Di warnet. Baru duduk beberapa menit, tiba2 datang seorang bapak. Lalu berteriak memanggil nama anaknya... "ABCDEEEEEEEEE............PULAAAAAAAAANG!!!!!" Kencang menggelegar seperti petir.
Aku terkesiap.Tersentak. Kaget. Bingung. Dan si anak 7 tahunan yang dipanggil namanya itu menghampiri ayahnya dengan takut-takut.Sampai di luar, sang ayah masih berteriak penuh marah. "BERANI LU SAMA GW YA!!!" Nyaris menempeleng sang bocah dengan tangannya.
Memori berkelebat seketika di benakku. Berputar. Mencuat-cuat. Menari dalam trauma yang tak tertahankan. Seperti cermin, kejadian itu memantul-mantul.Sama! Amarahnya. Emosinya. Luapan kemurkaannya. Arrrggghh............!
***
Masih di warnet. Beberapa puluh menit kemudian. Duduk seorang anak perempuan, 15 tahun. Putri si pemilik warnet rupanya. Dan sang ayah duduk tak jauh dari tempat duduknya, mengamati putrinya yang beranjak remaja memainkan games online. "Yahhh....gitu aja kalahh... Hehe...." ledek sang ayah, menggoda. "Iya entar dulu niiihhh..... susahh... dikit lagii..." sang putri tertawa malu.
Dan aku terpasung dalam diam lagi. Juga seperti cermin, memantul-mantul tanpa diminta sedikitpun tuk muncul kembali. Memori mengencangkan daya, amat serupa. Sayangnya, candanya, tawanya. Membesut degup-degup kerinduan yang memancar tiba-tiba. Rindu. Hanya rindu.
***
Tuhan, aku bertanya. Adakah patuh juga diharuskan terhadap salahnya asuhan??? Atas teriakan? Amarah? Ledakan emosi berlebihan? Kata-kata kasar? Umpatan? Berlindung di balik ayat-ayat penghormatan? Haruskah???
Adakah di antara kalian yang suka menonton serial Nanny 911 di Metro TV? Begitu muncul pertama kali, acara ini langsung menjadi salah satu tayangan favorit yang selalu saya usahakan untuk menontonnya. Percaya deh, untuk para calon orangtua dan bahkan yang sudah menjadi orangtua, acara ini memberikan banyak pembelajaran.
Nanny 911 di Ahad, 25 Mei lalu, menayangkan gambaran keluarga dengan tiga anak dimana sang ibu kesulitan mengurus putra-putrinya. Jika berhadapan dengan situasi sulit bersama anak-anaknya di rumah, ia selalu bergantung pada suaminya yang dianggapnya lebih bisa meng-handle polah sang anak. Tentu saja hal ini tidak sehat, karena Dad harus bekerja dan ia ingin istrinya bisa menangani masalah rumah dengan baik tanpa harus selalu bergantung padanya. Dalam video ini, digambarkan kalau sang ibu sangat tidak tahan mendengarkan rengekan anak-anaknya, lalu ia akan melakukan apapun untuk membuat mereka diam, dan justru hal itulah yang membuat anak-anaknya selalu meminta perhatian. Sebaliknya, sang ayah digambarkan sebagai sosok yang penyabar, bisa membuat anak-anaknya menuruti perintah tanpa harus kehilangan kharisma.
Satu dialog antara suami-istri itu yang saya rekam baik-baik bunyinya seperti ini… “Mengapa kamu tidak bisa mengatasinya sendirian?” tanya Dad. “Engkau lihat sendiri bahwa aku memang tidak sanggup. It’s too hard for me!” “Mengapa kamu selalu mengatakan bahwa itu berat dan berat?” “Karena memang begitulah kenyataannya, aku tidak bisa mengatasi hal ini sendirian!” “Jadi kamu berpikir bahwa jika aku menanganinya, itu tidak berat buatku???” “Ya!” “Itu juga berat untukku! Tapi mengapa kamu selalu berpikir jika aku yang menghadapinya, itu tidak berat????” “Karena kamu tidak pernah mengeluh dalam melakukannya!” “Mengapa aku tidak mengeluh, karena itu memang tugasku sebagai ayah untuk mendidik anak-anakku!” Dan si Mommy terdiam.
