Oct 10, 2006

Lelaki sholih itu…

bismillah.

Lelaki sholih itu, berusia belia.
Tapi setiap adzan menggema, ia bergegas menunaikan sholat di masjid dekat rumah.
Romadhon ini, terlebih lagi.
Dari shubuh sampai tarawih, tak pernah ia absent tanpa alasan berarti.

Wajahnya tak terlalu tampan memang.
Setidaknya, jika dibandingkan dengan beberapa model kenamaan.
Baginya, yang penting ia berpenampilan rapi dan bersih.
Baju koko, kaos, celana katun, atau berpadu jaket dengan emblem bendera Palestine di dada kiri.

Aku tak habis pikir dengan dirinya selama ini. Mungkin lebih tepatnya, bersyukur dalam-dalam.
Ia tidak suka menghabiskan waktu di mall atau jalanan sebagaimana teman sebayanya.
Ia lebih suka menyimpan uang sakunya di kamar, untuk sewaktu-waktu dapat ia gunakan.

Suatu hari, ia menghampiriku.
“Sekolah akan membangun masjid.” Ujarnya.
Aku bertanya, “Lalu?“
“Ya...dimintai sumbangan...“
“Kamu akan kasih berapa?“
Lalu dari lisanku mengalir deras kalimat demi kalimat tentang pahala jariyah yang takkan terputus. Salah satunya, bisa berwujud sumbangan untuk pembangunan masjid sekolahnya.
Ia terdiam dan tampak tak merespon.
“Berapa yang akan kamu sumbangkan?” tanyaku.
“Hmm....dua ratus ribu.“
Mataku membelalak.
Ia masih kelas 2 SMP ketika itu. Dan ia rela menyumbangkan uang sakunya yang telah ia kumpulkan. Nyaris tanpa pertimbangan! Justru sang bunda yang malah memberatkan.
“Kamu yakin akan berinfak segitu? Dua ratus ribu terlalu besar...“
Tapi tekadnya sudah bulat. Dua ratus ribu itu ia sumbangkan untuk pembangunan masjid sekolah.

Aku menghela nafas. Aku yang baru saja memberinya semangat untuk beramal jariyah, malah tak berbuat apa-apa. Terlalu banyak urusan yang menghalangi pikiran picikku untuk mengadakan perjanjian jual-beli dengan Allah.

Dan dua ratus ribu rupiah kemudian mengalir dari tangan anak usia kelas 2 SMP, bukan untuk membeli berbagai baju, mainan, ke tempat games playstation, atau hal-hal sia-sia lainnya. Tetapi untuk infak pembangunan masjid sekolah.

Itu, sekitar 4 tahun yang lalu.
Dan sekarang, ia sudah duduk di kelas 2 SMU dan aktif dalam berbagai kegiatan.
Belakangan aku baru tahu bahwa ia diminta menjadi ketua remaja masjid dekat rumah. Belakangan lagi rekan ibunya memberitahu bahwa anak itu pernah berceramah di depan jamaah masjid tanpa teks ataupun bahan di tangan, sehari setelah ia dimarahi habis-habisan oleh bunda dan kakak pertamanya.

Tetapi sejarah seperti menjadi berulang.
Hambatan demi hambatan menahan laju fitrahnya yang tengah gemar berdekatan dengan kebaikan. Satu-dua orang rumah mulai menentang, mempertanyakan berbagai kesibukan. Berusaha menahannya dari melakukan “hal-hal tidak jelas“ di luar rumah.
Aku yang pertama kali menjadi pembelanya.
Kukatakan pada mereka, aku tahu apa yang dia lakukan.
Toh dia tidak berhura-hura, tidak mengkonsumsi narkoba, bahkan menyentuh rokok saja rasa-rasanya tidak pernah. Jadi kenapa segala kegiatan positifnya harus dihalang-halangi?

Seketika itu juga aku seperti baru sadar.
Mengapa masa laluku jadi seolah terpampang sekarang?
Haruskah sejarah benar-benar berulang?
Betapa Allah begitu sungguh-sungguh mendatangkan ujian ketika iman ingin melangkah naik ke pijak berikutnya.

Tapi ini memang jadi ujian kami.
Kami : aku dan dia. Bukan lagi aku seorang. Setidaknya tidak lagi sendirian seperti beberapa tahun silam. Ya, betapa banyak kesyukuran yang harus dilakukan. Bagaimanapun, mendapatkan teman seperjuangan adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan. Juga menjadi satu kebahagiaan, agar semangat menjaga diri dan keluarga dari api neraka tak mudah surut ke belakang.

Selamat berjuang, adikku sayang.
Semoga Allah menjaga fitrahmu senantiasa.
Teruslah berbuat baik, hingga kaki kananmu menginjak surga...


Sabarlah, adikku sayang.
Pertolongan Allah pasti kan datang.
Dari arah yang tak terkirakan.
Sabar dalam penantian.

(Suara Persaudaraan)

***

“Jika engkau melihat orang yang lebih muda, berpikirlah bahwa dosa-dosanya lebih sedikit daripada dirimu. Dan jika engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, berpikirlah bahwa ilmunya lebih banyak darimu“
(Quotes-nya sahabat Nabi saw, namanya lupa)

0 komentar: