Apr 21, 2005

Parade Jiwa-jiwa


Sudut perkantoran di bilangan pusat Jakarta, 10.00 wib.
Sesosok gagah menenteng handphone model terbaru di tangan kanannya dan laptop di tangan kirinya. Klimis, berdasi dan berjas rapi parlente dengan kepala sedikit terangkat. Sesekali menjawab suara dari hp-nya yang tak henti berdering. Mencoba mentafakkuri segala aktivitas yang disebutnya sebagai ‘the executive life-style’. Menghabiskan waktu dari satu kafe ke kafe lainnya di tengah gemerlap malam, mencoba memborjukan diri dalam gelimang kehidupan yang tak lepas dari modernitas yang sedikit bablas.

Jalan Raya Kuningan , 12.00 wib.

Kaki kecil gesit berlari menghampiri deretan kendaraan yang berhenti kala lampu merah menyala. Bibirnya mencoba melantunkan sepenggal nada tak beraturan yang dianggapnya nyanyian. Menggoyang-goyangkan kecrekan yang sejak tadi berada dalam genggaman, mengiringi suara sumbang yang lebih mirip rintihan kelaparan. Mengetuk-ketuk setiap kaca taksi, BMW, Altis, Peugeot dan beragam pameran kemewahan yang digelar gratis di jalan-jalan, berharap akan terbuka dan terulur sekeping-dua keping logam recehan.
Kembali ia ke pinggir trotoar di bawah jembatan hitam, mendekati sosok tua ringkih yang sama lusuhnya. Menyerahkan segenggam rupiah dengan wajah pias harap-harap cemas. Dan segera diterimanya caci-maki, sumpah-serapah yang tidak semestinya. Telah menguap nurani bunda yang dulu melahirkan dan kini membesarkannya dalam keras hidup yang damainya tak lagi berpihak. Telah menghilang kasih sayang yang seharusnya melimpah ruah saat usianya menginjak kanak seperti sekarang. Dan tangan berbungkus kulit keriput itu membentur permukaan halus yang dengan seketika dibanjiri air mata. Perih. Sakit. Nyaris tak percaya sang bocah menatap perempuan yang kini tak beda dengan ibu tiri yang sering ia dengar dari kisah klasik jaman dahulu kala.

Pelataran depan Gedung DPR-MPR RI, 14.49 wib.
Hilir mudik ratusan biru, merah, kuning, hijau dan abu-abu almamater berjalan di bawah sengat surya yang garang. Tetes-tetes keringat tak dihiraukan kala teriakan penuh semangat dilepaskan. “Perjuangkan nurani! Perjuangkan kebenaran!”. Menggapai idealisme yang tampak terlalu melangit dan tak mudah dibumikan.
Satu-satu bergilir di podium menajamkan hakikat perjuangan. Menggedor paksa batu-batu bertajuk hati yang kerasnya tak ubah cadas. “Apa gunanya?” tanya mereka yang tak jua paham. “Toh orang-orang di atas sana tak mau dengar,”. Peduli apa. Kami hanya berusaha ketimbang diam tak berdinamika.
Melompat-lompat semangat, berteriak-teriak menentang kezhaliman. Membakar emosi agar membumi ke dasarnya, mencoba resapi arti ketertindasan dan keteraniayaan yang menjadi makanan beratus juta jiwa Indonesia. Pahami hakikat empati dengan sebenar-benar maknanya.
“Ganyang korupsi! Hancurkan arogansi!”
Bara mentari kian didihkan darah yang terus bergejolak. Legam wajah tak dihiraukan, lelah tubuh telah direlakan. Reformasi nyaris mati dan karam kini. Dan jiwa-jiwa pengusungnya tak rela pertiwi terpuruk lagi.

Perbatasan Gaza, 23.59 waktu setempat.

Bayang seseorang tampak tunduk terpekur dalam keheningan malam. Mencoba mencari dan menyusun kekuatan pada sumber Yang Teramat Kuat, mencoba mengais iba pada Zat Tunggal Yang Maha Perkasa. Tersengguk disekanya tetes-tetes yang menggenang dipelupuk kedua mata. Bukan! Bukan tangis kedukaan! Tetapi keterharuan yang memuncak dalam impian akan perjumpaan dengan wajah Kekasih yang dirindukan. Pun pada wangi kesturi kenikmatan jannah Sang Raja Yang Maha Menundukkan.
Diucapkannya basmalah, dan ditanggalkannya berlapis-lapis riya’ yang mungkin masih terpasung di alam bawah sadarnya. Bangkit ia bergegas menyambut seruan Tuhan, dan menggumam perlahan, “Ini untuk ayah-bundaku, adik-kakak-ku, teman-teman seperjuanganku, untuk Al Aqsho, untuk Palestina, untuk Al Islam!”. Mengeras rahangnya menahan degup dendam suci atas tercabiknya tanah kehormatan. Berkilat mata elangnya menyiratkan tekad penuh kesungguhan dan keberanian tak kenal gentar.
Mengendap. Berkelibat di bawah bayang-bayang purnama yang tersaput awan.
Begitu mudah memasuki perbatasan yang dijaga ketat budak-budak hina, sosok-sosok kera berwujud manusia.
Aman sudah. Dan…, “Dduuaaaarrrrrr!!!!!”. Keping-keping usus terburai, cairan tubuh berlelehan, merah darah memuncrat, daging-daging menjadi potongan kecil serupa cincangan.
Jasad itu musnah sudah. Namun ruhnya melayang mengangkasa, djemput cantik bidadari yang tak sempat ditemuinya di dunia. Merengkuh kesucian yang lama dicita-citakan. Dan Sang Cinta Tertinggi beserta singgasana yang mengalir sungai-sungai di bawahnya telah menanti datangnya jiwa. Dunia tidaklah seberapa.

Sudut Kamar dengan Biru Aura, 24. 33 wib
Kututup lembar hari yang baru berakhir. Rebahkan kepala dan mencoba pejamkan mata. Mengenang bergilirnya episode hidup dan kehidupan yang terus berjalan. Dinamis dan tak pernah statis. Meski kadang ia pelangi, atau guntur yang menakutkan terjadi.
Parade jiwa-jiwa hari ini kusaksikan. Dan kupejamkan mata kuat-kuat, menyesali kehidupan sosok muda penuh fatamorgana, berbungkus glamour kesemuan yang memperdaya.
Meraup duka dari ratusan sosok mungil yang bertebaran di jalan-jalan karena terpaksa atau bahkan dipaksa. Menganyam empati atas rasa kehilangan ceria di masa kecil terindah yang harus tiada.
Mengencangkan semangat dan membakarnya demi tegak nurani dan sepadannya perilaku dan kata. Melantangkan kebenaran di hadapan kezholiman penguasa. Bukan menjadi sosok-sosok apatis yang sibuk berkutat di dunia mininya dengan segudang buku bermilyar halaman, atau yang masih bangga dengan klasiknya semboyan , “Buku, Pesta dan Cinta”.
Meresap azzam dan cita para syuhada yang tak pernah rela Al Quds ternoda. Mengumpulkan asa dan keberanian yang tiada terkira. Menjemput maut demi perjumpaan dengan Robb-nya semata.
Kembali kupejamkan mata. Sepenggal parade jiwa-jiwa hari ini usai sudah.


01.00dinihari, 18.11.03
Detik-detik I’tikaf dalam Ramadhan yang Begitu Cepat Melesat..

notes : tulisan ini aku buat 2 taun yg lalu --> http://www.eramuslim.com/ar/oa/3c/8542,1,v.html


0 komentar: