Jingga...
Dan langit Oktober kali ini menyemu merah. Kepak beburung menempuh cakrawala, menggoreskan siluet indah di bayang-bayang angkasa. Lemparan pandang menjauh, mereka-reka ketetapan yang telah tercatat. Betapa suram dinding-dinding pembatas : diterawang begitu pucat, apalagi ditembus, ia takkan dapat.
Serupa nuansa senja yang menyiapkan dirinya terbalut malam, waktu terus berjalan merunduk pada Sang Maha Berkehendak. Berkebalikan dengan keserbapastian itu, terbolak-baliknya sekeping jiwa jua begitu sulit tertebak. Sakitnya, gembiranya, sedih maupun merindunya, tergenggam di Jari-jemari yang kapan saja bisa mengubah jika memang Ia mau melakukannya. Dalam riang tawa gelaknya, dalam kisruh dan carut-marut sedihnya, selalu ada alasan mengapa, walau tak selalu paham rencana terbaik di balik itu semua.
Dan Oktober kali ini menyemu merah. Gurat langitnya melukis garis-garis bias, laksana mengerti ia pada nanar di puncak cemas. Ketika jawab terkata sudah, dan kalimat demi kalimat memecah kebisuannya, mutiara itu pecah. Keping-kepingnya terbelah membentur, terurai tak teratur. Dan seketika waktu seolah berhenti di titik nadir, menggapai-gapai agar kembali ia berjalan tanpa harus disertai getir.
Tapi bisakah? Bahkan setelah itu remuk-redamnya masih mencoba mengumpulkan serpih-serpih yang terserak, berharap tersusun ia meski tak lagi dapat menyempurna.
Ah...
Apa yang sebenarnya diharap dari ini semua, jika memang telah tampak sebagian pertanda bahwa hancurnya memang sudah di pelupuk mata? Jika tak pantas ia berada di singgasana, maka layaklah tanah ini menjadi pijaknya. Bukankah mantap itu jua belum tiba dan masih saja terombang-ambing dalam ragunya rasa?
Menyemu merah, Oktober di senja jiwa...
Senarai cerita yang menjelma, semoga tak memayahkan teguhmu dalam asa. Maka ridha sajalah pada segala kehendak-Nya.
~hampa...
RedSundayEvening, 15.10.07, 20:39 wib,
gbr dari www.moonblink.info/
maafkan tak ijin ya
0 komentar:
Post a Comment