Dec 17, 2007

Sakaratul Maut



Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
"Maafkanlah, ayahku sedang demam",kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,

"Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah.

Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
"Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangankhawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:
"Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku" "peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii,ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi.

***
bismillah...

aku bersyukur sekali bisa menyerupai Fathimah kala ia mendampingi detik-detik terakhir ayahnya SAW sebelum berpisah dengan dunia...

ayahku...
aku mendampinginya sampai ia menutup mata...

aku mentayamuminya dan membimbingnya sholat Isya'... untuk yang terakhir kalinya.
aku memperhatikan dengan seksama saat hidungnya berubah sedingin es walau kening dan pipinya demam dan menghangat...
aku menyaksikan penderitaannya menarik nafas dengan tersengal sejak 24 jam sebelum kematiannya...
aku juga mentalqikannnya dengan kalimat syahadat...
dan aku melihat dengan mata-kepalaku sendiri bagaimana ia menghadapi sakaratul maut, meregang nyawa dalam rasa sakit yang tak bisa ia katakan..

demi Zat Yang Nyawa-nyawa kita berada dalam Genggaman-Nya...
mari bersiap sekarang juga...

***

“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang”
(HR Tirmidzi)

“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?”
(HR Bukhari)

“Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa”.
(Ka’b al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)


gbr dari http://earthobservatory.nasa.gov/Newsroom/NasaNews/2005/2005011118157.html
maaf ga ijin...

Dec 15, 2007

Berita Duka

Assalaamu'alaikum WrWb,

Telah berpulang ke Rahmatullah Ayahanda dari Indra Fathiana pada hari Jum'at (14/12/2007) pukul 23.00 wib.

Mohon do'a agar almarhum diampuni dosa-dosanya oleh Yang Maha Kuasa,
Mohon dima'afkan apabila ada kesalahan almarhum semasa hidupnya, dan jika ada hutang, mohon disampaikan.

Juga mohon do'a agar keluarga dan kerabat yang ditinggalkan mampu mengikhlashkan dan diberi kesabaran serta kekuatan dalam menghadapi ujian ini.

(posted by: Nuri Sadida, based on approval of Indra Fathiana)

Wassalaamu'alaikum WrWb


-udahDieditDikitSmYgPunya.makasihYa,Nuy...

Dec 6, 2007

Semusim Berlalu, Seperti Setahun Lalu

Semusim berlalu, dan penghujan telah tiba rupanya. Trilyunan partikel CO2 beterbangan dihempas banyu yang mengguyur serta-merta, menari di tengah riuh dan berjejalnya mesin-mesin pemadat jalan raya.

Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, awan kelabu seketika menggantung di cakrawala dan menerbitkan gundah pada degup-degup ketidakpastian yang masih saja melanda.

Seperti jua setahun lalu di masa yang sama, pada rinai hujan yang sama, pada rintik gerimis yang sama, pada saat itu, kepasrahan bermuara pada satu penyerahan total: bahwa segala hal tak lagi dapat diputuskan dengan semena jiwa.

Pada gurat abu awan yang sama, langit hitam yang sama, pada masa itu pula, kesudahan adalah ketika keinginan tiada lagi diperturutkan: karena kuasa tak pernah dapat dikendalikan seenaknya.

Tahun ini, di musim yang sama, juga pada penghujan yang sama, gulana tak jua beranjak menemukan tempat berlabuhnya. Pada pelayaran melalui karang-karang kemarau, juga buih-buih air bah yang membanjirbandangi bulan demi bulan, belum juga terlihat dimana, atau kapan jangkar itu perlu dilemparkan hingga terkait di dasar samudera.

Haruskah karam menjadi jawaban ketika sekian banyak gelombang waktu justru semakin mendekatkan pada kepastian yang selama ini dikembarakan?

Betapa angkuhnya, ketika persinggahan menjadi begitu melenakan hingga tak lagi ingat mana fatamorgana, mana pula realita. Ketika bahtera berhenti sejenak di atas ketenangan ombak kehijauan, luput sudah kesadaran bahwa palung menjorok di kedalaman telah bersiap menenggelamkan. Dan pada akhirnya, di saat bersamaan, gelombang menggulung dan badai bersahutan meluluhlantakkan semua perbekalan.

Sia-sia sudah haru-biru pasrah dan kerinduan dalam tunduk yang meleburkan segala hasrat ketika itu, hingga pertahanan demi pertahanan terkoyak-moyak dalam rasa sakit yang terus menderu.

Rapuh...

