Sep 14, 2008

Tentang Menikah

Bismillah...


Sebenarnya saya males ngomongin isu ini.
Selain tidak banyak menguasai konsepnya, saya juga belum pengalaman. Beda halnya jika saya minimal sudah menerapkan, yang jelas gak terkesan sotoy ataupun teoritis belaka. Tapi sepertinya ide ini harus saya share deh.. jadi saya tetep nulis aja.

Yap, saya mau ngomongin soal pernikahan.

Di usia rawan nikah seperti sekarang ini, rasa-rasanya membicarakan hal ini bukan aib juga. Toh secara psikologis, 'tugas' kita memang sudah seharusnya seperti itu. Dalam usia 20-30an, menikah, berkeluarga dan memikirkan kemantapan karier adalah hal lumrah yang dalam bahasa psikologi perkembangan, menjadi tugas yang sepantasnya diselesaikan.


Kalau kita bicara soal calon yang akan kita pilih, pasti udah banyak yang hafal h
adits nabi saw yang bilang,
“Wanita dini
kahi karena empat perkara: karena kehormatannya, hartanya, kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah yang mempunyai agama niscaya kamu akan bahagia.”
(HR. Al Bukhari).
Jadi, tentu saja parameter kriteria kita sebaiknya mengacu pada hal di atas.

Tapi fakta ternyata tidak semudah bayangan kita.
Kalau kita memilih calon pendamping yang baik agamanya, parameternya apa?
Ibadahnya yang rajinkah?
Ini perlu di-break down lagi. Apakah shalatnya yang kenceng, atau tahajjudnya yang tidak pernah terlewat, atau tilawah Qur'annya yang berjuz-juz dalam satu hari, puas
a sunnahnya yang tak pernah putus, hafalan Qur'an yang berjubel, dsb.

Nah, kalau sudah ketemu dengan orang yang seperti itu, pasti keren donk..
Hmm... sekilas, iya. Tapi bentar dulu. Disini ini nih rahasia yang mau saya bagi.

Dalam perbincangan di YM beberapa waktu lalu, ternyata, seorang tem
an saya bercerita bahwa pengalamannya membuktikan bahwa tidak semua yang ibadahnya baik itu bisa diandalkan.
Nah lho... gimana nih?

Sederhana sih, taruh aja contoh banyaknya orang sholat yang masih mencuri.
Jadi, kalau konteksnya pernikahan, gak semua yang ibadahnya baik, keluarganya juga berhasil.

Ini kata temen saya lho.
Dia bilang, dia menemukan fakta bahwa pernikahan seseorang yang ibadahnya rajin, ternyata kandas di tengah jalan. Ternyata si suami yang rajin ibadah ini kurang bertanggung jawab terhadap anak istrinya. Pengangguran pemalas, ujar rekan saya itu. Akhirnya berujung pada perceraian deh. Mengenaskan ya...

Waktu ngobrol sama temen saya ini, saya sampe berujar... "Masa sih... Masa sih..." berkali-kali.
"Wallahi, Ndra..." (nah, sampai bersumpah dengan nama Allah segala dia...)
"Sholat gak jamin. Ngaji gak jamin. Ibadah gak jamin!" tegas beliau.

Saya yang belum pengalaman ini akhirnya mikir. Ohh, begitu ya.

Jadi, gimana donk kita menentukan calon yang benar-benar tepat buat kita, kalau ternyata parameter ibadah tidak menjamin?

"Kuncinya..." lanjut teman saya ini, "cuma kedekatan kita dengan Allah. Biasanya kita akan diberi mata hati yang jernih ketika kita dekat dengan Allah. Disitu kita bisa melihat lebih dalam dan memutuskan, apakah orang yang mau kita nikahi/mau menikahi kita benar-benar 'baik'/tidak untuk kita jadikan pasangan hidup".

Nah, dalem banget kan..

