Bismillah.
Resah jiwa adalah pertanda. Saatnya pulang dan meniti jalan kearifan. Longoklah lusuh dan kusammu dalam kekerdilan, luruhkan debu pun kotoran nan memudarkan.
Ada bias antara benar-salah saat kemanusian diperturutkan. Ada kekaburan makna saat pandang menjauh dari sang tuan. Sementara janji menguap bersama ingkar, melebur arti kejujuran saat parahmu merangkak di kolong kehinaan.
Apakah ini yang disebut sebagai arti kesetiaan?
Ikrar mengendap di ambang kesadaran, lalu terkubur bersama hijab yang tiba-tiba memasung diri, memaksanya dengan sepenuh kemauan untuk melupakan segala eja yang telah terucapkan. Dimana letak kesepadanan antara geligi yang bergemeletuk getir, dan wajah yang terkesiap saat segumpal daging menggelegak menahan gemetar?
Ribuan retina memang tiada pernah menatap.
Tetapi keterlaluhinaannya sangat layak menjadi pemenang atas tiadanya perhatian, karena begitu banyak urusan lain yang lebih pantas untuk tak diabaikan.
Dan dirimu semakin terpuruk dalam lorong tak berujung, larut bersama gelap yang tak seharusnya dilewati kerapuhan.
Andai lentera menerangi kelamnya yang semakin menghitam, niscaya sudah cukup busur-busur pertanyaan atas segala kejadian : dan persidangan dimulai.
Terlalu sempit ruang untuk mengelak, seperti pula terlalu keras landasan tempatmu berpijak, yang tak rela menelan seonggok busuk yang mengharapkan persembunyian.
Bahkan bumi mungkin memuntahkan mualnya saat trilyunan titik hitam bermunculan mencari perlindungan. Sebagaimana pula langit memecah ketika gempita guntur meneriakkan kekecewaan atas terangnya kehancuran saat sang potensi perusak mencoba mengambil peran.
Apa yang patut dibanggakan dari terjerembabnya keledai ke kubangan lumpur yang sama di saat ia baru saja belajar melihat berbagai lubang dan jebakan? Meski tak satupun mentertawakan, kungkungan pembelajaran mestinya menghentak lebih keras saat ia tak mampu mengendalikan pelana dalam kuasanya.
Alangkah nistanya ternoda dalam percik kotoran yang sama, karena bekasnya senantiasa mengendap selama belum hilang dan terhapuskan.
Lalu alas sujudmu menjadi basah dengan serta-merta.
Menjadi saksi sunyi atas kelengahan yang membusuk di atas luka menanah yang tak jua mengering karena selalu tersiram asam yang mengoyakkan.
Akan lari kemana pongah itu ketika bayang-bayang pertanggungjawaban mengejar dan terus mencari penjelasan? Tidaklah cukup menjadi hamba dalam sekian masa, untuk kemudian menjelma sosok raja yang terlalu asyik duduk di singgasana.
Saat fatamorgana terlihat istana, ketenangan yang dikecap sejatinya adalah perhitungan hari menunggu detik-detik penguburan mahkota kepalsuan.
Jikalah bisa, mungkin nyaris bosan kerlip cahaya yang setia menunggu dengan catatan di genggaman. Berulang-ulang menyimpan memori yang sama, kesalahan yang sama, khilaf ataupun alpa yang tak jua berubah hakikatnya.
Dimana letak pikiran yang menjadi kelebihan atas rancangan dengan kesempurnaan sebaik-baik penciptaan? Kemana akan digiring ribuan organ saat deklarasi telah jelas dinyatakan, kesesatan menjadi tugas para begundal hingga akhir zaman?
Belumkah harapan akan putih yang takkan memudar mewujudkan tombak-tombak permusuhan terhadap abadinya kutukan?
Maka gerakkanlah jiwamu pulang disaat titik-titik kabut menyamarkan kejernihan.
Meski dingin harus ditundukkan dengan keterpaksaan, atau kehangatan api menggoda untuk disinggahi barang sebentar, terus menapak adalah pembuktian pemahaman yang harus senantiasa menyelaras dengan kenyataan.
Sudah terlalu banyak masa membentangkan kesempatan, sementara bekal mungkin tak pernah cukup untuk mencapai puncak keridhoan.
Adakah jalan lain kan kau tempuh ketika cahaya mendesak-desak melalui celah apapun yang masih menjadi harapan?
Pulang…
Dan genggam saja bara itu meski kecamuk jiwamu berlarian dalam guncang,
Sebelum putih itu kembali meragu dalam bimbang.
-dalamGelapSaatJiwaMendesakkanPulang.
071206,00:40am.
gbrnya dari sini. thx..
Dec 7, 2006
Pulang
Diposkan oleh Indra Fathiana di 12/07/2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
8 komentar:
aduhai,
beratnya terimakasih buat mbak indra,
kala membaca yang kali ini.
semoga,
dalam pekat harapan akan cahayaNya,
akan tetap nenuntun jalan kepasrahan tanpa ujung.
dihadapanNya, adakah yang lebih berharga
ketimbang memelihara harapan saat memintal hari depan ?
semoga,
desakan jiwa saat kelam masih jadi pelukannya,
mengurai lapang dipagi yang pasti datang.
matahari itu,
masih akan selalu terbit,
dari timur,
masih dari timur....
tak pernah cukup terima kasih terhatur ketika ditujukan kepada Yang Maha Kaya lagi Tak Membutuhkan Sesuatu.
kepadaNya sajalah asa itu tertambat.
kepadaNya saja.
*sebumi-langit syukur atas pertolongan-Nya hari ini...
makin cinta deh sama Dikau, Ya Allah :)
*btw, yg suka pake anonym2an pake nama asli aja kenapah? bikin orang penasaran,euy...dan sejujurnya sy ga terlalu suka. hehe...
ayo-ayo..berani bertanggung jawab atas kalimat yang sudah diungkap ;)
dear fathy huncy buncy :D
what's wrong with u???
Do you need a favor???
Plizzz...feel free to talk it to me...
Hope 4JJI's blessings r always be with u hun....
*nih, rosa gak anonym koq, kqkqkqkq*
ah mbak indra,
apalah arti sebuah nama?
bukankah lebih penting makna dan niatnya?
tanggung jawab, tentu saja,
selalu akan ada dipundak.
don't worry...
anyway, 'makasih bener2 koq,ga basa n basi....
biar sang manyar yang tak hendak kembali ketempat dia berasal, jadi
- pulang...
dan genggam saja bara itu meski keca
muk jiwamu berlarian dalam guncang.
sebelum putih itu kembali meragu
dalam bimbang -
dalam abiz...
thanks, really
to ocha:
teu naon2 kok...baru kejedot aja :D trus diobatin sama Allah..
trus eh kejedot lagi..*kejedot kok bangga*
sebelum dijedotin bener2 sm Allah, mending aku jewer duluan nih si jiwa. biar dia bener2 "pulang".
geetto.
btw, tiba2 aku jadi sangat merindukan dirimu, cha..thx a lot ya, honey.. *big hug!*
to anonym..
eh, nama itu penting! krn nama adalah doa :)
ayo2...lain kali pake nama yah. nama pena jg gapapa deh ^_^
syukron neng,atas tausyiahnya....
-_-'
to awan:
kenapa, wan? *ga ngerti*
berat memang. tapi harus tetap dijalani, bukan?
*sokTuaBangetGua..
gpp kok neng, sekarang lg pengin sendiri aja...
fi amanillah ukhti....
Post a Comment