Para pahlawan punya cara tersendiri untuk menoreh sejarah dirinya. Ia sadar, dan tahu kapan harus menyusun kekuatan, kapan pula harus mengkontribusikan.
Tetapi pahlawan tak pernah rela kehilangan momen2 pembuktian amal, bahkan ia menyesal ketika melewatkan episode perjuangan tanpa sengaja.
Karena mereka tahu, tak selamanya usia berdampingan dengan dunia. Karena mereka sadar, seringkali takdir jauh dari cita-cita.
Dan itulah sebabnya, mereka tak punya kamus selain berjuang dan mengkontribusikan apapun yang ada, agar kelak waktu mencatat sosoknya sebagai sejarah, ada atau tiada manusia lain yang mengenang jerih payahnya.
***
ditulis 2 tahun lalu kalo gak salah... gambarnya diambil dari google, udah lama jg, jadi gak tau sumbernya...
Kata orang, pengalaman adalah guru terbaik. Dan sepertinya saya harus sepakat.
Dalam 2 tahun terakhir ketika mengisi pelatihan/seminar, banyak sekali peserta yang lebih senior secara usia maupun pengalaman. Dan saya berdiri di depan mereka sebagai fasilitator, pembawa materi.
“Lihat! Usianya saja jauh lebih mudah daripada kita. Pengalamannya pasti juga tak banyak.”
Huffffhh....
Jika bicara soal knowledge/pengetahuan, kita bisa meng-upgrade-nya lewat membaca. Tapi kalau soal pengalaman, saya angkat tangan deh. Kok bisa sih, bicara tentang pengasuhan anak tetapi sendirinya belum berkeluarga?
Duh, Pak, Buu... ampunnn... Jangan serang saya begitu dunk... Mati kutu nih!
Yaa...alhamdulillah belum ada sih yang secara frontal bicara seperti itu ketika saya tampil. Tapi kadang-kadang saya jadi merasa minder sendiri. Bukan soal saya lebih tahu mengenai materinya. Juga bukan soal penguasaan apa yang saya bawakan. Tetapi ini soal aplikasi.
Sudah belum, kamu tuh mengaplikasikan apa yang kamu katakan? Sudah belum, kamu benar-benar menghadapi susahnya menangani anak di sekolah sehari-hari?
Setahun terakhir ini saya semakin merasa tak nyaman. Persoalannya cuma karena saya merasa... kok apa yang saya katakan normatif sekali ya... Kok yang saya kasih tau ke peserta itu, cenderung ngawang-ngawang ya... Kok jawaban-jawaban yang saya berikan, tatarannya ideal sekali dan belum tentu mudah direalisasikan? Lebih dari itu, saya jadi merasa cuma tau teorinya doang, tapi gak ngerti aplikasinya. Emangnya saya tahu susahnya jadi guru... sekarang malah berani-beraninya ngajarin guru... Ngomong mah enak... coba kamu yang ngadapin murid sehari-hari...
Solusi pertama adalah tampaknya saya harus segera menikah *lho* Maksud saya, minimal saya bisa ngerasain punya anak dan mendidiknya. Jadi kalau saya berbagi sama peserta pelatihan atau seminar, saya bisa bilang bahwa saya juga menerapkan apa yang saya katakan. Gimana ceritanya mau jadi konsultan pernikahan/keluarga tapi belum menikah, coba...
Solusi kedua, saya harus sering-sering ngobrol atau mengamati orang-orang yang sudah punya anak atau juga guru-guru. Biasanya jadi tau masalah yang suka dihadapi. Misalnya, kalau anak suka bandel gimana, kalau menghukum anak yang efektif seperti apa, menyikapi ini gimana, itu seperti apa, dst.
Akhirnya yang paling sering saya lakukan adalah menceritakan pengalaman orang lain. Real, solutif, membumi, dan tentu saja, sangat aplikatif! Setidaknya ini menutupi ”lubang” pengalaman saya yang minim sekali. Judulnya kan berbagi, bukan ngajarin... Hehe... ngeles...
Eh tapinya ya, kalau di bisnis saya mah, gak bakalan boleh jadi pembicara kalau bisnisnya gak jalan. Karena pasti keliatan, antara orang yang benar-benar pengalaman berjuang, dengan orang yang sekedar NATO (no action talk only). Jadi, kejujuran dan integritas adalah fondasi utamanya. Karena kalau tidak jujur dan tidak berintegritas, pasti gak akan ada yang respek dan mau mendengarkan.
Tapi kalau disini nihhh yaa... Dudududu...
Ah, kan udah saya bilang... saya harus resign secepatnya. Hehe... *ngomong mulu lu, Ndra...kapan resign benerannya!!* Peace
Sebagaimana manusia biasa, saya berulang kali mengalami penurunan motivasi. Termasuk juga soal bisnis. Kalau lagi malas rasanya benar-benar tak bergairah. Ekstrimnya malah jadi ingin berhenti.
Tapi alhamdulillah saya sudah menemukan solusinya. Kalau sedang malas, yang saya kerjakan kemudian hanyalah memaksakan diri untuk melakukan. Ternyata, energi itu saya temukan justru ketika saya berbuat. Dan motivasi itu tumbuh seiring pergerakan kita. Jadi, bukannya menunggu motivasi dulu, baru bergerak. Tapi bergerak dulu, hingga dorongan itu tercipta dengan sendirinya. Kata sepatu Nike mah, “Just Do It!”. Begitu kira-kira poin pertamanya.
Sekarang kita masuk ke poin kedua.
Ceritanya kemarin sore saya baru saja bertemu partner bisnis untuk memberikan arahan. Padahal saya lagi agak malas. Tapi demi tanggung jawab dan biar semangat lagi, akhirnya saya lakukan juga.
Benar bahwa saya menjadi energik setelah melakukan pekerjaan saya, tanpa menunggu termotivasi dulu sebelumnya. Tapi begitu selesai, saya ngos-ngosan. Perasaan sih tadi saya gak ngomong sampai setengah jam deh... Tapi kekuatan saya seperti terkuras…
Begitu si rekan pulang, saya langsung teringat pesan senior saya, “Jangan menjadi motivator, tapi jadilah inspirator.”
Saya mengerti sekarang. Saya kelelahan karena terlalu banyak bicara, memotivasi. Yang diberi arahan sih manut-manut saja. Tapi kok saya jadi merasa ‘tersedot’ ya?? Dan seberapa lama motivasi itu akan bertahan?