Perlu sekian waktu rupanya, menjegal dan memenjarakan semangat yang salah tempat.
Jika memang hujan membuat sayap-sayap teguh itu patah, patutkah kepayahan
ini membela diri hingga jatuhnya ke jurang tampak sebagai hal yang biasa?
Pula, belum sem
pat pulih itu kembali sedia kala, binar cahaya di dasar bumi membuat silau dan lagi-lagi, lagi-lagi!, menggeret sejuta luka yang merah darahnya menghangat tersiram cuka!
Tidakkah degil itu dapat terhenti jika memang belum tiba waktunya meregang nyawa?
Tidakkah jera mencuat saat pecut itu mengena dan meninggalkan gores-gores yang tak bisa luntur bekas sayatannya?

Pada hujan dan dingin deru angin yang sama,
Pada pergantian cuac
a yang tak pernah terkira,
Juga pada pancaroba yang menerbangk
an harap bercampur cemas luar biasa,
Disinilah kiranya karam sang bahtera.

Jikalau matahari tak menembus lapis demi lapis samudra,
Atau nafas sesak itu tak tergesa-gesa meminta haknya,

Adakah sadar itu hidup untuk kesekian kali, mencari dimana sesungguhnya tempat berpijak hakiki?

Ruang demi ruang adalah medan tak berkepastian.
Pula masa demi masa yang masih nyata dalam penglihatan.
Seandainya batas itu diproklamirkan, tentu tak lagi ada kesungguhan tuk merajut keterbaikkan. Saat garis cakrawala membaur dengan sapuan angkasa, tak akan sanggup tertebak kapan saat akan be
rhenti, kapan pula saat akan menepi.

Maka yang terus terlihat adalah biru, abu-abu, serta gelap gelombang yang menerjang kuatnya cengkeraman. Atau kelebat angin yang menampar hebat di tiap kayuhan.
Atau juga godaan karena kelelahan, hingga muncul kemenyerahan : inilah masa dimana sang pecundang menjemput kematian.

Kalah.
Jatuh.
Hina.
Dan tentu saja,

mati sebelum waktunya.


**

Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.
Hanya saja harus ada beda antara gerak kayuh hari ini dan hari itu.
Seperti juga kesadaran bahwa berhenti sama dengan menjadi rugi, begitu pula halnya bila berjalan tertatih
-tatih.

Jika faham sudah bahwa perjalanan trilyunan kilo tak dapat ditempuh dengan jiwa nan rapuh, maka sudah sepantasnya tegak itu disandang dengan terus mengukuh. Tenggelamlah jika memang menginginkan pasir-pasir hitam menjadi bangunan kehidupan yang goyah. Pada saat satu-persatu maju memberikan persembahan, ucapkan selamat tinggal pada sekian kali dungu yang tak mau belajar dari kesalahan.

Sehingga selanjutnya,
Jika terik surya harus menjadi teman, dan gelombang pasang menjalin persahabatan, lalu gulita semesta serta amukan badai merapat menjadi bagian perjalanan, haruskah karam menjadi pilihan?

Terus kayuh bahteramu meski musim demi musim juga acap berlalu. Dua kemarau dan dua penghujan seharusnya cukup menjadi kesempatan.

Walau perih kepalmu menggenggam kemudinya,
penat jiwamu menanti akhirnya,
dan nyaris pecah batinmu mengemis sejatinya cahaya,
Pada akhirnya, perjumpaan akan menjawab segala tanya.
Persuaan akan mengubur segala luka.
Dan percaya, ribuan kali ujian masih tak sebanding membayar harga mahalnya.
Ratusan badai masih tak setara dengan nikmat tak terkira.
Karena memang, kesucian tak pernah meminta kecuali teb
usan yang sama.


Semusim berlalu, seperti juga setahun yang lalu.

Masih ada gerimis yang sama.
Juga binar mentari yang tak kunjung berubah pula.
Maka tetap tegakkan kepala, dan melangkahlah lebih baik dari sekian putaran masa.
Kelak gugur dedaunan, hembusan angin kencang, serta kemarau penantian, surut menghempas gigih bangkitmu dari ketenggelaman, berganti semi yang menyemaikan kesyukuran: Dan perjalanan bahteramu menjadi usai.




August2007,diiringDentingPianoKevinKernDalamAnotherRealm-EnchantedGarden-nya.
~Allahumma,tsabbitQolbi’Aladdiinik,shorrifQolbi’alaththo’atik...


gbr dari
http://www.squirrelldesigns.co.uk/another%20rainy%20day.html
http://www.hickerphoto.com/pacific-ocean-picture-8773-pictures.htm
lifesymphony.blogfa.com/
http://www.pocketpcmag.com/SuperCD/CFreeThemesVGA.aspx
http://www.fortoldningsafdelingen.dk/fortoldninger.htm

maaf ga ijin...

