Nov 9, 2005

Yumna

bismillah.

Aku punya sahabat. Atau lebih tepatnya, saudari. Saudari seiman.
Namanya Yumna. Cuma begitu yang tertera dalam lembar-lembar absen dari bagian akademis fakultas. Begitu simple-nya. Tapi belakangan aku baru tau kalau ia sering menambahkan kata “Aziz Baktir” di belakang namanya. Mungkin itu nama ayahnya, pikirku.

Orangnya putih berjilbab. Cantik. Dan wajahnya, hmm… berkilap seperti tak pernah berjerawat. Bahkan seorang teman pria non muslim seangkatan pun mengatakan, “Angkatan 2001 yang wajahnya paling bersih ya Yumna.”
Ketika bertemu di awal-awal dulu, aku segera tahu bahwa ternyata ia sangat ilmiah –setidaknya paling ilmiah diantara aku dan beberapa teman yang dekat dengannya. Kalau urusan lomba karya tulis ilmiah, pasti dia yang paling sering ikutan. Apalagi setelah diamanahi urusan yang berkaitan dengan akademis, makin menjadi-jadilah ia. Beberapa kali ia menawarkan peluang beasiswa pada kami. Pun ajakan untuk ikut LKTI ini dan itu. Sayangnya, kebanyakan tawarannya kutolak dengan tak enak hati. Sibuklah, lagi ngurus inilah, itulah, dan ia hanya tersenyum –mungkin sedikit kecewa. Hari gini ikhwan-akhwat peduli akademis? Ke laut aja deh…

Kami akhirnya tak bersatu jua. Kesibukan menjalankan amanah di tempat berbeda membuat aku dan Yumna konsentrasi di bidang masing-masing. Ia aktif di Imamupsi (Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi se-Indonesia) yang berpusat di UIN Ciputat dan FUSI (Forum Ukhuwah dan Studi Islam) fakultas. Sebenarnya kita udah pengen barengan ke Imamupsi. Tapi berhubung ada pekerjaan yang lebih menuntut, aku tetap stay di fakultas. Hilanglah kesempatan mengkaji psiko islami lebih dalam…
Tapi sudahlah…semoga masih ada waktu dan usia untuk mempelajarinya.
Aku masih ingat, beberapa kali pula Yumna mengajakku berdiskusi secara rutin dengan teman-teman Imamupsi dan Ustadz Amang Syafrudin di Depok. Tapi kesempatan itu berlalu begitu saja karena bermacam halangan.

Alhamdulillah, Yumna akhirnya lulus (ontime!) dan menyabet S.Psi-nya. Alhamdulillah pula, akhirnya aku juga bisa membuat makalah bareng untuk diajukan dalam Temu Ilmiah Psiko Islami di UGM beberapa waktu lalu. Meski tak berangkat ke Jogja, aku bisa merasakan betapa nikmatnya berkutat dengan setumpuk buku, ngublek-ngublek teori dan menuangkannya dalam tulisan di makalah kami : “Ta’aruf vs Pacaran : Tinjauan terhadap Proses Menuju Pernikahan dalam Perspektif Psikologi dan Islam”. Sebuah aktivitas yang jarang sekali kulakukan kecuali untuk tugas kuliah. Makalah hebat, kupikir. Habis, kami benar-benar ngebut ngerjain makalah itu dalam waktu efektif kira-kira 1 mingguan. Merencanakan ikut temu ilmiah ini pun tidak, karena waktu itu peserta sudah cukup, dan kami menempati status cadangan. Kalau ada peserta lain yang mundur, maka barulah kami bisa mempresentasikan makalah itu di Jogja.

Yumna…
Aku sampai bengong waktu hari Ahad papasan sama dia di stasiun UI. Aku mau pulang ke rumah, dia mau ke Cikini.
“Mau kemana, Yum?”
“ke TIM,”
“Ngapain?”ujarku heran.
“jalan-jalan aja.”
“He?!?!” mataku memicing. Rajin amat, batinku.
“Emang ada apaan disana?”
“gak ada apa-apa. Cuma mau jalan-jalan aja.”
“Ooo…” aku manggut-manggut aja walau masih gak ngerti.

Begitulah si Yumna. Sampe jalan-jalan aja kayaknya mesti ada nuansa “ngilmu”-nya. Fiiiiuu….so different with me. Aku malah lebih seneng di rumah. Kalo gak penting2 amat tuk pergi, mending masak-masak atau ngeleprak tiduran di lantai ruang tengah yang adem.

Suatu kali dia juga pernah bilang kalau terkadang dia minder sama si W yang subhanalloh pemahaman da’wahnya. Aku senyum aja waktu itu. iya Yum, kita juga minder sama pemahaman akademis kamu J

Yumna…Yumna…Ada-ada aja…

Sayang, sekarang Yumna udah balik ke Jember, bumi kelahirannya. Gundahnya sempat terbagi padaku waktu itu. Aku tau dia sangat ingin tetap berada di Jakarta. Ya bekerja, ya melanjutkan profesi dan S2 di UI… tapi ayah dan ibunya lebih menginginkan dirinya pulang. “Jaga adik-adikmu disini,” ujarnya ketika itu menirukan omongan sang Ibu.
Aku kembalikan semua pada dia, mana yang menurutnya lebih penting. Tapi menurutku menjaga dan mengarahkan adik-adiknya yang remaja dan beranjak dewasa itu jauh lebih penting. Pun merawat orangtua yang pastinya butuh bantuan kita. Namanya umur, siapa yang tau. Bekerja di Jember atau melanjutkan profesi dan S2 di UGM pun tak apa, justru lebih dekat ketimbang Jakarta. Gak kalah kok kualitasnya sama UI. Yang penting bagaimana kitanya, mau mengembangkan diri atau tidak. Dunia pun bisalah diakses dari internet. Tapi kukatakan, kalo mau subjektif, aku sih maunya Yumna tetap disini. Biar selalu ada teman diskusi akademis yang nyambung dan rajin mensupport pengerjaan skripsi. Hehe…

Akhrinya Yumna benar-benar kembali ke Jember. Padahal kita belum sempat ketemu lagi untuk berjabat tangan dan berpelukan terakhir kali. Hiks…Hiks…
Sejujurnya, aku sangat kehilangan. Bagiku, selama di kampus tidak ada yang idealisme akademisnya sepaham sama aku kecuali Yumna. Walau semangat saja tak cukup, setidaknya kami memiliki gairah yang sama dalam hal berbau akademis (kecuali kuliah yang sering aku kaburin). Dan tentu saja aku kehilangan sosok kawan sekaligus guru ilmiah seperti dia.

Well, apapun keputusanmu Yum, semoga itu yang terbaik dari Allah ya. Selamat tinggal dan selamat berjuang...


Yang selalu merindukanmu,
Indra Fathiana.

2 komentar:

Anonymous said...

i missed her so...really...

hhh...

Indra Fathiana said...

yeah...so do i, nuy...