Oct 27, 2006

Sekali Lagi tentang TTM

Bismillah…

I’ve never been met a woman like her before... (bener ga english-nya?!?)
Ia seorang ibu berusia 40 tahunan. Suaminya –seorang ekspatriat- jauh lebih muda sekitar 8 tahun, dan mereka mengadopsi anak yang sekarang berumur 14 tahun.

Aku mengenalnya sebagai sosok wanita karier yang berhasil. Y, sebut saja begitu, sempat menetap beberapa lama di Inggris untuk menempuh pendidikan S-2 bahasa Inggrisnya. Disana pula ia bertemu suaminya. Mereka, kini sudah menetap belasan tahun di Indonesia, mengembangkan perusahaan training serta satu LSM milik pribadi yang bergerak di bidang pendidikan.

Latar belakang Mba Y bukan psikologi. Dan tentu, ia bukan pula seorang psikolog. Tapi pemahamannya mengenai kejiwaan manusia dan bagaimana ia memperlakukan manusia, rasa-rasanya jauh lebih baik dari seorang psikolog. Jujur aku mengagumi cara hubungan interpersonalnya yang begitu anggun dan hangat.

Baru-baru ini ia mendekatiku.
Perlahan ia bercerita bahwa tengah terjadi perselisihan antara dirinya dan suaminya.
Aku terkejut sekali. Sepanjang 6 bulanan aku mengenal mereka, kulihat kehidupan keluarganya baik-baik saja, bahkan tampak begitu hangat dan harmonis.

Sore itu aku menyimak ceritanya baik-baik di kamar Z, putrinya semata wayang.

“Ia mempunyai TTM (teman tapi mesra –red), yang usianya masih 23 tahun. Wanita itu orang Indonesia, aku bahkan mengenal ibunya. Sekarang ia sedang kuliah di Australia,“

Dadaku bergemuruh kencang.
TTM???? Again????

“Aku gak ingin marah-marah, dan itu bukan caraku. Sama sekali bukan caraku. Aku cuma bisa menyerahkan ini semua kepada Allah. Justru aku kasihan sekali padanya. Dia tidak punya pegangan, sangat tidak beruntung sekali,“

X, suaminya, kebetulan bukan seorang muslim. Sebelumnya kupikir ia seorang Nasrani yang taat. Tapi menurut sang istri, ia lebih tampak seperti tak bertuhan.

“Di saat aku seperti ini, aku bisa sholat, bisa berdoa kepada Allah. Tapi dia tidak. Dan dia kehilangan kendali. Bayangkan, Indra, laptop di taksi bisa hilang. Alasannya karena dia lupa. Itu kan konyol sekali. Waktu di kantor juga, beberapa teman mengadu kalau X terlihat seperti orang linglung,“

Aku terus menyimak kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirnya. Sama sekali tak terlihat nada tinggi, raut muka kesal, atau tangis selama ia bercerita. Emosinya datar dan seolah sedang membicarakan suatu hal yang tidak penting.
Malah kini mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Masalahnya ia tidak menganggap semua ini sebagai masalah. Dia pikir adalah hal yang biasa ketika ia ingin fun dengan wanita lain, meskipun ia sudah beristri. Sementara kita di Indonesia kan tidak seperti itu. Ya sudah...sekarang aku cuma bisa menjalani episode hidup ini. Kita semua kan sedang bersandiwara. Tinggal lihat nanti, gimana Allah mengaturnya...“

Mataku semakin mengabut.

Just for fun? Menyakitkan sekali.
Mom, engkau begitu tegar...hiks...

“Hey, sudah....kenapa menangis?“
Iya ya. Kok malah jadi aku yang nangis... bodoh banget deh.

“Enggak, Mba... aku cuma terharu... Mba tegar banget ya...“ ujarku sambil mengusap lembut tubuhnya.
“Aku gak tau kalau aku yang ngalamin seperti Mba...“

“Yah...alhamdulillah. Aku gak mau stress, Ndra. Ngapain dipikirin. Aku punya banyak pekerjaan. Kalau aku jatuh, aku kalah. Sebenarnya kasihan sekali dia. X itu orang yang sangat memegang teguh kejujuran. Sekarang prinsipnya sendiri ia langgar. Sampai ia pergi dari rumah kemarin, aku tau dia sangat merasa bersalah. Tapi ya namanya setan lagi menguasai dirinya, ia belum sadar.“

Obrolan berhenti sampai di situ.
Ia hanya ingin aku lebih merangkul Z, anaknya yang belajar private bersamaku, agar tidak terlalu sedih.