Butuh banyak pengetahuan/knowledge untuk menjadi seorang motivator. Dan biasanya harus termotivasi dulu sebelum dapat memotivasi orang lain. Lalu apa bedanya dengan inspirator?Inspirator, tanpa banyak kata, secara otomatis menjadi motivator bagi orang lain. Jika motivator mendorong orang lain melalui lisannya dan ia dapat memotivasi orang lain sebelum ia melakukan apa yang dimotivasikan, maka seorang inspirator melakukan hal-hal yang mampu mendorong orang lain, tanpa perlu ia katakan sebelumnya.Inspirator mampu memancing insight yang membuat orang lain berpikir, kemudian terdorong melakukan sesuatu.
Contoh konkretnya nih… Misalnya saya sedang malas membaca buku. Lalu datang orang pertama, si motivator. Dia bilang, “Baca buku itu nambah wawasan lho! Jadi pinter, banyak pengetahuan…”
Lain dengan si inspirator. Tanpa banyak cincong, dia rajin baca buku minimal 1 judul sehari. Begitu dia bicara, kata-katanya bernas semua.
Lihat perbedaannya?
Ketika didorong oleh si motivator, saya jadi rajin membaca. Tapi saat tidak dimotivasi, saya jadi malas lagi.
Beda dengan si inspirator. Dengan melihatnya saja, saya jadi kagum dan berpikir, kok kalimat yang keluar dari mulutnya meaningful semua ya. Lalu saya cari tahu mengapa bisa seperti itu. Begitu dapat jawabannya bahwa dia memiliki kebiasaan membaca minimal 1 judul sehari, saya meneladaninya tanpa ia minta.
Well… Banyak bicara memang melelahkan. Apalagi kalau tujuannya memotivasi, seperti pengalaman saya di atas. Begitu kita tidak memotivasi, objek yang kita tuju kehilangan gairahnya. Sebab motivasi yang tumbuh pada dirinya berasal dari luar alias motivasi eksternal. Terlebih lagi kalau yang kita motivasi ternyata tidak termotivasi. Makin merasa lelahlah kita…
Berbeda dengan menjadi inspirasi. Tanpa banyak bicara, perbuatan kita mampu membuat orang di sekitar kita tergugah. Lebih dari itu, contoh yang kita berikan melalui perilaku, mampu menimbulkan perubahan yang lebih maksimal : menggerakkan!
Inilah yang disebut motivasi intrinsik, dorongan yang berasal dari dalam diri sendiri. Dalam banyak literatur psikologi, motivasi intrinsik disebut-sebut terbukti lebih mampu membuat suatu perilaku bertahan. Tambahan lagi dari rekan senior saya, inspirasi juga akan lebih (mudah) diingat ketimbang motivasi karena real, nyata terlihat. Disini peran si inspirator hanyalah trigger, pemicu. Tak lebih dari itu. Dan jangan lupa, integritas merupakan modal utamanya.
Jadi, pelajaran yang bisa dipetik hari ini adalah: 1. Jangan tunggu motivasi muncul baru kita mau bergerak. Tapi bergeraklah, lalu lihat apa yang terjadi *dengan gaya Mario Teguh*. Hehehe… Maksud saya, bergeraklah, lalu rasakan bahwa motivasi itu tumbuh dengan sendirinya. Makin banyak kita bergerak, semangatnya juga makin membesar. Setidaknya itu yang saya rasakan. (Btw saya sudah mencoba dan berhasil. Kalau gak percaya, cobain deh sendiri )
2. Jadilah inspirator, bukan motivator. Selain melelahkan, menjadi motivator terkadang tak selalu membuat orang tergerak. Kalaupun ia tergerak, kemungkinan hanya sementara waktu. Sedangkan inspirator, tanpa banyak bicara, mampu membuat orang lain terdorong lalu bergerak dengan motivasi yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri.
Kesimpulan umumnya, kalau dipikir-pikir mah, kuncinya lagi-lagi mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga...hehehe... Ayo SMANGATTT....:D
Ternyata jadi ibu itu tidak mudah, ya. Baru saja saya ditinggal si mamah selama 40 hari karena beliau berangkat haji. Rencananya sih beliau baru akan kembali pada Desember awal nanti. Berhubung saya menjadi the only woman di rumah, maka urusan dapur dan rumah tangga pun segera beralih ke tangan saya. So saya bertanggung jawab terhadap urusan perut abang dan adik saya yang keduanya laki-laki itu.
Dan wow… Uang belanja Rp. 300 ribuan yang mamah bekalin buat 40 hari itu ternyata kurang, sodara-sodara! Beras Rp. 50 ribuan, gas Rp. 80 ribuan, gula pasir, telur ayam, mie instant, minyak sayur, kecap, wah wah… Terpaksa saya nombokin pakai duit tabungan.
Baru ngerasain deh berempati sama rakyat jelata. Sembako itu ternyata mahal euy. Dan uang 50 ribu itu sudah menurun nilainya ketika dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Akhirnya untuk menyiasati, saya terpaksa masak menu tanpa daging atau ayam. Paling banter cuma beli ceker ayam buat kaldu. Mau beli ikan aja mikir-mikir pengiritan. Jadilah selama ditinggal mamah, orang rumah pada kekurangan gizi. Kqkqkq…
Biasanya si mamah bisa masak opor ayam, ayam goreng, semur ayam, semur daging, sambal goreng tempe-ati-jantung, dsb. Tapi yang ada sekarang cuma tempe goreng, tempe goreng tepung, tahu goreng, tahu goreng tepung, telur dadar, mie goreng, sambal goreng tempe, sambal goreng tahu, pokoknya gak jauh-jauh dari tempe sama tahu.
Yah… masih bersyukur sih karena toh masih bisa makan dengan nasi, sayur dan lauknya. Tapi sayangnya saya pun tak pandai-pandai amat memasak. Jadi daripada rasanya kacau, saya lebih suka menyerahkannya pada si Yani, orang yang bantu nyuci-nyetrika di rumah. Untuk urusan belanja saya minta bantuan pada Mas Ki, orang yang kami minta bantuan untuk menjaga rumah ketika kami semua beraktivitas dari pagi hingga malam di luar rumah.
Pernah suatu hari, saya minta tolong Yani untuk masak sayur asem. Dan rasanya benar-benar nikmat. Pas saya tanya bumbunya apa saja, Yani menjawab, “Ya itu…paling cabe, terasi, bawang merah… gitu-gitu dah...” Dan mikirlah saya. Perasaan saya kalau masak sayur asem juga seperti itu bumbunya. Tapi kenapa rasanya tak seenak buatan Yani ya :( *minder*
Tapi Yani itu kalau masak gak bisa lepas dari vetsin dan bumbu penyedap. Walau saya sudah berulang kali mengingatkan dia untuk tidak usah memakainya, tetap saja, sayur yang dimasak berasa banget bumbu penyedapnya -_-‘ Jangan-jangan jadi tumpul semua dah ni otak…
Beberapa kali saya pun turun ke dapur. Baru tadi siang saya masak tumis buncis dan balado telur plus tahu. Semua bahan sudah tersedia di kulkas, cuma cabe merah aja yang menipis persediaannya. Akhirnya Mas Ki saya mintai tolong membelinya di warung sebelah.
Tapi ternyata cabe merah habis dan hanya ada cabe giling. Ya sudahlah, pake yang ada aja. Begitu saya buka bungkusan cabe giling itu… Mhhhh…baunya aneh! Agak asam dan sedikit bau busuk gitu.
“Emang begitu baunya cabe giling…” kata Yani. “Hiyhh… jangan-jangan cabe busuk dicampur juga ya, Yan…” kata saya. “Iya kali..”
Lalu saya pun menumis buncis dan wortel, kemudian dilanjutkan dengan memasak balado telur dan tahu. Tumis buncisnya enak, walau tidak memakai bumbu masak! :D Tapi ketika balado telur tahunya sudah jadi dan saya cicipi… “Set dah… Yan! Pedes banget! Amit-amit pedesnya!” Si Yani cuma nyengir-nyengir gak jelas. Dan tidak hanya pedas rasanya, tapi balado itu juga agak-agak terasa asam. Alamak… Macam mana pulak aku ngasi makan anak-anakku kelak nih… -_-‘
Sejak saat itu saya bertekad untuk tidak memakai cabe giling lagi! Biarin deh cape-cape ngulek cabe merah biasa, yang penting rasanya lebih nikmat!
Nah, kali lainnya saya sudah berangkat kerja, tapi makanan belum disiapkan. Akhirnya saya menelepon dari jalan untuk memberitahu Mas Ki supaya menyiapkan masakan.
Di wartel stasiun kereta Tebet pukul 10 pagi, saya menelpon ke rumah. “Mas Ki, sayur yang di kulkas masih ada apa aja? Lodeh, sop? Lauknya tempe sama tahu? Yaudah nanti minta tolong Yani untuk masak sayur lodeh aja ya. Sama pepes tahu. Si Yani bisa gak masak pepes tahu? Daun pisangnya tinggal ngambil di depan rumah, kan ada banyak tuh. Sama teri yang kemarin, tolong digoreng ya. Atau…….. eh, sayur sop aja deh!! Kemarin masih ada bahan perkedel jagung kan? Yaudah sama perkedel aja ya. Gak jadi sayur lodeh sama pepes tahu. Okeh… Sama Mas Ki tolongini beresin ini..dan bersihin itu.. ya. Blablabla…bliblibli…”
Begitu keluar dari box telepon umum, saya pun menuju kasir dan membayar. Disitulah baru saya sadar setelah bertemu si kasir yang menatap saya dengan wajah aneh. Oh, jadi tadi kedengeran ya saya neleponnya… Mungkin pikirnya, gak biasa-biasanya ada orang telepon ngomonginnya sayur lodeh, sop, pepes dst. Berasa ibu-ibu banget deh… -_-‘
Wehehe... Itu baru soal dapur. Begitu saya ke depan rumah, terhampar taman yang biasanya berbentuk rapi tapi sekarang mulai berantakan. Daun-daun melati dan kembang-kembang mulai lebat dan tak beraturan bentuknya. Padahal dulu mamah rajin banget mengambili daun kering sebelum jatuh dari tangkainya, lalu membentuk rimbunan pohon itu sedemikian rupa. Weleh-weleh… kerajinan banget ya si mamah…
Yah, begitulah dinamika menjadi ibu rumah tangga 40 hari. Untuk ngatur keuangan aja udah lumayan bingung. Belum lagi malem-malem saya musti mikir, besok masak apa ya, belanja apa ya yang kurang, dst, dst. Belum lagi soal listrik, telepon, kran air yang rusak, anak kucing yang kejebak di loteng, bak kamar mandi yang bautnya gak bisa dibuka, kebersihan kamar mandi, haduh-haduuhhh… ampun deh. Bener2 gak mudah jadi ibu rumah tangga! >_<
Tapi alhamdulillah itu udah dibantuin sm Yani dan Mas Ki. Kalau semuanya kudu saya yang ngerjain, waks... gak kebayang... Tapi ini jadi ajang latihan juga siiih... Semoga nanti dapet suami yang bisa bantu bayar pembantu, walau tetep aja harus pinter manage rumahnya. Heheheh… ^_^v
Menakjubkan. Benar-benar menakjubkan. Negeri yang katanya berpenduduk muslim terbesar di seluruh dunia ini, rupanya masih belum bisa melindungi hak muslim itu sendiri. Sementara sejumlah kalangan berteriak bahwa minoritas senantiasa tertindas di negeri ini, mari kita bertanya, apakah yang sesungguhnya tengah dilakukan oleh banyak perusahaan yang melarang para muslimah menunaikan kewajibannya untuk berjilbab, sekali lagi, di negeri yang katanya mayoritas penduduknya adalah umat Islam!
Saya pikir itu isu basi. Hal yang tak semestinya muncul lagi. Tapi beberapa pagi lalu, sebuah televisi swasta menayangkan kasus baru lagi.
Beberapa tahun silam, dalam sebuah demonstrasi memberi dukungan pada rekan-rekan mahasiswi sekolah tinggi kedinasan yang dilarang berjilbab, saya sekilas melihat debat seorang expatriate yang mengamati aksi kami di pinggir jalan, dengan rekan saya. Ujarnya, “Jilbab itu tak lebih dari simbol!”. Muntab, rekan saya yang diajak bicara oleh orang asing itu marah dan berteriak menegasikannya.
Ya. Jilbab itu simbol. Tapi tentu saja lebih dari sekedar itu, Tuan. Jilbab kami adalah identitas kami. Harga diri kami. Kehormatan kami. Dan sebagaimana para wanita mempertahankan dirinya saat ingin diperkosa, maka seperti itulah kami mempertahankan jilbab ini saat ada orang lain yang ingin menanggalkannya.
Jilbab kami memang simbol keislaman kami. Simbol ketundukan kami pada aturan Tuhan bahwa sudah sepantasnya perhiasan kami, tubuh kami, kemolekan kami, hanya boleh dinikmati oleh yang halal menikmatinya. Biarlah mereka yang melenggak-lenggokan tubuhnya, melucuti sebagian besar pakaian dan menyisakan sedikit saja kain untuk menutupi bagian-bagian vitalnya, menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Menjadi seperti apa yang orang lain harapkan; kehilangan identitas dan konsep diri yang matang.
Tapi kami tak mau kehilangan identitas kami. Bahwa kami betul perempuan, dan kami selayaknya merdeka dari tatap laki-laki jalang. Kami bukan himpunan daging yang bisa dinikmati begitu saja, atau bahkan menyodorkan diri disentuh lalat-lalat yang menjadikan ia cemar.
Dan saya masih saja terbelalak mendengar berita ini. Pekan kemarin seorang perawat wanita di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi harus menunjuk seorang pengacara hanya untuk memperjuangkan haknya karena ia dilarang mengenakan jilbab pada saat bekerja. Di Bekasi! Indonesia!
Saya tak akan heran jika itu terjadi di Prancis sana, misalnya, atau negara-negara dimana Islam menjadi minoritas. Tidak adakah hal lebih penting lainnya yang bisa mereka urus daripada sepotong kain yang menutupi tubuh kami?
Dan, oh… ternyata muslimah itu tak sekedar dilarang. Pihak rumah sakit belum puas sampai ia mendapat ancaman setiap saat atas jilbabnya, dan juga memotong tunjangan hingga tak utuh seperti yang biasa ia terima.
Lain lagi kisah muslimah di Surabaya yang juga mengalami kasus serupa. Ia diperkenankan tetap memakai jilbabnya, tapi harus memakai rok mini yang memang menjadi seragam di kantornya.
Wow! Pelecehan macam apa lagi yang akan diterima atas jilbab kami, kehormatan kami? Dan jujur saja saya jadi ingin bertanya. Jika Anda seorang artis penyanyi wanita, dan Anda sudah memakai kostum rok mini serta tank top sebagaimana demikianlah trend yang ada saat ini, apa sikap Anda saat produser Anda berkata, “Ya, boleh pakai baju seperti itu. Tapi tolong tidak usah memakai roknya” ??? Tolong koreksi saya : dimana relevansi antara suara yang menjadi keunggulan Anda (dan memang itulah yang seharusnya ditonjolkan ketika Anda memilih menjadi pe-nya-nyi), dengan kostum yang harus menampakkan, maaf, organ kesucian Anda?
Dan kemudian saya jadi ingin membedah kepala para penentu kebijakan rasialis ini, tak habis pikir dengan pemikirannya.
Apakah jilbab kami bau busuk, Tuan? Apakah jilbab kami kotor atau lusuh? Apakah kain yang menutup kepala kami ini mengandung zat atau bakteri yang mematikan? Apakah kami merugikan orang lain dengan kerudung yang kami pakai?
Benar-benar menakjubkan. Sementara sebagian besar orang mengelu-elukan kemenangan Obama yang dianggap merepresentasikan terhapusnya diskriminasi bagi ras tertentu, disini, di negeri yang 80% penduduknya muslim mayoritas ini, kami menjadi terdakwa karena menunaikan apa yang menjadi kewajiban bagi kami.
Sementara Prancis bersemboyan Liberte, Egalite, Fraternite, di saat yang sama muslimah disana menjadi bulan-bulanan polisi karena tak boleh mengenakan jilbab saat bersekolah.
Sementara Amerika memasang badan paling depan untuk menjadi simbol penegakan HAM, penjajahan mereka atas Irak dan Afghanistan terus berlangsung dan menyisakan jutaan anak yatim-piatu dan janda-janda papa nan terlantar.
Sementara Yahudi menjadi penyokong terkuat Amerika sang penegak demokrasi, pada waktu yang sama, peluru-peluru tentara mereka memecahkan kepala ribuan bayi, anak-anak, orangtua, dan membuat tempat tinggal rakyat Palestina rata dengan tanah!
Demokrasi untuk apa? Keadilan yang bagaimana? Kesetaraan untuk siapa saja?
Dan kita, detik ini, di Indonesia, Palestina, Chechnya, Pattani, Moro, masih terpasung hanya karena bertuhankan Allah, bertauhid dan memegang teguh keyakinan serta mengamalkan ajaran Islam.
Phobia akut. Menjalar menjadi penyakit kejiwaan yang berteriak lantang-lantang : Apapun bentuknya, Islam adalah musuh dan ancaman!
Betapa kerdilnya. Betapa memprihatinkannya. Tidakkah mereka butuh terapi atau pengobatan?
Baru-baru ini saya sedang menghadapi ujian. Standar ya? Namanya juga hidup. Kalau hidup gak mau dapet ujian, ke laut aja… Hehe… Dibilang ringan... yaa…sebenarnya memang tidak terlalu berat. Tapi dibilang menyebalkan, lumayan. Semacam kerikil di sepatu kita gitulah. Masih bisa buat jalan sih, tapi mengganggu.
Nah, syukurnya kemarin itu saya mendapat ‘taushiyah’ dari Andrian, seorang nasrani yang merupakan mentor bisnis saya nan ganteng tapi udah punya istri *lho*.Kqkqkqkq… (hush!)
Berhubung Andrian ini sibuk banget dan saya jarang ketemunya, jadilah hari itu saya menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dari lisannya. Pria berusia 29 tahun ini mengawalinya dengan berkisah,
“Dulu, ada seorang agen asuransi yang jatuh terpuruk karena terlilit hutang. Rumahnya sampai disita dan ia harus menggelandang di pinggir jalan. Bertemulah dia dengan para gelandangan lainnya dan hidup bersama mereka beberapa lama. Sampai suatu ketika, si penghutang berbaik hati memberinya penangguhan dan mengembalikan rumahnya selama beberapa waktu, sampai ia bisa melunasi hutang-hutangnya. Singkat cerita, rumah itu ia tempati lagi dan ia menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Suatu hari, datang seorang gelandangan yang ingin menumpang di rumahnya. Dan si agen asuransi ini mempersilakannya dengan senang hati. Toh ia hidup sendirian di rumah itu, pikirnya,”.
Sampai situ Andrian berhenti dan mengajukan pertanyaan, ”Nah, kalau Anda jadi si agen asuransi tadi, apakah ada di antara Anda yang mau begitu saja mempersilakan gelandangan masuk ke rumah Anda?”
Lalu ia melanjutkan lagi, “Hari-hari terus berjalan dan agen asuransi ini terus bekerja keras. Tak disangka-sangka, suatu hari ia bertemu dengan seseorang, yang ingin membeli asuransinya yang termahal!” Mata Andrian berbinar-binar. Dan saya mulai merasakan darah saya berdesir di dalam.
