Bismillah.
Betapa meruginya Bilal.
Sudah menjadi budak, kini ia terhasut ajaran orang baru yang kata-katanya bak sihir menghujam. Tidakkah ia lihat betapa nikmatnya hidup bersama-sama para penyembah Latta, Uzza dan Manna? Sementara ucapan-ucapan “ahad”-nya tak mampu menghentikan derita, dunia telah berada di genggaman para tuan dan segalanya tunduk hanya dengan kata-kata atau perintah.
Ya. Betapa meruginya ia.
Tapi lebih merugi lagi orang yang telah menyiksanya.
Bilal bahkan lebih mulia daripada tuan-tuan bermuka bengis lagi masam, karena ia menjadi sahaya Zat Pemilik Segala. Tak ayal, batu besar yang ditindihkan di dadanya hanya bisa menjadi sasaran kemarahan yang percuma karena tak jua menemukan muaranya. Ia justru merdeka walau berada dalam penjara algojo-algojo yang bangga menjadi budak berhala-berhala yang bahkan tak bisa menggerakkan dirinya.
Tuan, yang hakikatnya adalah budak-budak hina, adakah kalian bangga menjual harga diri dengan fitrah kebenaran yang membuat Bilal tak tunduk takut apalagi menyerah?
Begitulah.
Kemerdekaan ada tatkala telinga mampu menutup dirinya dari celaan orang-orang yang suka mencela. Kebebasan datang ketika keyakinan sudah menancapkan tusuknya ke rongga dada terdalam, hingga tak lagi dapat dicabut meski dengan segenap paksa.
Apa yang lebih kuat dari rasa yakin yang mampu meluluhlantakkan keangkuhan ataupun polah orang-orang bodoh yang hanya bisa menjulurkan lidah?
Maka berangkatlah para pemberani menuju Al Aqsha tatkala jiwa-jiwa pemalas hanya berkata, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kalian berdua! Biarlah kami tetap menanti disini saja,“ (QS. Al Maidah : 24).
Apa yang lebih dahsyat dari mantapnya kepercayaan ketika ia sudah mendarah daging, pun berurat akar yang tancapnya tak lagi dapat tercerabut begitu saja?
Maka dunia pun segera mendengar kisah yang menyejarah.
Selalu ada sosok pemilik keyakinan yang kuat menghujam, yang menggerakkan langkahnya menuju pembebasan jiwa dari belenggu budak manusia ataupun ketakmampuan rasa.
Maka tercatatlah Salman muda yang menjelajah mencari kebenaran hingga bertemu Muhammad, manusia mulia. Sia-sia segenap lelah saat kesucian fitrahnya tak pernah bosan berkelana, demi menjemput kebenaran hakiki yang selama ini dicarinya.
Atau seperti juga Musa, yang menolak rasa putus asa, ketika ia tahu dirinya tengah berhadapan dengan ratusan manusia alpa yang telah diperbudak oleh nujum-sihir penuh nista.
Apa yang membuat mereka terus berjalan di atas berbagai kesukaran?
Bahkan melawan rasa ngeri yang terus membayang?
Atau keraguan yang menyelinap saat lelah sudah bertemu titik jenuhnya di sudut perasaan?
Pun ketakutan saat kilat pedang seorang kafir menawan leher Al Musthofa, dan menanyakan siapa pelindungnya, saat ia merasa menjadi penentu kematian manusia?
Hanya keyakinan Musa, yang membuat para penyihir dari berbagai penjuru negeri berdecak gemas karena tak mampu membuat ia gentar atau mundur perlahan. Karena Musa tahu, ia tengah berurusan dengan sesamanya yang tak miliki sedikitpun kekuatan. Karena Musa yakin, bahwa Allah bersamanya meski resiko kematian menjadi ancaman.
Maka berkilometer gurun tandus pun dilewati kaki-kaki Salman.
Hanya karena Salman tahu, bahwa hatinya telah pasti terpaut pada seorang shalih yang bahkan hanya ia dengar namanya dari kejauhan.
Adakah ia kurang kerjaan atau hanya mencari-cari sensasi atas nama sejatinya kebenaran?
Atau lihat saja kisah-kisah para perubah peradaban.
Apa jadinya jika Thomas Edison menyerah di percobaan ke sembilan ratus sekian?
Toh ia sudah berusaha.
Toh ia sudah pernah mencoba.