Tidak usah dipungkiri, kadang kita suka terpukau dengan si anu yang ibadahnya rajin.
Atau si itu yang anak orang kaya.
Atau si dia yang tampangnya keren, cantik, ganteng, dsb.
Atau si ini yang kepribadiannya menarik, dan kayaknya pantes deh jadi ibu/ayah dari anak-anak kita kelak.

Keinginan-keinginan itu manusiawi sekali, menurut saya. Bagaimanapun sebagai manusia, tentu saja hati ini punya kecenderungan pada yang secara kasat mata dianggap baik. Tapi ya itu tadi, saya jadi disadarkan sama nasihat rekan saya itu, bahwa... PUN, ibadah saja tidak menjamin kebaikan yang ada pada seseorang.



So, kiranya memang perlu kita luruskan niat lagi, bahwa menikah itu untuk mencari keridhoan-Nya semata. Dan tentu saja, berhubung ini adalah isu yang sangat krusial dan keputusannya akan berpengaruh seumur hidup dunia-akhirat, adalah terlalu angkuh untuk kita putuskan hanya dengan mengikuti keinginan sendiri, tanpa campur tangan Yang Maha Tahu segala yang terbaik bagi kita. Campur tangan itu, insya Allah akan kita dapatkan dari mata hati yang jernih, yang telah dipengaruhi oleh kedekatan kita dengan-Nya.

Hmm... jadi ngaca deh saya.



~nampolBangettt..makasihYa,Adzan...
Sun, 14.09.08, 02:59pm

13 komentar:

Adzan W. Jatmiko said...

Selamat menikmati indahnya proses pernikahan..

Selamat menikmati indahnya kehidupan yang semu..

Ya Allah berikan hambaMu yang terbaik untuk saudariku Indra, yang bisa mengantarnya menuju RidhaMu..

Amiin Ya Rab

Indra Fathiana said...

aaamiiin...
makasi ya adzan.. *terharu*

Anonymous said...

Bicara tentang pernikahan dari orang yg belum menikah membutuhkan keberanian tersendiri, salut. Dan seperti biasa, teori kadang tidak selaras dengan kenyataan :) salam kenal Fathia.

-Setiaji-
www.kodokijo.net

Indra Fathiana said...

#setiaji : keberanian? ah ya... sy muka tembok aja bicarain ini :D
rasanya ilmu yg bermanfaat terlalu sayang jika dikalahkan oleh sekedar rasa malu.

Anonymous said...

hmm...ibadah yg benar seharusnya berimbas terhadap perilaku seseorang. orang yg benar2 paham utk apa dia beribadah seharusnya tidak akan melenceng perbuatannya. ibadah bukan cuma sholat, ngaji, puasa..memberi nafkah thd keluarga juga ibadah.

btw, sepakat dengan soal kedekatan hati kepada Allah sebelum memutuskan. karna apa yg tampak secara kasat mata belum tentu sesuai kenyataannya.

jadi, apalagi yg ditunggu Ndra? :D. tak do'akan dari sini semoga mendapat yg terbaik.

Indra Fathiana said...

#ifat: iya, mba. mohon doanya aja ya :)

Anonymous said...

Kok judul postingan kita sama ya? *lost focus*

Hmm... wish you'll find the best Fathy... Amiyn

Indra Fathiana said...

#rasyeed: hue? iya ya, kok bs? :D

Anonymous said...

Hidup adalah pilihan mba..
"Untuk menjadi mulia atau bergelimang kehinaan".
So...suka tidak suka kita tetap harus memilih. Termasuk ketika suatu saat nanti harus memilih siapa yang akan kita pilih tuk menjadi teman hidup kita.

Jika proses pernikahan dengan cara taaruf, kita dipilihkan jma'h. Tapi toh tetap keputusannya kita yang harus memilih.

Yang namanya memilih, bisa salah bisa benar. Tentu dalam kerangka berfikir kita sebagai manusia yang lebih cenderung mengedepankan nafsu & ego, dengan keimanan yang turun naik atau bahkan lebih sering turunnya daripada naiknya. Tapi satu yang pasti, siapa yang Allah pilihkan bagi kita itu pasti yang terbaik bagi kita walau kita mungkin menganggapnya yang paling buruk.

