I've got a picture hanging on the wall
It's hard to believe you were ever that small
Now you've got bigger ideas,and greater ambitions
Higher to reach but further to fall
It used to be you needed me
But, now you've grown so tall and strong
Now you're on your own
But when the walls of your world come tumbling down
When your heart starts breaking
And there's no one around
Just look over your shoulder
Wherever you roam
Remember, you're never alone
You can love without limit
From deep in your soul
If you keep a young heart, son
You will never grow old
You can fly to the moon
As high as it seems
But you can crash to the ground
On the wings of your dreams
But you will see there will be
Times when you feel ten feet tall
Times you have it all
I can't blame you for trying
I can't stop you from loving
Can't keep you from crying
(Rick Price - You're Never Alone)
***
Baru-baru ini aja keingetan sama lagunya Rick Price di atas. Padahal dah cukup lama tau. Dan baru-baru ini juga memperhatikan liriknya.
Manis, ya?
It’s all about dad yang lagi liat-liat foto anaknya, dan tersadar bahwa sang anak sudah besar sekarang. Gak nyangka, anak yang tadinya kecil dan selalu membutuhkan dirinya itu, kini sudah beranjak dewasa, punya ide-ide dan ambisi-ambisi yang besar...
Aku jadi keingetan sama my dad. Imagine he says all the words of this song to me.
Hmm….
Yes, dad…
I’m growing up and being mature now.
Aku punya banyak sekali mimpi besar yang suatu saat, pasti, dengan seizin-Nya, akan terwujud. Aku yakin sekali akan hal itu. Aku tahu gak cukup waktumu untuk menemaniku selama ini. Gak cukup momen untuk memperhatikan, “rupanya sudah tiba waktunya bagi anak perempuanku mencari teman pendamping sisa hidup”. Setidaknya, menggantikan posisimu yang selalu melindungiku selama beberapa belas tahun lalu. Tidak cukup ada kemampuan untuk, bahkan sekedar menanyakan, ”Apa kabar harimu, Nak?”. Apalagi menanyakan aktivitas keseharianku, siapa saja teman-temanku, ada kejadian apa saja hari ini di belahan dunia lain, sudahkah aku membantu mamah mengurus rumah tangga, apa saja makanan yang sudah aku kuasai cara membuatnya, dan seterusnya. Tidak lagi dapat, setiap saat, bahkan!!, melafazkan namaku, anak perempuanmu satu-satunya. Hingga yang tersisa kini adalah memori demi memori atas masa kecil hingga remaja yang begitu indah…
Ingatkah Ayah, betapa kita setiap pekan berkunjung ke toko buku untuk mengayakan wawasan kita? Atau juga berbelanja kebutuhan sehari-hari yang setiap kepulangannya, selalu berakhir di counter es krim cone kegemaran kita? Atau juga deru-deru mesin motormu yang kerap mengantar-jemput putrimu ini ke sekolah, bahkan hingga SMA? Ketika tiap anak datang dan pulang tanpa iringan, aku dengan manisnya duduk menjadi penumpangmu, dan engkau tak pernah sedikitpun mengeluhkan lelah ataupun bosan.
Jika saja engkau tahu, Ayah...
Ingin sekali memutar waktu dan berjalan-jalan di hari-hari menyenangkan itu bersamamu. Ingin sekali kini, aku yang menemanimu berbelanja, atau aku yang mengantarkan ke tempat manapun yang engkau suka. Lihat, aku bukan lagi gadis kecilmu yang manja! Aku bahkan sudah bekerja, sudah bisa mencari uang dengan keringatku sendiri, sudah tak lagi menengadahkan tangan meminta padamu untuk membeli kaset nasyid A, B, C, album Roxette, Michael Learns To Rock, atau Oasis, band asal Inggris yang tengah naik daun ketika itu. Tidak lagi menunjukkan telapak tangan dan merengek minta dibelikan crayon warna-warni, bakso atau sate padang yang lewat di depan rumah, atau juga rumah Barbie seperti milik Nia, putri Om Husein kerabat kita. Tidak lagi, Ayah. Aku tak lagi menggantungkan diri pada siapapun kini; tidak juga pada mamah.
Tapi, Ayah...