Pelajaran pertama yang bisa dipetik adalah, Mom belajar kalau sekali-kali emang harus tega sama anak, karena dia suka gak tahan mendengar rengekan. Akhirnya kalau anak merengek, apa yang diminta anak akan diberikan supaya dia diam. Bisa ditebak, anak akhirnya merengek setiap ia minta sesuatu, dan rengekannya itu adalah senjata supaya permintaannya dituruti oleh ibunya.
Pelajaran kedua, mari lihat kalimat terakhir dari dialog Mom and Dad yang saya tulis di atas. Ketika Mommy mengeluh tidak mampu menangani permasalahan anak-anaknya, yang Dad katakan adalah… “Aku tidak mengeluh karena itu memang tugasku sebagai ayah untuk mendidik anak-anakku!”.
What a powerful responsibility! Saya sampai terharu di depan tivi… soalnya baru kali itu mendengar kata-kata demikian dari seorang ayah. Sayangnya sama keluarga, perhatiannya, wujud tanggung jawabnya, semua seperti tercermin di satu kalimat tadi. Nanny sendiri bahkan mengatakan bahwa Dad dalam episode kali itu adalah salah satu ayah terbaik yang pernah ia temui! Wahh...
Well, serial Nanny selalu berakhir dengan bahagia. Akhirnya Mom bisa lebih tegas terhadap anak-anaknya, dan keluarga mereka hidup dengan lebih bahagia.
Satu hal yang selalu jadi insight tiap kali nonton Nanny 911 adalah, jadi orangtua itu gak mudah... Hehehe... Tapi kalau suami-istri bisa menjadi partner yang baik dan saling bantu dalam menjalani perannya, plus juga menjaga dengan sangat komunikasi yang baik di antara mereka, insya Allah semuanya bisa berjalan dengan lancar.
Sekian report saya untuk acara Nanny kali ini… Yang belum pada nonton, sok nonton yah. Berguna banget tuh buat bekal berkeluarga :)
Aku tidak mendapatkan apa-apa malam ini secara riil. Kondisi fisik justru diharapkan bisa terus fit. Walau jam tidur berkurang, agak lemas seharian, mata hitam berkantung, ongkos entah habis beberapa puluh ribu, pulsa, tenaga, semuanya... tapi alhamdulillah, terasa sekali jiwa ini memiliki energinya sendiri. Energi yang dihasilkan dari ketawakkalan atas takdir Allah: bahwasanya tugas kita hanyalah berusaha. Lalu selesai.
Tiga malam ini sujudku basah. Dan mungkin berhari-hari kedepan. Deadline! Deadline! Deadline! Bisakah? Bagaimana? Entah kekuatan apalagi yang bisa diharapkan dari ringkih dan lemahnya seluruh susunan kemanusiaanku : jasad, jiwa, dan begitu pula hati. Segala ketidakmungkinan sudah terbayang-bayang, melukis sketsa pesimisme dan kegagalan.
Dan memang tidak ada yang bisa diharapkan lagi kecuali harapan itu sendiri. Setidaknya aku masih bisa berharap, masih bisa meminta. Fakir, Ya Allah... status apalagi yang lebih hina dari hamba yang benar-benar hina?
Malam ini aku tidak mendapatkan apa-apa secara nyata. Lelah, kantuk, perasaan ingin berhenti, pasrah, menyerah... Sesekali terselip cemas, tapi segera teringat bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini jika Ia berkehendak. Uniknya, momentum dengan nuansa seperti ini aku dapatkan dalam 'proses-proses dunia', sesuatu yang mungkin menurut kacamata kebanyakan kita terlihat di permukaannya semata. Dan entahlah, belum kutemukan ada peristiwa-peristiwa serupa di tempat lainnya. Bahwa aku merasakan senyata-nyatanya jatuh dan bangun, seburuk-buruknya penghinaan dan keterhinaan, seyakin-yakinnya pada segala firman, disini, baru disini. Bahwa aku berjuang, bersusah-payah, mungkin pula berdarah-darah, agaknya menjadi kecil dalam pandangan manusia. Well, pentingkah?
Hanya saat skripsi dan saat ini, dalam kekhawatiran yang nyaris sama, dalam ketakutan yang mematikan, dan tentu saja, dalam rasa tawakkal yang teramat dalam. Tapi energi itu ada dalam proses, ada dalam pergerakan. Ada azzam yang menghentak-hentak kuat. Ada gelora yang menunggu diluapkan. Menunggu diledakkan.
Dan aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Tidak ada yang lain. Bahwasanya kemudian hasil tak seperti yang dikira, adalah hak prerogatif Sang Maha Berkehendak atas segala kemauan-Nya. Tidak ada sedikitpun ikhtiar yang sia-sia.
Ya. Malam ini aku tidak mendapatkan apa-apa secara nyata. Tapi kuatku semakin memperoleh ruhnya, karena menjalani proses adalah tugas utama yang cukup dilakukan saja. Apapun tebusannya.
note: Dear Fit: seperti kata2mu, "cukuplah Allah, Rasul dan para mujahid yang menyaksikan perjuanganmu, In!" Terima kasih atas segala kesertaan penuhmu dalam jihad kita. Takkan bosan kupintakan kekuatan, kemudahan dan kemenangan dari-Nya..
Desember 2007, hingga Agustus 2008. Perjalanan waktu di bulan demi bulan ternyata belum mampu mengusir hangat airmata yang selalu mengucur begitu ingatan ini melayang pada sosoknya. Senyumnya, tawa renyahnya, nasihatnya, juga kasih serta amarahnya. Keriput kulit yang membalut tubuh ringkihnya, juga usapan lembut di saat-saat manja ini meminta belaian sayang, tak kan sekalipun dapat terulang. Begitu kuat kenangan ini menorehkan jejak memorinya di dalam kalbu, membuatnya perih setiap kali kognisi merajut-rajut.
Masih terngiang lamat-lamat lafaz lirihnya mengucap ayat dan tasbih dalam shalat dan dzikir-dzikirnya. Masih terdengar jelas bagaimana ia memaparkan ide meski tak seluruhnya dapat terpahami dengan baik. Masih pula tergambar bagaimana ia terbahak, terpingkal dan tertawa bahagia, meski tubuhnya tak lagi dapat berfungsi sempurna.
Sedang apakah ia, wahai Tuhan? Masih terang-kah kuburnya sebagaimana aku kerap meminta? Masih nyaman-kah ia berteman sepi dan gelimang tanah yang kini menjadi persinggahannya? Masih dapatkah ia merasakan apa yang kami rasakan di dunia?
Sesak dada ini terus meraung menahan rindu-dendam yang tak pernah terpuaskan. Gumpalan airmata tak henti-henti mengalir saat perasaan tak lagi dapat disembunyikan. Rinduku, ya Tuhan… akankah Kau tebus dengan sebuah perjumpaan? Di hari ketika hubungan darah tak lagi menjadi jaminan, pada masa dimana setiap jiwa melontarkan pertanggungjawaban, sudikah kiranya Engkau pertemukan kami yang telah tercerai? Masihkah surga, serta taman-taman hijau yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, menanti tuk menjadi tempat bersua yang akan melebur segala kehilangan?