"Allah hanya memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan'.

Kesimpulannya :
1. Segeralah tentukan sikap untuk berani menghadapi ujian bernama pernikahan. Cepat atau lambat kita insy4jj akan melaluinya. Teman saya ada yang menikah begitu diwisuda dan saat itu istrinya masih kuliah di IPB tingkat II . Sampai saat ini mereka masih tetap hidup tuh (he-he).
2. Pernikahan itu tidak selamanya seperti surga atau seperti neraka. Jadi sama seperti kehidupan, pasti ada saatnya bahagia, ada saatnya datang masalah menggunung. Intinya ya kita harus rasional tidak terlalu berharap berlebihan dengan menikah kita mematok PASTI akan bahagia selamanya. Nanti malah kecewa lagi.
3. Benar, semakin kita mendekat kepada Allah, semakin lurus niat kita. Ins4jj Allah akan memilihkan yang terbaik bagi kita.



Setelah menikah : kecantikan, ketampanan, kepinteran otak dengan indikator IP yang tinggi, Background sebagai aktivis dakwah/organisasi kampus, orator, harta yang banyak, ternyata bukanlah penentu utama kenyamanan didalam rumah tangga. Tapi justru hal seperti : Ketulusan, kerelaan menerima kekurangan & kelebihan pasangannya, kelembutan, rasa empati, kepercayaan, dan tentu akhlah dan kedekatan kepada Nya lah yang lebih menentukan datangnya rasa cinta dan kasih sayang.

Satu hal lagi... adanya ade bayi kecil dengan celotehan dan sikapnya yang lucu, akan membuat hidup terasa lebih berarti mba.

saya doakan akan segera datang arjuna terbaik dari ALLAH mba.


.."Saya tunggu kabar pernikahhannya ya mba"..

Anonymous said...

bismillaah..

Seorang teman pernah berkata, "nanti suatu saat (jika msh diberi umur yg cukup tentunya) kamu pasti akan mengalami saat-saat dimana hatimu berkata dengan sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa si-X inilah yang pantas menjadi teman hidup saya dan sekarang saat yg tepat untuk menikah".

Seorang teman yg lain lagi pernah berkata, "menikah itu banyak sekali yg dikorbankan, dan satu hal yg pasti harus dikorbankan adalah 'ego', jika tidak, jgn harap suatu pernikahan akan bisa bertahan".

Sementara di sisi lain ada yg mengatakan, "beri saya satu saja alasan yg kuat, mengapa saya harus menikah? jangan bilang hanya untuk mengikuti sunnah rasul, jangan bilang juga bahwa menikah itu hanya untuk menjalankan setengah agama. Saya butuh yg kongkret bukan yg abstrak, apa tujuan kita menikah? Sama halnya jika dianalogikan, mengapa kamu sholat? Saya tidak ingin jawaban bahwa sholat itu hanyalah sekadar kewajiban".

Ada lagi yg bertanya, "Yakin sudah siap nikah? Kalau memang yakin sudah siap, sebutkan apa saja persiapanmu?".

Jadi, kapan? :D
Tetap semangat....

Indra Fathiana said...

alhamdulillah, dapet banyak nasihat. jazaakumulloh khoir ya teman2..

#rafi : wah, baru muncul dikau, pak! gmn kabar keluarga?

#andik : jadi jawaban ptanyaan2 itu apa, ndik? :p

Anonymous said...

bismilaah...

Beneran neh mau tau jawabannya, Fath?? :-"

Coba deh kasih postingan lagi ttg pernikahan.. hehe..

Tetap semangat...

AdminBlog said...

Setuju !!!, sy jg punya pengalaman teman saat KKN, kalau dilihat orangnya rajin sekali ibadah, tp kalau yg namanya ada tugas, kerjaan, ada saja cara dia untuk menghindar.
So....waspadalah...waspadalah dalam memilih pasangan.
Rajin2 berdoa :-)