“Kisah kedua…” lanjut Andrian. “Ada sebuah toko yang menjual barang mebel. Lalu datanglah seorang nenek berkunjung ke sana. Melihat penampilan nenek yang tampak bersahaja ini, seorang pelayan hanya bertanya singkat, “Cari apa?” sambil bersikap acuh tak acuh dan cuek.
Akhirnya pindahlah nenek tersebut ke toko lainnya. Di toko ini, sang pelayan melayani nenek ini dengan begitu ramah dan santun. Disapanya nenek itu, lalu ditanyainya, kira-kira apa yang perlu dibantu. Dengan sangat melayani, pelayan itu mengambilkan barang yang dibutuhkan.Waktu terus berjalan dan suatu hari, ada seorang pengusaha kaya-raya yang ingin membeli mebel dalam jumlah besar. Ternyata pengusaha ini merupakan cucu si nenek tadi. Tanpa pikir panjang, nenek itu meminta cucunya membeli mebel di toko tempat ia berbelanja dulu yang melayaninya dengan sangat baik!”
Masih dengan bersemangat, Andrian bercerita. “Kisah ketiga…” ujarnya. “……….” Uh, saya lupa bagaimana cerita ketiganya itu. :D
Intinya, Andrian rekan saya ini ingin menyampaikan pesan,“Berilah kasih lebih banyak!!!Dan Tuhan pasti akan membalasnya dengan lebih banyak lagi!” Lalu tentu saja ada yang bergemuruh di dalam hati saya.
Ah, kalau saja tak banyak orang di situ, airmata saya pasti sudah tumpah. Pasalnya, baru-baru ini saya merasa kesal sekali dengan seorang rekan yang saya sudah bantu pun, masih tak mau bergerak sendiri di atas kakinya. Seperti mendorong kerbau yang tak bergeming sedikitpun dari kubangan lumpur tempat ia berpijak! Padahal saya ingin mendorongnya ke padang rumput yang hijau dan subur, dan ia tahu itu! Tapi Andrian mengingatkan saya.
Apakah saya sudah memberi kasih dengan tulus? Apakah saya sudah benar-benar berniat membantunya? Apakah saya sudah melakukan semuanya tanpa pamrih dan hanya benar-benar ingin menolongnya?
“Beri kasih lebih banyak dan buang egoismu! Karena kita tidak akan bisa sukses jika egois dan tidak membantu orang lain!”
Sore itu, saya memungut hikmah yang tercecer dari seorang nasrani bernama Andrian. Dan seringkali ia membawakan nasihat yang kalau saya tafsirkan dalam bahasa saya, intinya tentang meluruskan niat.
Saya jadi berkaca. Perasaan saya hari itu memang cukup negatif. Kesal, gemas, geregetan, campur aduk semuanya. Bayangkan! Rekan saya itu bermasalah, lalu ia mengadu pada saya. Lalu saya coba menawarkan solusi. Tapi ternyata ia malah memilih untuk berkubang dengan masalahnya dan tak mau bertindak!! Ugggghhh… gemesssss! >_<
Makanya, kata-kata Andrian hari itu seperti siraman ruhani buat saya. Dan saya paham betul, ia sudah mengalami tempaan yang mengharuskan ia melakukan nasihatnya terlebih dahulu, sebelum menyampaikannya pada saya dan rekan-rekan lain. Maksud saya, saya tahu benar bahwa Andrian punya integritas; tidak lagi sekedar cuap-cuap berteori, apatah lagi ‘ngemeng’ dalam konsepsi-konsepsi yang hebat tapi kosong implementasi.
Dan tak jarang saya teringat pada kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Lihat apa yang dikatakan. Jangan lihat siapa yang mengatakan”.
Dalam pengamatan saya, terkadang Andrian yang nasrani itu jaaauh lebih konkret mengaplikasikan teori sikap positif daripada saya yang notabene muslim ini, yang kesemua konsepnya sudah tercakup dalam ajaran Islam, terdokumentasikan dalam Al Qur’an, dan juga sudah dicontohkan lebih dulu oleh Rasulullah saw, sang teladan sepanjang zaman.
Sayangnya, saya pribadi terkadang masih sulit bersikap positif, dan naasnya, banyak muslim yang saya temui sehari-hari, juga demikian! Jago bicara soal konsep ukhuwah, tapi bergesekan sedikit dengan saudaranya, jadi sangat mudah kecewa. Pandai menyitir ayat tentang mengubah keadaan diri sendiri, tapi amat sangat minim aksi.
Jika Mario Teguh mengibaratkan Islam sebagai tipe komputer tercanggih dengan software terlengkap, dan agama lainnya sebagai tipe komputer yang tidak selengkap dan secanggih Islam, maka tak lebih, saya hari ini belajar dari Andrian yang nasrani dengan segenap kemanusiaan saya. Ceceran hikmah itu ada pada fithrah Andrian yang hanif. Lurus. Bening.Dan cahayanya tak padam-padam, malah akan terus bersinar.
Mengomentari hal ini, rekan bisnis saya yang lain malah berkata, “Itulah bedanya. Andrian itu seperti mutiara. Sayangnya, ia masih berada di lumpur dan belum menyadarinya.”
Kita yang muslim, mungkin memang berlian. Tapi coba pikirkan. Betapa seringnya kita sibuk menggores diri sendiri, membiarkannya cacat dengan perilaku negatif dan bukannya malah memancarkan cahaya…
Big thanx to Pak Andrian atas nasihat dan inspirasinya :) ~Monday, 10.11.08, 08:24am.
pictures are taken from:www.cardiophile.com thx soo much. maaf ndak ijin yo..
Pertanyaan itu sudah terpikirkan sejak lama sebenarnya. Buat
apa nge-blog? Tapi kemudian mencuat lagi setelah perbincangan saya dengan seorang teman beberapa waktu lalu. Saya bukan pemantau rutin blog beliau. Ketika saya menanyakan perkembangan blognya, dengan mimik serius dia mengatakan, ”Blog saya sudah saya hapus,”.
Lho, mengapa?
”Blog jadi menimbulkan banyak fitnah... gak ikhlas, takut riya’ dan merasa bagus...” demikian ujarnya.
Alasan dibalik itu yang kemudian membuat saya berpikir.
Saya sudah gelisah sejak lama. Apakah saya harus berhenti menulis? Apakah secara ekstrim saya hapus saja jejak-jejak eksistensi saya dalam bentuk tulisan yang ada? Apakah saya lebih baik tidak usah menuangkan pikiran dan mengenyahkan aktualisasi diri serta turunannya?
Teringat saya tiba-tiba pada perkataan Fudhail bin Iyadh. Ujarnya, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya', sedangkan beramal karena manusia adalah kesyirikan. Adapun yang namanya ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya," (Maksud beliau adalah apabila ada seseorang meninggalkan amal kebaikan karena takut riya', seperti dia tak mau shalat sunnah karena takut riya', berarti dia sudah terjatuh pada riya' itu sendiri. Yang seharusnya dilakukan adalah tetap melaksanakan shalat sunnah walaupun di sekitarnya ada orang, dengan tetap berusaha untuk ikhlash dalam amalnya tersebut.Lihat Tazkiyatun Nufuus karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hlm.17, dengan beberapa perubahan).
Saya tahu blog memang berpotensi menimbulkan fitnah (keburukan –red). Bentuknya bisa macam-macam. Mulai dari fans lawan jenis, musuh, penyakit hati, dan lain-lain. Tapi, blog juga berpotensi bessssarrr sekali dalam menyebarkan pemikiran, me-leading kognisi, dan bahkan juga menciptakan budaya menulis yang kreatif, segar, imaginatif, yang kesemuanya saya maksudkan dalam bingkai yang positif. Setuju apa setujuuu...? :)
Nah, ujian berikutnya muncul dari komen para pembaca tulisan kita. Katanya, blog yang bagus pasti banyak pengunjungnya. Logika ini juga berlaku dalam seberapa banyak jumlah komentator tulisan-tulisan yang kita posting.
Pertanyaan saya, apakah benar banyaknya komentar mengindikasikan bahwa tulisan kita bagus? Dan sebaliknya, apakah sedikit atau tidak adanya komentar juga menandakan bahwa tulisan kita buruk?
Ah, kalau parameternya sesederhana itu, betapa kasihannya saya dan mereka yang menulis hanya untuk mengharapkan komentar dari orang-orang :)
Lagi-lagi saya teringat pada hadits yang tak pernah usang dibahas ini. "Sesungguhnya amal itu tergantung niat.....” (Hadits Bukhari Muslim dengan sanad yang shahih).
Nah, sebagai muslim, tentu saja kita ingin apapun yang kita lakukan bernilai ibadah. Berwujud amal sholih. Wong aktivitas mandi yang sesepele itu juga bisa bernilai ibadah kok. Kan menjaga kebersihan merupakan sebagian dari iman... (wah, kalau selama ini kita mandi cuma begitu aja gak pake diniatin buat ibadah, sayang banget ya..).
Apalagi menulis yang niatnya menyebarkan nilai-nilai positif dan berbagi pada sesama.
Yang sangat memprihatinkan buat saya, sejak awal ngeblog, saya tidak pernah habis melihat postingan-postingan yang isinya hujatan dan caci-maki. Rasanya kalau masuk ke blog itu, energi saya terserap begitu banyak. Pulang dari sana, hati saya mendadak jadi capek luar biasa.
Dulu saya juga pernah komplain dengan seseorang sambil menyebut namanya di blog saya. Berharap dia membaca, malu karena keburukannya saya kupas, dan kemudian saya berharap para pembaca berpihak pada saya. Saya sungguh puas!! Tapi saya sudah menyakiti orang lain dan juga menyebarkan kebencian padanya.
Adalah aman bagi saya jika ia adalah orang yang pemaaf. Tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika di hari kemudian ia menuntut saya, lantas amal kebaikan saya berpindah kepadanya?
Tak sedikit pula yang mengomentari fenomena sehari-hari, lalu menuangkan opini negatifnya atas fenomena tersebut, lalu memancing sekian banyak komentator yang tak kalah negatifnya. Duhhh... rasanya dada saya jadi sesak setelah berkunjung ke blog itu.
Apalagi kalau isi maupun komen-komennya diimbuhi dengan hujatan, caci-maki, perasaan tak suka, atau kata-kata kotor, yang terekspos sedemikian rupa. Jengah!!
Jika kita memang tulus untuk mengingatkan, mengapa tak langsung saja menyampaikannya kepada yang bersangkutan? Apakah kita juga suka jika orang lain mengingatkan atau membuka aib dan kesalahan kita di depan khalayak ramai?
Rasa-rasanya saya tak yakin ada di antara kita yang menyukainya.
Lagi-lagi saya mengurut dada. Semua kembali pada niat masing-masing. Jika tidak bisa menebar manfaat, semoga kita tak perlu menjadi mudharat. Jika tak bisa menyemai kebaikan, semoga kita juga tak perlu menjadi sumber munculnya keburukan.
Dan barangkali kita juga perlu waspada. Jangan-jangan, perbuatan yang selama ini kita anggap baik, ternyata sama sekali tak bernilai!
Alih-alih merasa bangga bersinar di hadapan manusia, ternyata kita tak lebih dari seonggok sampah di hadapan-Nya...
Dan merugilah kita... merugilah kita...
~mengingatkanDiriSendiri...
Mohon maaf buat yang sudah terzhalimi selama saya ngeblog ya :’(
When you get caught in the rain with no where to run When you're distraught and in pain without anyone When you keep crying out to be saved
But nobody comes and you feel so far away
That you just can't find your way home
You can get there alone
It's okay, what you say is
I can make it through the rain
I can stand up once again on my own
And I know that I'm strong enough to mend
And every time I feel afraid I hold tighter to my faith
And I live one more day and I make it through the rain
And if you keep falling down don't you dare give in
You will arise safe and sound, so keep pressing on steadfastly
And you'll find what you need to prevail
What you say is
I can make it through the rain
I can stand up once again on my own
And I know that I'm strong enough to mend
And every time I feel afraid I hold tighter to my faith
And I live one more day and I make it through the rain
And when the rain blows, as shadows grow close don't be afraid
There's nothing you can't face
And should they tell you you'll never pull through
Don't hesitate, stand tall and say
I can make it through the rain
I can stand up once again on my own
And I know that I'm strong enough to mend
And every time I feel afraid I hold tighter to my faith
And I live one more day and I make it through the rain
I can make it through the rain
And I live once again
And I live one more day
And I can make it through the rain
(Yes you can)
You will make it through the rain
Jilbab? Pake yang panjang atau yang pendek ya... Yang panjang aja deh. Hayo...niat pake yang panjang buat apa nih... Biar dibilang 'akhwat solehah'-kah... atau biar gak keliatan bentuk tubuhnya... atau biar keliatan lebih anggun, lebih santun, lebih cewek... atau biar dibilang lebih pinter agamanya daripada yang jilbabnya pendek... atau biar lebih cantik... atau biar apa hayoo...
***
Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik paling kecil” Para sahabat bertanya : “Apa yang dimaksud syirik paling kecil itu?” Beliau menawab : “Riya`” (HR Ahmad no 22742 dan Al Baghawi. Syekh al Albani berkata : sanadnya baik (jayyid) (lihat Silsilah Hadits Shahihah no 951)
Rona merah terbias berpadu kuning mentari, memendarkan eksotika cahaya yang seringkali mampu menggubah hati tiba-tiba, menjelma pujangga. Tenggelam sang surya ke peraduan, membiarkan abu-abu kemudian menutup cakrawala, menyambut selimut temaram sang malam. Dan panggilan Tuhan lalu berkumandang.
Tertipu kita. Selalu muncul sangka bahwa matahari berpulang dan besok ia akan muncul lagi menjalankan tugasnya. Tapi sekali-kali tidak. Nyatanya himpunan pijar api itu tak pernah berhenti terbakar. Dan ia tak pernah memudar. Hanya saja bumi yang memutar posisi. Berkeliling tak henti. Menaklukkan retina yang tak dapat melongok lebih dalam kemana siang atau malam turun atau tenggelam. Menyuguhkan waktu yang sedemikian tertata rapi, sekedar menegaskan bahwa siangmu sudah selesai, atau pagimu baru saja dimulai.
Walau demikian, binar tajam itu tak dapat menunggu. Ia hanya peduli dengan apa yang tertera di depan mata. Perputaran buana masih setia dengan 24 jamnya, tapi tak sudi ia memikirkan kemana mentari menghilang, dari mana pula rembulan selalu datang. Ada jutaan tugas yang lebih penting dari sekedar menulis roman, melukis senja, atau berasyik-masyuk menunggu purnama.
Jika tugasnya hanyalah terbang dan terus terbang, mengapa ia harus berpikir dan duduk santai sementara ada yang menunggu dengan lapar tertahan? Secepatnya, sebelum rembulan datang, ia harus pulang membawa buruan. Tak apa jika berlelah-lelah di waktu pagi dan siang, meskipun harus berulang kali memutar haluan.
Hari itu langit berpadu dalam biru dan putih yang berkilauan. Kiranya optimisme menggetarkan angkasa dan bumi, karena atas dasar kasih ia harus pergi mencari. Lembaran demi lembaran awan yang bertebaran, memaparkan terbentangnya sekian banyak ruang berikhtiar.
Tapi sayang.
Setengah perjalanan, nalurinya mencium firasat yang membuat hati tak nyaman. Ada hitam menggulung di kejauhan. Ada bau sejuk dingin yang tercium, dan udara seketika menjadi lembab pekat, bergumul dalam resah yang kian menguat.
Dan hujan mulai berjatuhan.
Tapi ia tak punya alasan untuk kembali pulang.
Kaki kukuhnya telah melangkah. Sepasang sayapnya telah mengepak gagah. Dan pekiknya telah membahana, menebar gigih yang menerabas keraguan atas segala rintangan. Ada yang menunggu. Dan ia tak mungkin kembali tanpa hasil signifikan.
Terbang ia.
Dan tak dihiraukannya tetes demi tetes yang semakin mengair bah dari langit, juga kilat yang menyambar-nyambar tubuh hingga menembus ke kulit.
Ada yang menunggu. Ada yang menanti. Dan tak mungkin ia kembali tanpa hasil meski sedikit.
Tapi ia memang hanya mampu berusaha. Kuasa Penciptanya jauh lebih kuat dari sekelumit ikhtiar, lebih rumit dari apa yang selama ini ia rencanakan. Gempita badai hari itu terlalu sulit ditembus. Guntur yang bersahut-sahut serasa menulikan telinga yang mulai kuyup. Apakah ia harus berkeras-keras mendapatkan makan, sementara jika diperolehnya pun, belum tentu ia akan selamat kembali pulang?
Dikepaknya lagi sayap kokoh itu. Ia tahu tugasnya hanya memaksimalkan usaha. Selebihnya, biarlah Yang Maha Melihatnya hari itu yang menentukan hasilnya.
Tetapi angin mempermainkan tubuhnya yang semakin limbung, lalu gelegar guntur nyaris menyambarnya tanpa ampun, membuat ia berkelit, dan tak lama terhuyung jatuh menukik.
Ah. Barangkali kali ini ia memang harus menyerah. Adalah konyol untuk memaksakan diri memenangkan hati, tapi setelah menang ia mungkin mati. Untuk apa berarti kini, dan esok yang tersisa hanyalah penyesalan di hati?
Lunglai, tubuhnya yang kehabisan tenaga memutar arah. Jika tidak hari ini, tentu ada esok hari. Jika gemuruh petir itu sulit tertandingi kini, barangkali esok malah muncul pelangi.
Pulang, tiba ia di hadapan cintanya.
Adakah apologi yang dapat dikemukakan tanpa harus berdusta?
Seraya menahan sakit dan gemuruh rasa bersalah di dada, suara sengaunya akhirnya berkata,
Lepas musim kemaraumenuju penghujan, biasanya nyamuk-nyamuk bermunculan di rumah. Dulu saya mengusir nyamuk-nyamuk itu dengan sempyok, sebutan untuk sapu lidi yang agak ceper, yang biasa digunakan untuk membersihkan kasur. Belakangan ternyata lebih mantap dengan menggunakan raket listrik. Karena sekali kibas, biasanya nyamuk itu akan menyangkut di raket karena tersetrum.
Malam itu saya memperhatikan si nyamuk tersetrum sedemikian rupa.
Seluruh tubuhnya, dari kaki, sayap hingga badan, lumat dialiri listrik sampai benar-benar gosong. Lalu dengan serta-merta pikiran saya melanglang buana, berempati terhadap si nyamuk yang malang itu.
Bagaimana rasanya jika saya ada di posisi nyamuk tersebut?
Terjerat tak bisa lepas dari jaring raket yang besar, lalu tersetrum berulang kali sampai tubuh ini hangus menjadi rangka. Sempat suatu kali saya tersetrum raket itu sekilas, dan rasanya lumayan sakit.
Dan Anda tahu?
Saya sedang memikirkan daya listrik macam apa yang mungkin disediakan neraka di hari akhir nanti. Saya sedang memikirkan, mungkin seperti itu pula kondisi saya saat disiksa: tak bisa melarikan diri, meronta tapi percuma, dan sisanya hanya tinggal tulang-belulang atau mungkin debu beterbangan.
Di film Volcano, visualisasi saya tentang neraka jauh lebih tergambar. Camouran api dan batu yang dimuntahkan gunung berapi, niscaya mampu membuat rangkaian tubuh kita lumer dalam sekian puluh menit. Itu api dunia. Lalu bagaimana dengan api neraka?
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw bersabda,
"Sesungguhnya siksa dalam neraka Jahim ialah dituangkan air yang mendidih di atas kepala orang-orang yang durhaka itu, kemudian terus masuk ke dalam sehingga menembus ke dalam perut mereka, kemudian keluar segala isi yang ada dalam perut itu sehingga tampak meleleh dari kedua tapak kakinya. Ini semua cairan yang berasal dari isi perut. Selanjutnya dikembalikan lagi sebagaimana semula".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan sahih.
Seringkali, dalam keseharian yang nampak sepele, saya membayangkan bagaimana nasib saya di akhirat kelak. Tidak usah jauh-jauh. Saat menuangkan air mendidih dari ketel ke termos, biasanya imajinasi saya langsung berlari kepada bayangan tentang neraka ketika melihat dan merasakan uap dari air di ketel yang sangat panas. Uapnya saja panas, sobat. Apalagi airnya! Dan itu baru dunia, bukan neraka!
Ketika bersinggungan dengan hal sepele macam itu, entah raket nyamuk, ataupun air mendidih, misalnya- hati saya selalu tergetar. Lalu pesimisme menyeruak tiba-tiba dan rasa takut mencuat tanpa diminta. Mengingat dosa saya yang banyaknya masya Allah, saya pesimis bisa langsung ke surga tanpa masuk neraka terlebih dahulu.
Betapa menjijikkannya saya ini…
Betapa tak terhitungnya kesalahan yang sudah saya perbuat... :’(
Saya tak merasa pantas membandingkan dengan titik-titik ekstrim lain, semisal masih ada pembunuh yang mungkin lebih berat daripada saya yang alhamdulillah belum pernah membunuh orang. Ini bukan soal perbandingan siapa yang lebih banyak dosanya. Tetapi saya sedang bicara tentang hukuman apa yang akan saya terima atas kesalahan-kesalahan yang saya anggap cukup besar bagi saya.
Bicara soal amal, benar bahwa kita mungkin juga melakukan kebaikan. Tapi yakinkah kita amal-amal itu dilakukan dengan benar dan ikhlash? Seberapa besar ia akan diterima? Seberapa banyak ia akan menjadi pemberat timbangan ?
Maka saya –selain memohon ampunan dan masih jua berharap pada kemurahan-Nya- berharap pada jalan lain yang bisa meloloskan saya dari siksa akhirat itu.
Jawabannya hanya satu : syahid.
Ya, meninggal dalam keadaan syahid; ridha lagi diridhai.
Hati saya merinding acap teringat kata yang satu itu.
Siapa yang tidak ingin menemui Robb-nya dengan jalan yang mulus, dengan lapang dan gembira ria, diliputi sukacita dan haru-biru menyongsong surga?
Tapi... saya… pantaskah?
Untuk menjadi syahid, ada beberapa kemungkinan.
“Muslim yang mati terbunuh adalah syahid, dan mati karena penyakit kolera adalah syahid, begitu pula perempuan yang mati karena bersalin adalah syahid (anaknya yang akan menariknya dengan tali pusarnya kesurga)"(HR. Ahmad, Darimi, dan ath-Thayalusi).
Dari Jabir bin Atik dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda:
“Syuhada itu ada tujuh selain orang yang gugur berperang fi sabilillah ( di jalan
Allah) yaitu: [1] Orang yang mati ditusuk adalah syahid, [2] mati tenggelam
adalah syahid, [3] mati berkumpul dengan istri adalah syahid, [4] mati
sakit perut adalah syahid, [5] mati terbakar adalah syahid, [6] mati tertimpa
reruntuhan adalah syahid dan [7] wanita yang mati melahirkan anak adalah
syahid”.
[Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim dalam kitab Mustadraknya dengan
komentar hadits ini sanadnya shahih. Pendapat ini di setujui oleh Adh-Dhahabi]
Tak terbayang di benak saya seperti apa ketika berhadapan dengan musuh Allah, langsung wajah dengan wajah! Indonesia rupanya cukup memberikan zona nyaman yang membuat saya bahkan tak mampu merasakan hawa medan perang yang membuat mata dan hati terjaga senantiasa, insecurity yang mengharuskan kita tegang setiap saat, dan semacamnya. Walau Palestina cukup konkrit menggambarkan situasi perang, tetapi saya masih belum bisa membayangkan berada dalam suasana itu.
Begitu juga dengan wabah penyakit, kolera, dsb. Saya pikir itu musibah, sesuatu yang menimpa. Terlalu naïf rasanya jika meminta musibah. Apalagi disongsong, disambut dengan
riang-gembira. Kesempatan ini bagi saya juga lumayan kecil peluangnya.
Satu hal yang merupakan peluang besar yang bisa saya ambil adalah… meninggal saat bersalin dan melahirkan anak.
Sungguh, saya tidak tahu lagi dengan cara apa bisa terhindar dari amuk dan dahsyatnya siksa neraka atas dosa-dosa saya, jika tidak dengan mati syahid.
Bolehkah saya berharap?
Oh, rindu itu demikian menggelegak di dalam sini!
Untuk Robb-ku, apapun akan kulakukan!
Jadi bolehkah saya bersiap?
Jika benar terjadi, niscaya akan saya dorong suami saya kelak untuk mencari ibu pengganti bagi anak-anak kami.
Didiklah anak itu dengan cinta, Suamiku. Jadikan ia himpunan keshalihan yang akan menghantarkan doa agar aku dan dirimu meninggi derajatnya di hadapan Pencipta kita. Jadikan mereka benih yang akan menyuburkan bumi Allah ini, dan tumbuh-kembangkan mereka sebagai pembela-pembela agama-Nya…
Ya.
Saya tidak tahu lagi dengan jalan apa.
Tapi sungguh…
Saya juga ingin menyongsong kemuliaan sebagai penutup kehidupan saya di dunia yang fana ini… dan mungkin, meninggal saat memperjuangkan kelahiran buah hati adalah momentum serta kesempatan yang bisa saya raih!
Ya Allah, Engkau tahu luapan rindu di dalam sini…
Engkau tahu bagaimana harap dan cemas atas dosa dan amal selama ini…
Maka perkenankanlah… matikanlah kami dalam syahid… dalam keadaan ridha pada-Mu… dan Engkau pun meridhai kami. Aamiin…