Nov 28, 2007

Semoga

bismillah...

Lagi suka dengerin lagunya Kla Project yang ini...

Merenungkanmu kini, menggugah hariku
berbagai kenangan berganti, masa yang t'lah lalu
sebenarnya ku ingin menggali hasrat untuk kembali

Melukiskanmu lagi di dalam benakku
perlahan terbayang pasti garis wajahmu
kehangatan cinta kasih dapat kubaca jelas di situ

Adakah waktu mendewasakan kita
kuharap masih ada hati bicara
Mungkinkah saja terurai satu persatu
pertikaian yang dulu bagai pintaku
semoga...

(Semoga - Kla Project)


~andIRememberABunchOfYellowRoses...
wed, 28.11.07;02.45pm


Nov 27, 2007

Warisan Dendam

Bismillah…

Oktober 2007. Pagi itu aku menemani mamah pergi ke bank syariah di bilangan Matraman. Setelah lama menunggu antrian, aku segera menemui petugas frontline-nya. Sambil mengurus ini-itu untuk mengambil sejumlah uang, si petugas tiba-tiba bertanya pada mamahku.

“Ibu E, ya?”
Mamahku yang tengah melamun, terkejut. Pasalnya ibuku tidak menunjukkan identitas apapun.
Sambil mengamati sang petugas, beliau menjawab,
“Iya… Mas siapa ya…”
“Saya Ri, anaknya Pak Z…”

Seperti adegan film yang dihentikan tiba-tiba, selama beberapa detik mamahku mematung. Aku juga terkejut, tetapi masih bisa mengendalikan diri. Aura tak enak segera memenuhi segitiga itu: aku, mamah dan mas Ri tadi.

Si Ri jadi kikuk. Untung mamah segera mengucap sepatah kata.
“Oohh… Ri ya… anak Pak Z… sudah lama disini…?”
“Lumayan, bu. Sudah 6 bulanan… Gimana kabar Bapak, Bu?”
“Bapak baik… Oh jadi Ri disini sekarang…”
Dan obrolan basa-basi pun berlanjut. Meski rumah R hanya berbeda 200an meter dari rumahku, keluargaku sama sekali tak pernah memperhatikan mereka.

Aku diam saja di tengah percakapan itu. Menunggu si Ri membereskan pekerjaannya dan memikirkan keterlambatanku tiba di tempat kerja.

Pikiranku melayang-layang ke wajah Bapak di rumah.
Lebih kurang 15-an tahun lalu ayahku bekerja sama dengan ayahnya si Ri. Mereka, yang bersahabat karib sejak masih kuliah di UII Jogja, mendirikan CV yang bergerak di bidang konsultan perencanaan pembangunan. Kebetulan Pak Z, ayah Ri, menjadi managernya dan ayahku menjadi orang lapangan.

Proyek bergulir dan ayahku berkutat dengan begitu banyak pekerjaan. Beliau yang menggambar sketsa bangunannya, memperkirakan berapa banyak baja, besi, dan bahan-bahan bangunan yang perlu dipersiapkan, dst, dst.

Aku tidak tahu persis berapa lama proyek-proyek itu berjalan, mengingat aku belum cukup dewasa untuk memahami apa yang ayahku lakukan. Aku hanya ingat bahwa dulu ayahku sering sekali bolak-balik Jakarta-Sukabumi untuk mengurusi proyek itu. Malam-malamnya habis untuk berkonsentrasi menggambar dan menggambar, menghitung angka-angka, hingga suatu ketika…

Ayahku tidak lagi mau berjabat tangan dengan Pak Z ketika mereka bertemu saat sholat berjamaah di masjid dekat rumah. Dan hampir semua jamaah bapak-bapak disana mengetahui apa yang tengah terjadi, sampai-sampai ustadz di masjid itu berkata,
“Jamaah saya yang tidak mau saling bersalaman satu sama lain adalah Pak Z dan Pak R (ayahku –red),”.

Kalian tahu apa penyebabnya?
Tidak pernah ada komisi dari proyek itu untuk ayahku, meski ayahku sudah mengerahkan seluruh energinya. Tidak ada komunikasi dari Pak Z tentang berapa besar keuntungan yang telah ia terima dan berapa banyak yang seharusnya ayahku terima, lalu semuanya terputus begitu saja. Uang hak ayahku yang tidak diberikan oleh Pak Z nilainya hampir 100 juta rupiah!

Kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh sahabat sendiri? Sahabat yang bersama-sama kita ketika di bangku kuliah dulu, sudah dianggap saudara, dan kini tega menikam diri kita, salah satu orang terdekatnya, tanpa penjelasan apapun?

Tidak ada permintaan maaf, dan lebih dari sepuluh lebaran terlewati begitu saja. Tidak ada kesadaran untuk mengganti kerugian, bahkan sampai ayahku terserang stroke 7 tahun lalu dan nyaris tidak bisa bergerak seperti sekarang, Pak Z tak pernah datang!

Kami sekeluarga meradang. Tapi ayahku yang pendiam tidak melakukan apapun. Tidak ada tuntutan hukum yang akan beliau ajukan. Tidak ada tuntutan agar sahabat karibnya itu meminta maaf. Hanya satu keyakinan beliau : siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Dan beliau begitu percaya pada keadilan-Nya.

Dadaku menggelegak mengingat semuanya. Tapi memendam kesumat adalah seperti memelihara pohon kaktus yang terus tumbuh di dalam hati: durinya menyakiti diriku sendiri. Adakah manfaatnya??

Kupandangi Ri hari itu sambil berusaha menetralisir sakit hati yang tiba-tiba menjalar. Adalah hal yang wajar jika tadi mamah tiba-tiba terdiam ketika ia menyebut nama ayahnya yang telah menghancurkan perasaan kami sekeluarga. Beruntung ibuku masih bisa bersikap baik padanya saat itu. Masih berusaha menanyakan kabar nenek dan ibunya yang pernah akrab di pengajian bersamanya di masjid dekat rumah, dan bermanis-manis tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa tidak suka.
Sementara aku duduk diam mendengar, sambil berusaha menasihati jiwaku sendiri.
“Allahumma… Aku paham... Tidak semestinya dendam itu diwariskan…”.

-maybeForgiven,butNotForgotten.
ikhlashkanKami,yaAllah…
Tues, 27.11.07; 12.40 pm.


gbr dari http://www.allposters.com/-sp/Dark-Sky-Oregon-Posters_i1002815_.htm
maap ga ijin...

Nov 22, 2007

...Waiting...




~menungguItuTidakEnak:(
Thurs,22.11.07; 9:15pm


gbr dari http://www.digitaldome.org/photo/waiting-for-you-1
maaf ya ga ijin..

Nov 18, 2007

Tentang Bekerja

Bismillah…


Pekan lalu, dalam sebuah pertemuan dengan beberapa teman, kami berbincang.
Seorang rekan kami yang kebetulan PNS di sebuah lembaga pemerintah, kebetulan tengah hamil 6 bulan. Ia, yang baru saja pulih dari sakitnya berbulan-bulan, alhamdulillah kini sudah bisa bekerja seperti biasa.

Sayangnya, karena pengaruh kehamilannya, ia kerap kali muntah di kantor. Akibatnya,
Aku kerja seringnya cuma sampai jam 10. Jam 10 udah pulang...,” ujar E, temanku itu.
Dan tentu saja kami semua terbelalak.
Ha? Kerja apaan kamu, E?”
Wahh... makan gaji buta kau, E
”Merugikan negara nih!”

Si E hanya bisa tersenyum simpul.
Ya abis gimana... di kantor kalau muntah ya akan muntah di ruangan. Ga sempat lari ke toilet... Daripada bikin satu ruangan gak nyaman...”
”Tapi tetep nerima gaji utuh?”
”Ya namanya juga PNS... Alhamdulillah, sih...”

Lain lagi kisah temanku, M, yang bekerja sebagai guru di sebuah SMA swasta. Awalnya, ia memang menerima gaji honorer; kalau masuk dapet honor, kalau gak masuk gak dapet honor. Belakangan ia sudah menerima gaji tetap; masuk-gak masuk gajinya gak berubah. Ketika berhari-hari tidak masuk karena suatu urusan, ia berkata pada petugas pembayar gaji karyawan.

”Pak, kayaknya gaji saya kebanyakan nih. Saya kan cuma masuk sekian hari bulan ini...”
Tapi tentu saja petugas itu tidak mau ambil pusing.
Terserah Mbak deh mau diapakan...”