Di perjalanan pulang dari rumahnya, aku tak habis berpikir.
Bagaimana bisa ia menghadapi semua ini dengan begitu tenang?
Ataukah ia sudah menghabiskan energinya tidak di hadapanku, sehingga ketika berbicara denganku ia tak lagi meluap-luap? Ataukah ini efek karena ia rajin berpuasa dan berlatih yoga? Tapi sepanjang yang aku tahu, Mba Y memang bukan seorang yang emosional. Menghadapi anaknya yang remaja dan begitu manja saja ia tak pernah marah tak terkendali. Bayangkan, teriakan-teriakan putrinya yang temperamen itu dihadapinya dengan suara lembut dan pelukan sayang!

Ah...
Aku tetap tak menemukan jawabnya.
Cuma ada segunung lagi kekaguman yang tiba-tiba meraja.

***

Beberapa hari berikutnya, perbincangan kami berlanjut lagi saat makan malam setelah berbuka.
Sore itu suaminya pulang ke rumah dan mengambil suatu barang. Begitu berpapasan dengan Mba Y yang baru saja pulang kantor, kulihat mereka berdebat di dekat mobilnya.
Ketika Mba Y sudah masuk rumah dan X sudah pergi, aku bertanya padanya dengan sangat hati-hati.
“Is it better now, Mom?“

Ia hanya menghela nafas dan menggeleng.
“Tadi, dia sampai rebutan mobil... aku kan harus pakai karena aku ke kantor. Sementara Z setiap pagi juga harus diantar. Aku tanya, atau aku naik taksi saja? Tapi dia tidak mau begitu... Dia bilang dia juga berhak atas mobil itu. Ya memang kan itu milik bersama-sama. Sekarang hal-hal sepele saja bisa jadi besar...“

Aku jadi ikut-ikutan menghela nafas.

“Duh... gak tau deh. Kemarin dia juga mempermasalahkan rumah ini. Katanya dia berhak tinggal disini. Sekali-kalinya kemarin itu aku berteriak. Yang menyuruhnya pergi itu siapa? Apa dia mau aku dan Z pergi dari sini? Tapi aku akan bertahan. Aku tidak pernah menyuruh dia pergi, itu keinginan dia sendiri. Pembantu kami juga tahu hal itu,“

“Hmm... Mba... tidakkah Z menjadi alasan yang dapat membuatnya sadar?“

“Dia tetap memperhatikan Z. Dia sayang pada Z. Sesekali dia datang, mengunjungi Z. Aku sih fine-fine aja. Ya namanya orang lagi gak sadar, gimana sih Ndra? Hal terpenting dalam pernikahan itu kan komitmen. Aku sendiri berkomitmen. Tapi entah dia...“

“It means, dia tidak berkomitmen?“

“Yah, dia gak sadar sama sekali dengan kesalahannya. Dia pikir, ’aku sekarang mau senang-senang dengan wanita lain, so what?’, begitu.“

Astaghfirullah.... Menyebalkan sekali....

“Mmm....Mba, kupikir suami itu milik kita lho Mba...tapi ga tau sih...kupikir adalah hak kita untuk mempertahankannya. Mungkin kebanyakan orang akan berkata pada si perempuan, please, jangan ganggu suami orang...Mba gak mau coba lakukan itu?“ aku berkata agak gemas.

“Ya...aku tahu itu. Tapi buat apa? Aku bisa aja menghubungi cewek itu, orang aku kenal juga sama ibunya kok. Tapi bagiku, sudahlah…aku gak mau nyamperin atau apa. Aku masih punya harga diri. Dan aku harus pertahankan integritasku. Bisa habis energiku. Tinggal si X-nya ini yang harus dibenahi… Bayangin aja. Dia sms-an di depan aku! aku bilang aja, Tolong donk, hargai aku...”

“Agak sulit ya Mba, untuk memperbaiki orang yang ia sendiri tidak menyadari kesalahannya…”

“Ya, memang. Tapi ya sudahlah. Aku tinggal menjalani sandiwara hidupku saja. Terserah, maunya Allah seperti apa… Yang terpenting dalam hidup kita adalah hubungan kita dengan Allah, ya kan? Manusia tidak ada apa-apanya…”

***

Waktu terus beranjak dalam minggu-minggu yang padat.
Ramadhan kali ini dinikmatinya tanpa kehadiran sang suami yang kini tinggal di apartement.
Tapi apa komentarnya?

“Aku merasa jauh lebih tenang... Luar biasa... Allah sudah kasih aku nikmat seperti ini. Kalau ada dia, aku tidak bisa mengadakan momen buka puasa bersama sesering mungkin bersama teman-teman di rumah. Dia juga selalu komplain dengan bunyi-bunyian dari masjid.... Alhamdulillah...“

Tak sedikitpun ada gurat duka di wajahnya.
Ketika kutanya resep di balik ketenangannya selama ini, jawabnya cuma...

“Ikhlas aja, Ndra. Apalagi yang bisa kita lakukan?“

“Tapi ditinggalkan dan dikhianati oleh orang yang kita cintai... itu kan sangat menyakitkan, Mba?“

“Oh ya jelas. Tapi untuk apa kita berlarut-larut disana? Hidupku masih panjang. Aku harus memikirkan Z, aku harus mengurusi perusahaanku, dan masih banyak pekerjaan lain yang harus kulakukan. Jujur aja, aku nangis cuma 1 jam ketika itu. Sesudah itu alhamdulillah aku merasa sangat tenang... Aku gak boleh dikalahkan oleh masalah ini.“

“Gimana caranya biar ikhlas, Mba? Supaya bisa tenang seperti itu?”

“Aku rutin sholat tahajud. Di dalamnya aku baca surat Al Ikhlas berulang-ulang. Coba lihat artinya..."


"Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu... "

"Great. Dan itu benar-benar memberiku energi luar biasa.
Tingkatkan terus energi positif kita, dengan sholat, dzikir, dan sebagainya. Lalu posisikan diri kita berada di luar masalah kita. Meskipun orang lain melihat masalahku cukup berat, tapi i’m fine. Karena aku gak pernah mau terlalu jauh tenggelam. Kalau X harus pergi, ya sudah. Aku toh hanya menjalani sandiwaraku. Hidup ini cuma kumpulan sandiwara, kan? Aku tetap menerima dia jika dia pulang ke rumah. Aku tetap tanyakan kabarnya kalau dia menelpon, aku tetap tawarkan makan jika bertemu di rumah. Kita sekarang lebih seperti teman saja. Karena... ya bagaimana, hatinya sudah diberikan pada wanita itu. Tetap saja berbuat baik. Masalahku mau selesai atau tidak, let’s see. Biarkan Allah yang mengaturnya.”

“Kedua, sering-seringlah kamu diam, lalu tarik nafas dalam-dalam, dan katakan pada dirimu sendiri, I’m ok, I’m fine, tetap positif…dan sebagainya. Sugestilah dirimu sendiri. Nanti kamu akan dapatkan ketenangan itu. Mau masalah seperti apa beratnya, jalani saja. Yang penting kita harus pastikan bahwa kita baik-baik saja.”

Aku mengangguk kuat.
“Ya... untungnya Mba juga punya pegangan ya. Masalah nafkah gak terlalu bergantung sama dia…”

“O iya. Buat sharing aja, temanku yang tadinya bekerja dan setelah menikah dia berhenti, saat dia ribut dengan suaminya, dia gak bisa berbuat apa-apa. Makanya aku sangat menyarankan wanita itu punya penghasilan walaupun sedikit.“

Ok. Aku sangat setuju dengannya. Sesulit apapun, wanita harus kuat dan survive, walau kebanyakan orang mengecilkan perannya dalam kehidupan ini.

Well...

Secuplik kisah hidup yang mungkin bisa diambil pelajarannya buat kita.
Hmhh… jadi makin takut beranjak ke jenjang pernikahan karena sudah banyak mendegar cerita buruk dibaliknya. Tapi… lihat ajalah rencana Allah. Setidaknya aku sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika aku menghadapi situasi berat seperti yang beliau alami.

Fiuh…
Masih adakah pria sholih nan setia di luaran sana???












1 komentar:

Anonymous said...

ibroh sih ibroh neng....tp kesimpulan yg terakhir itu lho yg nggak ngenakin :)
masih bnyk kok ikhwan yg baik....
aku termasuk nggak ya..? semoga, amien.....