Sekian banyak doa sudah terlantun meski tak pasti kutahu ia sampai… Bagaimana aku bisa membuat jaminan, sementara kadar sholihku tak pernah terukur dalam logika matematika dan hitung-hitungan biasa? Bagaimana aku bisa yakin, bahwa sekian banyak kebaikan pasti mendapat balasan, sementara keburukanku juga tak kalah membumbung berlomba mengalahkan?
Maka jadikan aku sholihah, wahai Ar Rahman… Agar tenang jiwa lusuhku di saat menghadap-Mu, dan lebih dari itu, ada yang berhak menikmati doa-doa sebagai jariyah yang tak kan pernah habis kapanpun jua. Jika tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk membalas segala jerih-payahnya semasa hidup, seluruh peluh keringatnya, pengorbanannya, tangis, juga kerja keras serta keteladanan yang ia wariskan, dengan cara bagaimana aku menebus itu semua agar menjadi ganjarannya yang setimpal?
Doaku, yaa Ghaffar… kumohon dengarkan… Untuk terang kubur yang kini menjadi kediaman… Untuk ampunan atas dosa dan kesalahan yang pernah ia lakukan… Untuk penerimaan atas kebaikan yang pernah ia kerjakan… Untuk rahmat dan kasih sayang-Mu agar menyelamatkan… Juga untuk keridhoan-Mu agar berkumpul lagi kami di hari kemudian… Aamiiin.
Ku hulur doa buatmu Abadilah di sana Sejarahmu yang gemilang Bersamaku
~Papa, cinta ini selalu untukmu :’( Monday, 030808; 10:19 pm.
Ini kisah tentang perjuangan yang tak biasa. Atas nama keyakinan, untuk sebuah tujuan.
Tetapi kepala saya menggeleng kuat-kuat. Kok bisa ya?
Ketika saya bertanya kepada seorang senior pria di kampus 2 tahun lalu mengenai
‘mengapa pria senang menggoda wanita’, jawabnya adalah ‘salah satunya tak lebih dari memenuhi rasa penasaran saja. Jika ia sudah mendapatkan wanita itu (entah menjadi pacar atau istri), maka ya sudah. Rasa penasaran itu tertebus dan disitulah para
pria menikmati proses petualangannya yang menantang’.
Mendengar jawaban itu, saya hanya manggut-manggut.
Begitu ya…
Tapi kebingungan saya tidak berhenti sampai disitu. Lagi-lagi saya dibuat tak habis pikir dengan polah calon suami rekan saya. Begini ceritanya.
Suatu waktu mereka berkenalan via internet dalam rangka saling bertukar informasi mengenai suasana kerja di suatu perusahaan di timur Indonesia. Rekan saya berada di Jakarta, sementara pria itu sedang bekerja di Papua.
Beberapa lama kemudian, si pria memberitahu bahwa ia sedang di Jakarta. Bertemulah mereka untuk sekedar bersilaturrahim, tidak hanya berduaan, tetapi juga dengan rekan lainnya. Dua bulan kemudian, si wanita rekan saya menerima teleponnya.
“Saya ingin meminangmu,” ujar si lelaki tanpa bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Bagai tersambar petir, lunglailah si wanita rekan saya ini. (sekedar informasi, menerima berita bahwa akan ada pria yang meminang, apalagi disampaikan secara langsung, adalah salah satu hal yang bikin para wanita jantungan. Yaa.. setidaknya buat saya dan teman saya inilah…).
“Mengapa saya? Mengapa tidak yang lain?” ini pertanyaan refleks yang biasanya dilontarkan wanita yang tidak menyangka bakal ‘ditembak’.
Dan si pria tidak banyak memberikan jawaban selain satu kalimat itu: insya Allah saya yakin dengan dirimu.
Hebohlah teman saya ini. Pasalnya ia tidak menyangka sama sekali akan mendengar berita itu dari mulut si pria yang bersangkutan. Ketika ia curhat ke saya, jawaban saya cuma satu : beristikharahlah.
Ya habis apalagi yang lain?
Usai beristikharah dan akhirnya memutuskan untuk memulai proses tanpa pacaran,
teman saya mulai mencari-cari informasi tentang pria ini dari rekan-rekannya. Termasuk juga menimbang-nimbang bagaimana kemungkinan-kemungkinan berkeluarga jarak jauh karena lokasi kerja sang pria terletak di ujung timur Indonesiasana.
Proses berlanjut begitu saja. Dan si perempuan mulai bercerita dan meminta masukan dari kakak-kakaknya yang sudah berpengalaman. Singkatnya, para kakak ingin agar sang pria menemui mereka.
Kisah dramatis itu dimulai disini.
Ceritanya, si pria mengambil cuti beberapa lama dari Papua sana untuk menemui kakak-kakak teman saya. Meluncurlah pria itu ke Jakarta, lalu mencari-cari alamat kakak teman saya di kota Depok yang sama sekalibelum pernah ia jamah! Setelah berlelah-lelah di perjalanan, ia menyampaikan maksudnya kepada kakak sang perempuan, sambil terbata-bata. Kerongkongannya tercekat, seraya diaturnya nafas baik-baik agar sedikit tenang,
“Insya Allah saya berniat menikah dengan si A. Saya juga sadar jika memang ikhtiar saya tidak berhasil nanti….”.
Pria itu terdiam sejenak. Dan tak lama bibirnya bergerak lagi.
“Insya Allah saya ikhlas …” ujarnya sambil bergetar dan hampir menangis.
Ya. Papua-Jakarta bukanlah jarak yang dekat. Apalagi tidak ada jalan selain harus naik pesawat kesini. Bisa perhitungkan berapa ongkos yang harus ia bayar?
Di samping itu, ia harus mencari alamat rumah kakak si perempuan di daerah antah-berantah yang belum pernah sama sekali ia datangi. Sudah begitu juga, ia masih harus berpasrah seandainya Allah tidak menghendaki ia berjodoh dengan wanita yang menjadi pujaan hatinya!
Berkali-kali saya dan rekan saya itu berdiskusi tentang hal ini. Mengapa ada lelaki segigih itu, memperjuangkan sesuatu yang ia sendiri tak tahu bagaimana hasil akhirnya?? Mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga, uang, hanya untukberusaha merealisasikan keyakinan yang… ah, benar-benar tak habis pikir kami berdua.
Yang jelas kegigihan sang pria terus berlanjut.
Perlu lebih dari 1 kali untuk bolak-balik Papua-Jakarta mengurus urusan ini. Untuk menemui orangtua si gadis, ia meminta bantuan kepada ustadznya yang pernah membimbing ilmu keislaman selama ia di Jakarta. Entah malang atau memang demikianlah jalannya, rumah sang ustadz begitu jauh dari tengah kotaJakarta. Begitu tiba di Jakarta (dari Papua), pagi itu ia bergegas mencari rumah sang ustadz, lalumenempuh perjalanan beberapa jam menuju rumah si wanita. Bisa dipastikan, sampai di rumah teman saya itu, penampilannya sudah berkurang rapinya, dan yang tampak adalah wajah kelelahan dengan baluran keringat.
Well…saya masih saja tidak mengerti.
Begitulah. Singkat cerita, proses ini berlanjut sampai akhirnya rekan saya dipinang oleh sang pria. Keluarga besar sang pria dari Palembang jauh-jauh datang ke Jakarta dan prosesi khitbah itu saya rasakan begitu menggetarkan. Buat saya saja yang hanya mendengar kisahnya menjadi begitu terharu, apalagi bagi sang pria yang sudah berikhtiar sedemikian susah.
Bayangkan, saudara-saudara!
Bagaimana jika usahanya yang berdarah-darah itu ternyata berujung pada
kegagalan?
Kembali ke soal tantangan yang katanya disukai oleh para pria, apakah semua terhenti sampai disana? Maksud saya, jika goal sudah dicapai, apalagi yang sebenarnya para pria cari? Sekedar pemuasan batiniah semata, atau ada hal lainnya? Kalau begitu, jangan-jangan kita harus mewaspadai bahwa polah para pria yang gigih memperjuangkan keinginan mempersunting wanita idaman hanyalah sebagian dari ego ambisinya dalam menaklukkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biar saja para wanita jual mahal dan membiarkan para pria berproses menikmati perjuangan merebut hati-hati mereka. Toh jika berhasilpun, itu hanya sekedar capaian pribadi yang memuaskan dirinya saja, bukan?
Hehe. Tulisan saya provokatif tidak ya?
Ini bukan masalah gender, lho. Jujur saya cuma sedang penasaran mengapa seorang pria, seperti calon suami rekan saya itu, bisa sedemikian gigih memperjuangkan wanita, dengan hanya berbekal sepotong keyakinan. See, keyakinan saja. Sesederhana itu, kata teman saya di Bandungsana.
Ini postingan kedua saya tentang Jogja. Wellhh... sodara-sodara, ternyata saya tidak jadi jalan-jalan ke Borobudur atau Parangtritis, dan mencicipi panganan khas yang dipesankan oleh rekan saya kemarin. Waktu saya yang hanya 3 hari disana rasanya memang tidak cukup untuk melakukan semua itu. Akhirnya saya hanya mampir ke pasar Beringharjo membeli beberapa batik yang semakin marak dipakai itu. Lumayanlah, nambah koleksi rok lebar untuk saya pakai sehari-hari.
Apalagi ya yang mau diceritakan? Umh.. nothing's special. Yang jelas alhamdulillah saya berjumpa seorang bapak dari Kalimantan yang masih sepupuan dengan rekan kerja saya, dan dengan beliau perbincangan bisnis antara kami mulai terbuka. Walau belum deal, insya Allah transaksi akan segera berjalan. Jadi harap-harap cemas nih. Kalau dengan sesama manusia saja cemasnya seperti ini, bagaimana bertransaksi dengan Tuhan ya? Padahal sudah pasti keuntungannya jauh lebih besar... Wahhh... jadi ngelantur!
Saya sudah speechles, kehabisan bahan cerita tentang Jogja :D Yo wis, lain kali aja disambung lagi ya :D
bismillah... Malam ini saya sedang berada di Jogja, kota yang ramah sekali.Berhubung kantor menugaskan saya dan seorang rekan untuk mengurus proyek disini, maka saya pun melanconglah, sekaligus juga berjalan-jalan tentunya. Lumayan, sejenak lepas dari penatnya kota Jakarta.Beberapa bulan lalu saya juga mampir ke kota ini, untuk pertama kalinya. Rekan-rekan peneliti yang waktu itu menjadi partner saya, terbelalak begitu mendengar saya baru menginjakkan kaki di Jogja kali itu. Segitu tertinggalnya saya ya? Duh... -_-'
Kesan yang timbul pertama kali ketika bertandang kesini adalah... ternyata Jogja itu lumayan padat ya. Sepeda motor berseliweran dimana-mana. Barangkali karena motor merupakan kendaraan yang luwes dan relatif terjangkau harganya, jadilah banyak yang memakai. Buat saya yang sudah puyeng menghadapi keruwetan lalu lintas di Jakarta, suasana ini menjadi tidak cukup nyaman. Ngomong-ngomong, iseng-iseng saya perhatikan di jalan-jalan rayanya, jarang-jarang lho yang memakai motor bebek Honda yang logonya besar dan jelas (ada kan motor Honda yang tulisannya HONDA gituh?!). Yang lebih banyak malah motor Honda dengan logo yang samar, seperti Honda supra-x. Seketika pikiran iseng saya muncul. Apakah ada kaitannya dengan karakter orang Jogja yang tawadhu dan tidak suka menonjolkan diri? Hehe... Bagus juga tuh kalau jadi tema penelitian. Judulnya, "Hubungan antara karakter pemalu masyarakat Jogja dengan pemilihan kendaraan bermotor dengan logo yang jelas atau samar". Hasilnya bisa menjadi masukan bagi para produsen motor dalam mendesain atau memasarkan produknya di Jogja *dasar otak bisnis*. Hehehe... ;)