Setidaknya ia tahu bahwa ia sudah melakukan berbagai upaya.
Tapi mengapa ia tak pernah menghentikan langkahnya?
Atau juga seperti seorang Ahmadinejad, yang begitu mantap menentang dominasi Barat.
Ia punya apa?
Negara kecil, yang niscaya hancur jika berhadapan dengan arogansi senjata-senjata USA.
Kekuasaan tak seberapa, yang tak sedikit pula orang mencibirnya.
Tapi mengapa ia tak gentar untuk terus menyuarakan hak demi memajukan negaranya?
Mengapa ia tak diam saja dan mengiyakan seruan negara tetangga untuk mengalah pada sang adidaya?
Gulitanya rimba pun tak menghalangi gerak Soedirman yang menahan sakitnya di atas tandu, karena ia tahu, kemerdekaan hanya dimiliki oleh manusia-manusia yang mampu membebaskan dirinya dari gelombang malas ataupun lemah. Maka gerilyanya adalah pilihan mantap di atas keyakinan akan perjuangan yang berujung pada keniscayaan satu kemenangan.
Makanan macam apa yang membuat para pahlawan tak mau berhenti dari perjuangan yang tak jarang meninggalkan keperihan?
Hanya keberanian.
Ketangguhan.
Kegigihan yang tak kenal kata pasrah, meski ruh-ruhnya harus mengucap selamat tinggal pada raga.
Kesabaran yang tak pernah mengenal musnah, meski teriakan-teriakan berterbangan mencerca.
Apa yang orang lain tahu tentang diri kita, dan segala yang kita lakukan?
Apa yang orang lain merasa sok pintar dan merasa paling memahami segala perbuatan kita?
Apa yang orang lain ketahui tentang masa depan kita, yang sudah seharusnya ditentukan oleh diri kita sendiri, sama sekali bukan oleh mereka?
Apa yang orang lain fahami tentang sesuatu yang kita yakini kebaikan atau kebenarannya, meski dalam kacamata orang lain mungkin tak berharga?
Keyakinan.
Cuma keyakinan, kuncinya.
Maka Fir’aun pun tak pernah beristirahat dari mengganggu Musa agar ia mengikuti langkah sesatnya.
Maka Amerika takkan pernah diam sebelum mampu membungkam sosok sederhana Nejad dengan negara Irannya.
Maka segala macam cibiran, gangguan, buruk sangka, ataupun cap-cap gila mengiringi perjalanan Muhammad dalam menda’wahi umatnya.
Maka Soedirman tetap bersikeras pula memimpin pasukan, meski ia tengah merasakan sakit yang mendera.
Adakah mereka bertahan tanpa suatu alasan?
Mari temui ribuan sosok muda yang tak takut mengarahkan ketapel-ketapel kecilnya pada zionis nan durjana di tepian Jalur Gaza.
Disaat wajah-wajah kita nyaris muntah melihat darah, mereka bahkan belum genap dewasa saat harus menyandingkan ketapelnya dengan seperangkat tank atau senapan otomatis penghancur nyawa.
Seperti juga seorang Hamka yang tak merasa terkungkung ketika rezim membatasi geraknya di dalam penjara, karena di saat itulah ia justru menghasilkan mahakarya.
Ataupun Imam Samudra yang nyaris mati tersia saat pemboman demi pemboman dijustifikasi oleh ayat-ayat yang diartikan sekenanya.
Atau juga, seperti para santri berbalut peci, yang menyarangkan kapak-kapaknya ke sarang maksiat, padahal akar kemaksiatan itu tak pernah hancur bahkan terus menggurita.
Sementara tangan-tangan mereka bergerak menghancurkan fisik semata, nistanya dosa terus berkembang di lain tempat. Hampir tak efektif dan tepat sasaran saat gerak mereka dilakukan tanpa kejelasan dan nyaris kabur makna. Ramadhan datang, berbagai media memasang headline : pub-pub malam luluh-lantak di tangan-tangan mereka. Begitu Ramadhan berpulang, berdiri bangunan yang lebih megah dengan transaksi jual-beli kehormatan yang jauh lebih mengkayakan kantung-kantung para pemiliknya.
Keyakinan.
Lepas dari prinsip benar ataupun salah, ia selalu mampu menggerakkan keperkasaan yang awalnya tertutupi kelemahan.
Ia mampu melebur semua ketidakberdayaan menjadi kekuatan mahadahsyat, entah berujung pada kebaikan ataukah keburukan.