Berkali-kali keterasingan menyergapku, seperti tak lagi memiliki sandaran kukuh yang akan menjadi tempat menentramkan hati, tentu saja selain Diri-Nya. Masih aku ingat betapa pelukan sosok kecilku padamu membuatku tak lagi takut pada mimpi seram, imajinasi makhluk halus atau orang jahat, atau juga ketakutan suatu saat engkau akan pergi selamanya. Jika saat ini ketakutanku bukanlah lagi pada hal-hal serupa, maka senyap di satu ruang hatilah yang kini mendominasi jiwa. Adalah nasihat, belas kasih, wajah letih namun lega begitu tiba di rumah sepulang bekerja, diskusi-diskusi seputar masalah negeri dan dunia luar, atau juga tanya-jawab seru seputar agama, atau apapun itu, yang kini menjadi dahaga yang tak lagi menemukan sumber mata airnya.
Niscaya lengan kukuhmu akan merangkul demi melindungiku dari setiap mara bahaya.
Niscaya kekar tubuhmu kan jadi tameng setiap ancaman datang mendekat.
Dan kan tersedia waktu tuk menanggapi celoteh-celoteh kritisku tentang berbagai fenomena, juga kan tersedia anggaran untuk membeli buku baru setiap bulannya demi tambahan koleksi perpustakaan kecil kita.
Mungkin pula, takkan kaulepas aku bepergian tanpa sepengetahuanmu, tanpa pertanyaan, ”Kemana? Dengan siapa? Adakah uang untuk ongkos perjalanan?”. (Dan pasti, manjaku akan meminta tambahan meski bekal di dompet masih berkecukupan, atau juga minta diantarkan sampai ke tujuan...).
Tapi tidak, Ayah...
Tidak lagi ada semua itu dengan keadaanmu yang semakin memayah. Gurat-gurat rentamu adalah riasan wajah yang semakin membuat usiamu tampak lebih tua dari umur sesungguhnya. Kosong tatapmu adalah pemandangan sehari-hari yang semakin membiasa. Tidak lagi ada suara, keluhan, teriakan riang... Tidak... Tidak ada. Hanya fisikmu, yang masih membujur dan meyakinkanku sungguh, bahwa engkau disini, dan memang masih ada.
Kerap, pandanganku mengabur saat melihat sosok mereka yang masih dapat bercengkerama dengan ayah-ayahnya. Jika bukan sedih yang muncul, pasti selalu timbul haru-biru yang menyergap. Iri, Ayah... Meski seorang sahabat menasehati betapa beruntungnya aku yang masih memilikimu kini -setidaknya masih bisa bertatap muka di dunia karena ayahnya sudah pergi ke alam baka- tetap saja, ada yang hilang ketika damai terpaksa pergi dari rumah. Tidak lagi ada tempat berlindung ketika jiwa lelahku berbenturan dengan nurani dan pemberontakan atas salahnya asuhan. Tidak sedikitpun terdengar pembelaan saat eksistensiku seperti mendadak lenyap dan tak lagi diharapkan. Tahukah engkau, rinduku selalu berkelebatan setiap detiknya, bahkan hanya untuk menyaksikan momen-momen tersenyummu yang kini begitu langka. Menatapmu tidur sepanjang hari tanpa bisa berbuat apa-apa, adalah sama memilukannya dengan berteduh di tempat yang tak dapat menahan deru dingin dan basahnya hujan, jua guntur yang bersahutan.
Tapi sudahlah, Ayah...
Syukurku seharusnya menjadi panglima karena toh engkau belum sampai terpisah dunia. Bahagiaku seharusnya menjadi raja karena peluk dan ciumku masih dapat menyentuh wajah dan keningmu setiap saat. Meski tak lagi dapat berkata, setidaknya masih bisa kutatap binar matamu yang menyiratkan berbagai makna. Jika dahulu engkau harus menyediakan waktu menghadapi dinamika putrimu ini, maka biarkan aku berganti memperhatikanmu, meski sekedar menyuapi. Biarkan waktu-waktuku teralokasi seperti juga dahulu engkau sediakan bagiku tanpa pamrih.
Hingga tiba masa berpisah, Ayah...
Pegang janjiku tuk berbakti padamu di setiap detik umur yang tersisa...
Wed, 24.10.07; 11:08 pm.
~ketikaDetik-detikBersamanyaTerasaBegituBerharga :'(
"...Allahumma rabban naasi adzhibil ba'sa asyfi antasy syaafii laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru saqaman. Imsahil ba'sa rabban naasi biyadikasy syifaa'u, laa aasyifa lahu illaa anta, as'alullaahal 'azhiima, rabbal ' arsyil 'azhiimi...
Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah kesukaran/penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan,tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi. Hilangkanlah penyakit itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya pada-Mu lah obat itu. Tak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain Engkau, aku mohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhannya 'arasy yang agung..."
gbr dari http://photos.ivillage.com/parenting/family/2006/06/father_daughter.html,
http://freewebs.com/mydaddymydaughter/,
maladyspoetry.com/