Ohya, selain suasana yang ramai dan padat, ada satu hal yang cukup berkesan buat saya selama di Jogja, yaitu soal keramahan penduduknya. Ketika dulu saya pertama kali datang untuk meneliti di beberapa sekolah, tanggapannya sangat terbuka. Orang Jogja juga tak segan tersenyum dan menyapa orang lain yang tak dikenal. Begitu berbeda dengan cerita dosen saya yang pernah berlibur ke Paris. Ujar beliau, di Paris, atau di negeri-negeri Eropa, jangan harap kalau misalnya kita sedang kesusahan di jalan umum, akan ada yang serta-merta langsung membantu kita. Itu bukan karena mereka tidak mau menolong sih, tetapi lebih karena khawatir mencampuri. Jadi, mereka baru akan merespon jika memang dimintai bantuan. Lain dengan Jogja yang saya amati. Penduduknya sangat ramah dan altruis (suka menolong). Mereka memiliki perasaan yang halus dan peka, serta peduli terhadap orang lain. Wah, mendengar cerita itu, saya jadi bangga sendiri deh.
Di kedatangan kedua ini, dari bandara Adi Sutjipto, saya menuju hotel Puri Artha yang terletak di Jalan Cendrawasih. Meski terlihat tidak terlalu besar dari luarnya, ternyata begitu masuk ke dalam, tempatnya lumayan besar. Ada resto dan cafe, kolam renang, fasilitas spa, dan yang unik, ada nyanyian gending jawa secara live di ruang dekat lobby-nya. Para karyawannya juga ramah dan sangat melayani. So, kalau ada yang mau ke Jogja, coba aja menginap disini. Dengan biaya Rp. 350.000,-/malam, kita bisa dapat fasilitas yang cukup nyaman *promosi* :D
Malam pertama kami tiba di Jogja, saya segera teringat makanan iga bakar di jalan Gejayan. Dulu ketika pertama kali ke sini, saya sudah sempat ke kafe-nya. Tetapi sayang sekali menu iga bakar sedang habis. Berhubung rekan saya agak malas mencari tempat itu, akhirnya kami makan di warung tenda saja. Menunya ketika itu adalah soto daging sapi bakar. Saya pikir, mungkin mirip-mirip kali ya seperti sup iga (karena saya lagi 'ngidam' sup iga). Tapi ternyata beda, sodara-sodara. Ya iyalah, yang satu judulnya 'sup', yang satu lagi 'soto' :D. Rasa soto daging sapi bakar ini sebenarnya sama saja dengan soto-soto daging yang lain, hanya saja, daging sapinya dibakar terlebih dahulu. Yang agak mengecewakan, kuahnya ternyata jauh lebih banyak daripada dagingnya. Dengan kata lain, soto itu kurang berisi. Selain itu, sate kambing yang kami pesan juga terasa alot (keras). Tapi berhubung sudah seharian perut saya belum terisi makanan, soto dan sate itu tetap saja saya syukuri. Namanya juga orang kelaparan, makanan apapun pasti terasa enak. Intinya malam itu saya tidur dengan perut kenyanggg... Alhamdulillah...
Begitulah hari pertama saya di Jogja kali ini. insya Allah disambung lagi kapan-kapan.Sampai jumpa di cerita-cerita tentang Jogja berikutnya, ya :)
nb: besok rencananya saya mau main ke borobudur dan pantai parangtritis. dan tadi saya baru aja chat dengan seorang teman. katanya, sy harus mencoba gudeg pawon, kopi di angkringan tugu, serta mie Mbah Mo di daerah Bantul. Hmm... jadi penasaran deh ;)