-lagi!, menggeret sejuta luka yang merah darahnya menghangat tersiram cuka!
Tidakkah degil itu dapat terhenti jika memang belum tiba waktunya meregang nyawa?
Tidakkah jera mencuat saat pecut itu mengena dan meninggalkan gores-gores yang tak bisa luntur bekas sayatannya?
Pada hujan dan dingin deru angin yang sama,
Pada pergantian cuaca yang tak pernah terkira,
Juga pada pancaroba yang menerbangkan harap bercampur cemas luar biasa,
Disinilah kiranya karam sang bahtera.
Jikalau matahari tak menembus lapis demi lapis samudra,
Atau nafas sesak itu tak tergesa-gesa meminta haknya,
Adakah sadar itu hidup untuk kesekian kali, mencari dimana sesungguhnya tempat berpijak hakiki?
Ruang demi ruang adalah medan tak berkepastian.
Pula masa demi masa yang masih nyata dalam penglihatan.
Seandainya batas itu diproklamirkan, tentu tak lagi ada kesungguhan tuk merajut keterbaikkan. Saat garis cakrawala membaur dengan sapuan angkasa, tak akan sanggup tertebak kapan saat akan berhenti, kapan pula saat akan menepi.
Maka yang terus terlihat adalah biru, abu-abu, serta gelap gelombang yang menerjang kuatnya cengkeraman. Atau kelebat angin yang menampar hebat di tiap kayuhan.
Atau juga godaan karena kelelahan, hingga muncul kemenyerahan : inilah masa dimana sang pecundang menjemput kematian.
Kalah.
Jatuh.
Hina.
Dan tentu saja,
mati sebelum waktunya.
**
Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.
Hanya saja harus ada beda antara gerak kayuh hari ini dan hari itu.
Seperti juga kesadaran bahwa berhenti sama dengan menjadi rugi, begitu pula halnya bila berjalan tertatih-tatih.
Jika faham sudah bahwa perjalanan trilyunan kilo tak dapat ditempuh dengan jiwa nan rapuh, maka sudah sepantasnya tegak itu disandang dengan terus mengukuh. Tenggelamlah jika memang menginginkan pasir-pasir hitam menjadi bangunan kehidupan yang goyah. Pada saat satu-persatu maju memberikan persembahan, ucapkan selamat tinggal pada sekian kali dungu yang tak mau belajar dari kesalahan.
Jika terik surya harus menjadi teman, dan gelombang pasang menjalin persahabatan, lalu gulita semesta serta amukan badai merapat menjadi bagian perjalanan, haruskah karam menjadi pilihan?
Walau perih kepalmu menggenggam kemudinya,
penat jiwamu menanti akhirnya,
dan nyaris pecah batinmu mengemis sejatinya cahaya,
Pada akhirnya, perjumpaan akan menjawab segala tanya.
Persuaan akan mengubur segala luka.
Dan percaya, ribuan kali ujian masih tak sebanding membayar harga mahalnya.
Ratusan badai masih tak setara dengan nikmat tak terkira.
Karena memang, kesucian tak pernah meminta kecuali tebusan yang sama.
Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.
Masih ada gerimis yang sama.
Juga binar mentari yang tak kunjung berubah pula.
Maka tetap tegakkan kepala, dan melangkahlah lebih baik dari sekian putaran masa.
Kelak gugur dedaunan, hembusan angin kencang, serta kemarau penantian, surut menghempas gigih bangkitmu dari ketenggelaman, berganti semi yang menyemaikan kesyukuran: Dan perjalanan bahteramu menjadi usai.
August2007,diiringDentingPianoKevinKernDalamAnotherRealm-EnchantedGarden-nya.
~Allahumma,tsabbitQolbi’Aladdiinik,shorrifQolbi’alaththo’atik...
gbr dari
http://www.squirrelldesigns.co.uk/another%20rainy%20day.html
lifesymphony.blogfa.com/
http://www.pocketpcmag.com/SuperCD/CFreeThemesVGA.aspx
http://www.fortoldningsafdelingen.dk/fortoldninger.htm
maaf ga ijin...
Diposkan oleh Indra Fathiana di 12/06/2007 7 komentar
Label: Soul
Nov 28, 2007
Semoga
Merenungkanmu kini, menggugah hariku
berbagai kenangan berganti, masa yang t'lah lalu
sebenarnya ku ingin menggali hasrat untuk kembali
Melukiskanmu lagi di dalam benakku
perlahan terbayang pasti garis wajahmu
kehangatan cinta kasih dapat kubaca jelas di situ
Adakah waktu mendewasakan kita
kuharap masih ada hati bicara
Mungkinkah saja terurai satu persatu
pertikaian yang dulu bagai pintaku
semoga...
(Semoga - Kla Project)
~andIRememberABunchOfYellowRoses...
wed, 28.11.07;02.45pm
Diposkan oleh Indra Fathiana di 11/28/2007 3 komentar
Label: Songs
Nov 27, 2007
Warisan Dendam
Bismillah…
Oktober 2007. Pagi itu aku menemani mamah pergi ke bank syariah di bilangan Matraman. Setelah lama menunggu antrian, aku segera menemui petugas frontline-nya. Sambil mengurus ini-itu untuk mengambil sejumlah uang, si petugas tiba-tiba bertanya pada mamahku.
“Ibu E, ya?”
Mamahku yang tengah melamun, terkejut. Pasalnya ibuku tidak menunjukkan identitas apapun.
Sambil mengamati sang petugas, beliau menjawab,
“Iya… Mas siapa ya…”
“Saya Ri, anaknya Pak Z…”
Seperti adegan film yang dihentikan tiba-tiba, selama beberapa detik mamahku mematung. Aku juga terkejut, tetapi masih bisa mengendalikan diri. Aura tak enak segera memenuhi segitiga itu: aku, mamah dan mas Ri tadi.
Si Ri jadi kikuk. Untung mamah segera mengucap sepatah kata.
“Oohh… Ri ya… anak Pak Z… sudah lama disini…?”
“Lumayan, bu. Sudah 6 bulanan… Gimana kabar Bapak, Bu?”
“Bapak baik… Oh jadi Ri disini sekarang…”
Dan obrolan basa-basi pun berlanjut. Meski rumah R hanya berbeda 200an meter dari rumahku, keluargaku sama sekali tak pernah memperhatikan mereka.
Aku diam saja di tengah percakapan itu. Menunggu si Ri membereskan pekerjaannya dan memikirkan keterlambatanku tiba di tempat kerja.
Pikiranku melayang-layang ke wajah Bapak di rumah.
Lebih kurang 15-an tahun lalu ayahku bekerja sama dengan ayahnya si Ri. Mereka, yang bersahabat karib sejak masih kuliah di UII Jogja, mendirikan CV yang bergerak di bidang konsultan perencanaan pembangunan. Kebetulan Pak Z, ayah Ri, menjadi managernya dan ayahku menjadi orang lapangan.
Proyek bergulir dan ayahku berkutat dengan begitu banyak pekerjaan. Beliau yang menggambar sketsa bangunannya, memperkirakan berapa banyak baja, besi, dan bahan-bahan bangunan yang perlu dipersiapkan, dst, dst.
Aku tidak tahu persis berapa lama proyek-proyek itu berjalan, mengingat aku belum cukup dewasa untuk memahami apa yang ayahku lakukan. Aku hanya ingat bahwa dulu ayahku sering sekali bolak-balik Jakarta-Sukabumi untuk mengurusi proyek itu. Malam-malamnya habis untuk berkonsentrasi menggambar dan menggambar, menghitung angka-angka, hingga suatu ketika…
Ayahku tidak lagi mau berjabat tangan dengan Pak Z ketika mereka bertemu saat sholat berjamaah di masjid dekat rumah. Dan hampir semua jamaah bapak-bapak disana mengetahui apa yang tengah terjadi, sampai-sampai ustadz di masjid itu berkata,
“Jamaah saya yang tidak mau saling bersalaman satu sama lain adalah Pak Z dan Pak R (ayahku –red),”.
Kalian tahu apa penyebabnya?
Tidak pernah ada komisi dari proyek itu untuk ayahku, meski ayahku sudah mengerahkan seluruh energinya. Tidak ada komunikasi dari Pak Z tentang berapa besar keuntungan yang telah ia terima dan berapa banyak yang seharusnya ayahku terima, lalu semuanya terputus begitu saja. Uang hak ayahku yang tidak diberikan oleh Pak Z nilainya hampir 100 juta rupiah!
Kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh sahabat sendiri? Sahabat yang bersama-sama kita ketika di bangku kuliah dulu, sudah dianggap saudara, dan kini tega menikam diri kita, salah satu orang terdekatnya, tanpa penjelasan apapun?
Tidak ada permintaan maaf, dan lebih dari sepuluh lebaran terlewati begitu saja. Tidak ada kesadaran untuk mengganti kerugian, bahkan sampai ayahku terserang stroke 7 tahun lalu dan nyaris tidak bisa bergerak seperti sekarang, Pak Z tak pernah datang!
Kami sekeluarga meradang. Tapi ayahku yang pendiam tidak melakukan apapun. Tidak ada tuntutan hukum yang akan beliau ajukan. Tidak ada tuntutan agar sahabat karibnya itu meminta maaf. Hanya satu keyakinan beliau : siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Dan beliau begitu percaya pada keadilan-Nya.
Dadaku menggelegak mengingat semuanya. Tapi memendam kesumat adalah seperti memelihara pohon kaktus yang terus tumbuh di dalam hati: durinya menyakiti diriku sendiri. Adakah manfaatnya??
Kupandangi Ri hari itu sambil berusaha menetralisir sakit hati yang tiba-tiba menjalar. Adalah hal yang wajar jika tadi mamah tiba-tiba terdiam ketika ia menyebut nama ayahnya yang telah menghancurkan perasaan kami sekeluarga. Beruntung ibuku masih bisa bersikap baik padanya saat itu. Masih berusaha menanyakan kabar nenek dan ibunya yang pernah akrab di pengajian bersamanya di masjid dekat rumah, dan bermanis-manis tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa tidak suka.
Sementara aku duduk diam mendengar, sambil berusaha menasihati jiwaku sendiri.
“Allahumma… Aku paham... Tidak semestinya dendam itu diwariskan…”.
-maybeForgiven,butNotForgotten.
ikhlashkanKami,yaAllah…
Tues, 27.11.07; 12.40 pm.
gbr dari http://www.allposters.com/-sp/Dark-Sky-Oregon-Posters_i1002815_.htm
maap ga ijin...
Diposkan oleh Indra Fathiana di 11/27/2007 4 komentar
Label: Family
Nov 22, 2007
...Waiting...
~menungguItuTidakEnak:(
gbr dari http://www.digitaldome.org/photo/waiting-for-you-1
maaf ya ga ijin..
Diposkan oleh Indra Fathiana di 11/22/2007 5 komentar
Label: Mind