Nov 28, 2006

One Day in Very-Crowded-Train



Bismillah.


Kereta Jakarta-Bogor di tengah cuaca yang terik menyengat.
Panas.
Padat.
Penuh berjejalan puluhan badan di atas gerbong yang sesak.

Tubuhku terdorong ke muka dan belakang.
Hey, aku mau masuk!
Susah-payah menjejak lantai kereta yang sudah tertutup sekian banyak kaki, menggesernya agar memberi ruang dua kaki yang hilang keseimbangan.

Kereta berjalan perlahan. Dan semakin kencang saat masinis menggerakkan mesin kuda besi yang semakin tua bersama karat dan rapuh dimakan usia.

Bernafas dalam suasana penuh sesak seperti ini adalah anugerah. Itupun masih harus beradu aroma dengan tetes-tetes keringat, bau mulut ataupun sekedar megap-megap dalam ruangan minim O2.

Itu belum apa-apa.
Di tengah padatnya penumpang yang berdiri rapat-rapat, masih berseliweran pengemis ataupun para penjual apa saja.
Mulai dari yang tak bisa berjalan karena kakinya (terlihat) mengalami luka parah, anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, atau mendengar suara erangan pun rintihan dari para peminta-minta.
Itu baru yang mengemis!
Yang berjualan juga tak kalah banyak.
Dari mainan sampai perhiasan, dari minuman sampai buah-buahan,
pun pisau dapur, pistol-pistolan sampai majalah dan koran.
Adakah beda antara kereta dengan pasar murah yang menjual segala?

Aku mengeluh seketika.
Kepadatan dengan kerapatan tak kurang dari 1 cm adalah alasan yang sangat logis untuk merasa kesal saat harus dilewati berkali-kali oleh orang yang mondar-mandir.
Tidakkah mereka lihat bahwa nyaris tak ada ruang untuk badan-badan yang menerobos berjalan?
Meski tak terucap, gumpalan kesal seolah terbakar oleh gesekan demi gesekan tubuh yang dipaksakan berlintasan.
Apa yang salah dengan ini semua?
Gerbong yang tak memanusiawikan manusia? Atau haruskah menyalahkan mereka yang lebih memilih transportasi yang cukup murah-meriah?

Seorang lelaki paruh baya menggendong putrinya dalam dekapan. Kuperhatikan mereka dengan seksama, mencuri-curi pandang akan kehangatan yang dialirkan.
Begitu seorang penjual melintasi mereka, sang putri mengeluh pada ayahnya.
“Ayah…sudah sempit begini kenapa sih masih saja lewat…”
Lalu sang ayah dengan bijak balas berkata,
“Ssstt… Gak boleh begitu, Sayang. Mereka sedang mencari nafkah untuk makan…”

Aku menatap sepasang ayah dan anak tadi, kian lekat.
Berpuluh godam tiba-tiba seolah menghantam kepalaku.
Dan kereta terus saja berjalan, seolah tak mau tahu.


~soManyLessonsInTrain,honey…

holidayOnTues,291106,9:16pm.



gbr dr
sini



0 komentar: