Aug 12, 2008

Pejantan Tangguh?!

Bismillah…



Ini kisah tentang perjuangan yang tak biasa. Atas nama keyakinan, untuk sebuah tujuan.

Tetapi kepala saya menggeleng kuat-kuat. Kok bisa ya?


Ketika saya bertanya kepada seorang senior pria di kampus 2 tahun lalu mengenai

‘mengapa pria senang menggoda wanita’, jawabnya adalah ‘salah satunya tak lebih dari memenuhi rasa penasaran saja. Jika ia sudah mendapatkan wanita itu (entah menjadi pacar atau istri), maka ya sudah. Rasa penasaran itu tertebus dan disitulah para

pria menikmati proses petualangannya yang menantang’.

Mendengar jawaban itu, saya hanya manggut-manggut.

Begitu ya…


Tapi kebingungan saya tidak berhenti sampai disitu. Lagi-lagi saya dibuat tak habis pikir dengan polah calon suami rekan saya. Begini ceritanya.


Suatu waktu mereka berkenalan via internet dalam rangka saling bertukar informasi mengenai suasana kerja di suatu perusahaan di timur Indonesia. Rekan saya berada di Jakarta, sementara pria itu sedang bekerja di Papua.

Beberapa lama kemudian, si pria memberitahu bahwa ia sedang di Jakarta. Bertemulah mereka untuk sekedar bersilaturrahim, tidak hanya berduaan, tetapi juga dengan rekan lainnya. Dua bulan kemudian, si wanita rekan saya menerima teleponnya.


“Saya ingin meminangmu,” ujar si lelaki tanpa bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

Bagai tersambar petir, lunglailah si wanita rekan saya ini. (sekedar informasi, menerima berita bahwa akan ada pria yang meminang, apalagi disampaikan secara langsung, adalah salah satu hal yang bikin para wanita jantungan. Yaa.. setidaknya buat saya dan teman saya inilah…).


“Mengapa saya? Mengapa tidak yang lain?” ini pertanyaan refleks yang biasanya dilontarkan wanita yang tidak menyangka bakal ‘ditembak’.

Dan si pria tidak banyak memberikan jawaban selain satu kalimat itu: insya Allah saya yakin dengan dirimu.

Hebohlah teman saya ini. Pasalnya ia tidak menyangka sama sekali akan mendengar berita itu dari mulut si pria yang bersangkutan. Ketika ia curhat ke saya, jawaban saya cuma satu : beristikharahlah.

Ya habis apalagi yang lain?


Usai beristikharah dan akhirnya memutuskan untuk memulai proses tanpa pacaran,

teman saya mulai mencari-cari informasi tentang pria ini dari rekan-rekannya. Termasuk juga menimbang-nimbang bagaimana kemungkinan-kemungkinan berkeluarga jarak jauh karena lokasi kerja sang pria terletak di ujung timur Indonesia sana.

Proses berlanjut begitu saja. Dan si perempuan mulai bercerita dan meminta masukan dari kakak-kakaknya yang sudah berpengalaman. Singkatnya, para kakak ingin agar sang pria menemui mereka.


Kisah dramatis itu dimulai disini.

Ceritanya, si pria mengambil cuti beberapa lama dari Papua sana untuk menemui kakak-kakak teman saya. Meluncurlah pria itu ke Jakarta, lalu mencari-cari alamat kakak teman saya di kota Depok yang sama sekali belum pernah ia jamah! Setelah berlelah-lelah di perjalanan, ia menyampaikan maksudnya kepada kakak sang perempuan, sambil terbata-bata. Kerongkongannya tercekat, seraya diaturnya nafas baik-baik agar sedikit tenang,


“Insya Allah saya berniat menikah dengan si A. Saya juga sadar jika memang ikhtiar saya tidak berhasil nanti….”.

Pria itu terdiam sejenak. Dan tak lama bibirnya bergerak lagi.

“Insya Allah saya ikhlas …” ujarnya sambil bergetar dan hampir menangis.


Ya. Papua-Jakarta bukanlah jarak yang dekat. Apalagi tidak ada jalan selain harus naik pesawat kesini. Bisa perhitungkan berapa ongkos yang harus ia bayar?

Di samping itu, ia harus mencari alamat rumah kakak si perempuan di daerah antah-berantah yang belum pernah sama sekali ia datangi. Sudah begitu juga, ia masih harus berpasrah seandainya Allah tidak menghendaki ia berjodoh dengan wanita yang menjadi pujaan hatinya!


Berkali-kali saya dan rekan saya itu berdiskusi tentang hal ini. Mengapa ada lelaki segigih itu, memperjuangkan sesuatu yang ia sendiri tak tahu bagaimana hasil akhirnya?? Mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga, uang, hanya untuk berusaha merealisasikan keyakinan yang… ah, benar-benar tak habis pikir kami berdua.


Yang jelas kegigihan sang pria terus berlanjut.

Perlu lebih dari 1 kali untuk bolak-balik Papua-Jakarta mengurus urusan ini. Untuk menemui orangtua si gadis, ia meminta bantuan kepada ustadznya yang pernah membimbing ilmu keislaman selama ia di Jakarta. Entah malang atau memang demikianlah jalannya, rumah sang ustadz begitu jauh dari tengah kota Jakarta. Begitu tiba di Jakarta (dari Papua), pagi itu ia bergegas mencari rumah sang ustadz, lalu menempuh perjalanan beberapa jam menuju rumah si wanita. Bisa dipastikan, sampai di rumah teman saya itu, penampilannya sudah berkurang rapinya, dan yang tampak adalah wajah kelelahan dengan baluran keringat.

Well…saya masih saja tidak mengerti.


Begitulah. Singkat cerita, proses ini berlanjut sampai akhirnya rekan saya dipinang oleh sang pria. Keluarga besar sang pria dari Palembang jauh-jauh datang ke Jakarta dan prosesi khitbah itu saya rasakan begitu menggetarkan. Buat saya saja yang hanya mendengar kisahnya menjadi begitu terharu, apalagi bagi sang pria yang sudah berikhtiar sedemikian susah.


Bayangkan, saudara-saudara!

Bagaimana jika usahanya yang berdarah-darah itu ternyata berujung pada

kegagalan?



Kembali ke soal tantangan yang katanya disukai oleh para pria, apakah semua terhenti sampai disana? Maksud saya, jika goal sudah dicapai, apalagi yang sebenarnya para pria cari? Sekedar pemuasan batiniah semata, atau ada hal lainnya? Kalau begitu, jangan-jangan kita harus mewaspadai bahwa polah para pria yang gigih memperjuangkan keinginan mempersunting wanita idaman hanyalah sebagian dari ego ambisinya dalam menaklukkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biar saja para wanita jual mahal dan membiarkan para pria berproses menikmati perjuangan merebut hati-hati mereka. Toh jika berhasilpun, itu hanya sekedar capaian pribadi yang memuaskan dirinya saja, bukan?


Hehe. Tulisan saya provokatif tidak ya?

Ini bukan masalah gender, lho. Jujur saya cuma sedang penasaran mengapa seorang pria, seperti calon suami rekan saya itu, bisa sedemikian gigih memperjuangkan wanita, dengan hanya berbekal sepotong keyakinan. See, keyakinan saja. Sesederhana itu, kata teman saya di Bandung sana.

So, gimana nih, para pria? Ada tanggapan? ;)



-bingungYangTakBerujung;p

Monday, August 11, 2008. 2:38pm.



pic from http://www.myflowerclipart.com/illustration/15/man_giving_flower_to_girlfriend_or_boyfriend

gossippolice.com/donations.htm


8 komentar:

Anonymous said...

hohoho..
lebaaii...

perasaan dulu ngga segitunya deh :)

Dewi said...

Maybe, he's just simply be...

"Men honor is on his word"

Indra Fathiana said...

wah...komen langsung berdatangan! hehe..
#fathiii : yaa..mana saya tau isi hati lelaki. ada bagusnya sy belajar ttg psikologi pria dari kalian sendiri, bukan? ;P

#mba dew: semua tuh kaya gitu? ada beberapa case yang teppu jg, mba.
ck ck ck... pria...pria.. ;P

Anonymous said...

yah.. kl tepu.. yang rugi toh die bukan?

Anonymous said...

bismillaah...

kalo menurut saya sih, biasanya pria itu kecenderungannya 'ya' atau 'tidak', jika di tengah2 itu (maaf) berarti pria tersebut belum patut disebut sebagai pria, karena "satunya kata dan perbuatan" itu penting mbak bagi pria yang diberi tanggung jawab memimpin keluarga nantinya (jika dianalogikan dengan kasus di atas lho ya) :)... Pertanyaannya, apa mau para kaum hawa menerima pemimpin yg 'plin-plan'?? Naah, kalo masalah 'gagal' sepertinya agak kurang berkaitan dengan 'kegigihan'. Bagaimanapun jg hasil itu kan mutlak hak prerogatifNya. Bahkan jika kita sedikit berpikir ekstrim, mana pantas segala apa yg kita alami selama hidup ini disebut sebagai 'kegagalan' jika hal itu sudah menjadi ketentuanNya. Kembali lg ke persoalan 'kegigihan', sekali lagi menurut saya, rasanya memang benar jika dihubungkan dengan 'keyakinan'. Jika kita meyakini sesuatu, maka lakukanlah, jika tidak, maka kita tidak akan pernah tahu ada apa (ilmu) dibalik keyakinan itu. So, sepertinya ga ada alasan untuk 'ya sudah' selama kita msh di alam dunia ini. Satu langkah untuk langkah lainnya. Ya kalo berikhtiar untuk berumah tangga tujuannya hanya untuk 'ya sudah', ngapain atuh... lagipula ga mungkin lah, manusia terlalu naif untuk mengingkari sendiri cita2 ke depannya, walaupun hanya sekadar ingin hidup 'bahagia'.

(hehe... semoga nyambung :D)

Anonymous said...

kalo tujuanny cuma "Sekedar pemuasan batiniah semata" atau "ego ambisinya dalam menaklukkan sesuatu",
saya rasa keluarga yang terbentuk tidak akan bahagia mbak.

jadi tujuan utamany sangat lebih jauh dari itu mbak...

Anonymous said...

hey itu aku!!!

Anonymous said...

saya mau tangapi soal kegigihan : mungkin cerita ini bagus tapi