Bismillah…
Oktober 2007. Pagi itu aku menemani mamah pergi ke bank syariah di bilangan Matraman. Setelah lama menunggu antrian, aku segera menemui petugas frontline-nya. Sambil mengurus ini-itu untuk mengambil sejumlah uang, si petugas tiba-tiba bertanya pada mamahku.
“Ibu E, ya?”
Mamahku yang tengah melamun, terkejut. Pasalnya ibuku tidak menunjukkan identitas apapun.
Sambil mengamati sang petugas, beliau menjawab,
“Iya… Mas siapa ya…”
“Saya Ri, anaknya Pak Z…”
Seperti adegan film yang dihentikan tiba-tiba, selama beberapa detik mamahku mematung. Aku juga terkejut, tetapi masih bisa mengendalikan diri. Aura tak enak segera memenuhi segitiga itu: aku, mamah dan mas Ri tadi.
Si Ri jadi kikuk. Untung mamah segera mengucap sepatah kata.
“Oohh… Ri ya… anak Pak Z… sudah lama disini…?”
“Lumayan, bu. Sudah 6 bulanan… Gimana kabar Bapak, Bu?”
“Bapak baik… Oh jadi Ri disini sekarang…”
Dan obrolan basa-basi pun berlanjut. Meski rumah R hanya berbeda 200an meter dari rumahku, keluargaku sama sekali tak pernah memperhatikan mereka.
Aku diam saja di tengah percakapan itu. Menunggu si Ri membereskan pekerjaannya dan memikirkan keterlambatanku tiba di tempat kerja.
Pikiranku melayang-layang ke wajah Bapak di rumah.
Lebih kurang 15-an tahun lalu ayahku bekerja sama dengan ayahnya si Ri. Mereka, yang bersahabat karib sejak masih kuliah di UII Jogja, mendirikan CV yang bergerak di bidang konsultan perencanaan pembangunan. Kebetulan Pak Z, ayah Ri, menjadi managernya dan ayahku menjadi orang lapangan.
Proyek bergulir dan ayahku berkutat dengan begitu banyak pekerjaan. Beliau yang menggambar sketsa bangunannya, memperkirakan berapa banyak baja, besi, dan bahan-bahan bangunan yang perlu dipersiapkan, dst, dst.
Aku tidak tahu persis berapa lama proyek-proyek itu berjalan, mengingat aku belum cukup dewasa untuk memahami apa yang ayahku lakukan. Aku hanya ingat bahwa dulu ayahku sering sekali bolak-balik Jakarta-Sukabumi untuk mengurusi proyek itu. Malam-malamnya habis untuk berkonsentrasi menggambar dan menggambar, menghitung angka-angka, hingga suatu ketika…
Ayahku tidak lagi mau berjabat tangan dengan Pak Z ketika mereka bertemu saat sholat berjamaah di masjid dekat rumah. Dan hampir semua jamaah bapak-bapak disana mengetahui apa yang tengah terjadi, sampai-sampai ustadz di masjid itu berkata,
“Jamaah saya yang tidak mau saling bersalaman satu sama lain adalah Pak Z dan Pak R (ayahku –red),”.
Kalian tahu apa penyebabnya?
Tidak pernah ada komisi dari proyek itu untuk ayahku, meski ayahku sudah mengerahkan seluruh energinya. Tidak ada komunikasi dari Pak Z tentang berapa besar keuntungan yang telah ia terima dan berapa banyak yang seharusnya ayahku terima, lalu semuanya terputus begitu saja. Uang hak ayahku yang tidak diberikan oleh Pak Z nilainya hampir 100 juta rupiah!
Kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh sahabat sendiri? Sahabat yang bersama-sama kita ketika di bangku kuliah dulu, sudah dianggap saudara, dan kini tega menikam diri kita, salah satu orang terdekatnya, tanpa penjelasan apapun?
Tidak ada permintaan maaf, dan lebih dari sepuluh lebaran terlewati begitu saja. Tidak ada kesadaran untuk mengganti kerugian, bahkan sampai ayahku terserang stroke 7 tahun lalu dan nyaris tidak bisa bergerak seperti sekarang, Pak Z tak pernah datang!
Kami sekeluarga meradang. Tapi ayahku yang pendiam tidak melakukan apapun. Tidak ada tuntutan hukum yang akan beliau ajukan. Tidak ada tuntutan agar sahabat karibnya itu meminta maaf. Hanya satu keyakinan beliau : siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Dan beliau begitu percaya pada keadilan-Nya.
Dadaku menggelegak mengingat semuanya. Tapi memendam kesumat adalah seperti memelihara pohon kaktus yang terus tumbuh di dalam hati: durinya menyakiti diriku sendiri. Adakah manfaatnya??
Kupandangi Ri hari itu sambil berusaha menetralisir sakit hati yang tiba-tiba menjalar. Adalah hal yang wajar jika tadi mamah tiba-tiba terdiam ketika ia menyebut nama ayahnya yang telah menghancurkan perasaan kami sekeluarga. Beruntung ibuku masih bisa bersikap baik padanya saat itu. Masih berusaha menanyakan kabar nenek dan ibunya yang pernah akrab di pengajian bersamanya di masjid dekat rumah, dan bermanis-manis tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa tidak suka.
Sementara aku duduk diam mendengar, sambil berusaha menasihati jiwaku sendiri.
“Allahumma… Aku paham... Tidak semestinya dendam itu diwariskan…”.
-maybeForgiven,butNotForgotten.
ikhlashkanKami,yaAllah…
Tues, 27.11.07; 12.40 pm.
gbr dari http://www.allposters.com/-sp/Dark-Sky-Oregon-Posters_i1002815_.htm
maap ga ijin...
4 komentar:
Alhamdulillah
Karena Rasul pun dulu dengan mudah memaafkan Abu Sufyan. Syahadatnya diterima dengan mudah tanpa banyak "birokrasi nostalgia"
Manusia bisa berubah, tenang aja
makasih ya gah...
kita ampe lupa sama bapak itu...
so sekarang udah g dendam yah? klo misal ktmu sama pak z-nya gmn?
alhamdulillah si klo g dendam,krn itu cmn melemahkan hati.
tapi kalo mau diperjuangkan haknya jg g salah, malah dpt pahala. jd ingat dulu pernah denger di pengajian radio, kalo ada orang meninggal krn memperjuangkan apa yg menjadi haknya, dia syahid (meski derajatnya tdk sama dg syahid di medan perang)..
.:memperjuangkanhaktidakharusdiiringidengandendam:.
hmm, thanks atas kisahnya. jadi kepikiran kalo bisnis tetep harus hitam di atas putih, walaupun dengan teman sendiri. mudah2an jadi pelajaran kita semua.
n mudah2an dendam itu tidak 7 turunan seperti orang Jawa..
Peace
Post a Comment