Itu dengan catatan, saat keyakinan bersanding dengan kemauan untuk melakukan pergerakan.
Tanpa itu, sia-sialah segala keimanan, idealisme, nasionalisme, atau apapun yang melatarbelakangi mindset kita tentang sesuatu yang menjadi keyakinan.
Siapa yang mampu menahan karang-karang laut berlubang saat diterjang angin yang terus-menerus datang, sementara para ilmuwan juga telah membuktikan kekuatan bayu yang mampu menggerus batu sekuat gunung menjulang?
Siapa yang dapat mematahkan, bahwa perginya sang induk burung di pagi hari berbekal keyakinan mendapatkan makan, menjelma buruan yang dijepit paruhnya saat sore datang menjelang?
Lagi-lagi gerak, yang menjadi pembeda keyakinan yang mewujud, atau keyakinan yang sekedar menjadi hiasan : indah, namun nyaris tanpa makna dan jauh dari kenyataan.
Jika, para durjana pembantai ratusan ribu nyawa yang bertebaran di Kashmir, Moro, Palestina, atau Kosova yang tak kunjung damai, begitu meyakini bahwa kebenaran berada di balik kekerdilan mereka, lalu lantas membuat janin, bayi, ibu-ibu, anak-anak, wanita dan orang-orang renta menemui ajal secepatnya, adakah keyakinan akan umat terbaik telah mampu menggerakkan kita dari stagnansi kepada tersuarakannya penderitaan? Atau lebih dari itu, kontribusi untuk membantu melepaskan mereka dari penderitaan?
Ataukah jika, para pemuja kebebasan begitu gencar dan tak tahu malu memperlombakan gambar Muhammad sang utusan, mengapa keyakinan akan ketinggian ajaran tak mampu membuat kita merasa gelisah saat ia direndah-hinakan?
Adakah keyakinan yang belum kuat terpatri, ataukah ia tiada sama sekali?
Ataukah keyakinan sudah tertancap, namun belum mampu diwujudkan dengan mantap?
Keyakinan dan gerak terbukti mengalahkan kejenuhan sebelum menerobos garis finish kemenangan.
Keyakinan mampu menggerakkan jiwa-jiwa lemah menjadi kuat, walau diluar batas akal.
Keyakinan seharusnya menghasilkan kontribusi, lepas dari prinsip salah ataupun benar.
Terus, menggerus kemalasan menjadi bulir-bulir semangat tuk berjuang.
Menyalakan tekad, mengendurkan pasrah.
Lantas berani menjadi dominasi, dan mengalahkan takut ataupun ngeri.
Lalu,
Adakah keyakinan telah merajai aktivitas kebaikan yang berpotensi muncul dari kita,
ataukah ia sekedar kisah masa lalu nan indah yang muncul dari berbagai sosok, yang menyisakan kenangan semata-mata?
Keyakinan adalah sumbu.
Maka pantik saja apinya.
Lalu pastikan ia membuat perubahan besar di sekeliling kita dengan pergerakan.
Atau ia akan tua bersama masa, ketika dirinya tak mampu bergerak menuju jaya.
Nov 1, 2006
Kekuatan Keyakinan
Diposkan oleh Indra Fathiana di 11/01/2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
8 komentar:
subhanallah... GREAT!
-omsu
gimana caranya mb utk mempertahankan keyakinan agar ttp membara?
:-)
sering leni suka ngerasa jatuh dan gk yakin..
huhuh.. parah yah :-(
Weks..bulk sending :p
to yok : ha?!?!
to leni: cari keyakinan yang bersumber dari kebenaran insya Allah ia tak akan lekang...:)
Rafi dah nikah !!!
saya yakin tulisan ini pun muncul dari keyakinan, insyaAllah
menyerahlah untuk setiap diri yang kalah
futurlah bagi jiwa yang lelah
andaikan semuanya bersepakat
untuk berhenti mengusung kemuliaan ini
maka biarkan aku di sini
bersama cinta Rabb-ku
hingga kemenangan berhasil kurengkuh
atau kesyahidan memuliakanku
andai waktu tidak mengijinkanku
untuk menikmati kemenangan yang dijanjikan-Nya
maka cukuplah kebahagiaan itu;
jiwa-jiwa baru yang terus memuja-Nya
yeahh.....
i'am back !!!!!!
Post a Comment