Ketika M bercerita padaku, aku berkata,
Ya toh kamu juga mengerjakan tugas-tugas sekolah di luar jam sekolah, bukan? Kamu bahkan menerima konsultasi anak-anak. Mudah-mudahan itu sebanding dengan honor kamu...”
Nah, aku juga berpendapat begitu sih... Selain itu, aku pikir aku optimalkan aja semaksimal mungkin ketika aku masuk,” kata M.
”Atau bisa juga kamu itung honormu berapa yang sesuai dengan jumlah hari kamu masuk. Sisanya infak-kan aja...”
”Tapi itu banyak banget, Ndra... ratusan ribu...”
”Ya... kalau bicara siapa yang butuh infak, pasti banyak banget kok, M...”

Tapi ternyata kisah M itu belum apa-apa. Ada yang lebih mengejutkan lagi.
Rekan
guru yang masih satu bidang pelajaran dengan M malah tidak mau menerima sama sekali honornya yang ”kebanyakan” itu. Prinsipnya, ”Saya hanya memakan apa yang memang menjadi hak saya,”.

Kalau membandingkan dua kasus di atas, aku jadi bersyukur hingga saat ini. Sebagai pekerja sosial di LSM, aku memang berstatus honorer. Kalau masuk kantor dapet honor, kalau gak masuk ya gak dapet honor (itu di luar training fee yang lumayan besar sih...). Sangat kecil, memang. Tetapi dengan begitu, segala sesuatu memang menjadi jelas : Aku menerima sesuai dengan apa yang aku kerjakan. Sehingga, amannya, aku tidak ”makan gaji buta” yang memang bukan hak-ku sepenuhnya.


Sejujurnya aku tidak ingin memicingkan sebelah mata terhadap profesi PNS. Sebab jangan-jangan, kalau aku ada di posisi mereka, aku juga akan berlaku demikian.
Nyaman sekali bukan, mene
rima gaji utuh walau kita tidak bekerja dengan optimal?


Sayangnya, sepengetahuanku, masih banyak orang beranggapan profesi PNS sangat menyenangkan justru karena hal itu : gaji utuh walau kerjaan gak beres, plus tunjangan, plus uang pensiun di hari tua (padahal uang pensiun juga sangat kecil jumlahnya – aku tau itu karena ayahku juga pensiunan PNS). Bahkan seorang senior yang kuyakin pemahaman agamanya cukup baik, juga punya paradigma seperti itu. Ia bisa pulang 2 jam lebih awal dari jadwal, dengan alasan anak di rumah butuh perhatian!

Gak heran deh kalau banyak orang memanfaatkan posisi ini. Judulnya semua ditanggung instansi tempat kita bekerja, walau kita memberikan kinerja yang gak sebanding! >_<

Berbeda dengan cerita Anis Bunnies, temanku yang bekerja di perusahaan swasta. Dengan gaji yang memang sebanding dengan jerih-payahnya, ia sangat dituntut untuk bekerja profesional. ”Ya kan kita dibayar untuk bekerja, Ndra...” ujarnya.

Aku gak bilang bahwa jadi PNS itu suatu keburukan, ya. Salut untuk mereka yang bertekad menegakkan budaya kerja profesional dan bersih di instansi pemerintah (semoga istiqomah!). Setiap orang punya pilihan kok... dan setiap orang berhak menikmati apa yang sudah mereka perjuangkan.

Tapi jadi miris aja, kalau kebanyakan orang masih berpikiran bahwa menjadi PNS berarti bisa bekerja sesuka hati (baca: tidak profesional) dan ”asalkan mendapat gaji utuh”. Berapa banyak negara terugikan kalau begini caranya...

Boro-boro deh bicara tentang ”memakan apa yang bukan hak-nya”...
Apalagi tentang keberkahan rizki... pertanggungjawaban di hadapan Allah...
dan seterusnya... dan seterusnya...

Fuhhh...
Mengerikan sekali...
Semoga kita semua dihindarkan dari hal-hal semacam itu ya :(


~ditengah2KeprihatinanYangMendalam...
Wed, 15.11.07; 10:25 am.

gbr dr http://pt.inmagine.com/business-personalities-photos/photodisc-pdil050
dan http://www.grinningplanet.com/2003/workaholics/joke-1704.htm

maap ga ijin....

Nov 11, 2007

S2... Oh... S2...


Bismillah.

Tika : "S2 Profesi Klinis Dewasa UI untuk februari, pendaftarannya udah dibuka. Untuk yang mulai kuliah bulan Juli, biasanya Feb atau Maret..."

Aku : "He??!?! is it realistic enough untuk aku kejar???"

Anik : "Ndra, sekarang udah 10,5 juta...."

Aku : "God.... Duit dari manee... " *lemessss...*


-worrying...
Ahad malem, 11.11.07


"Ya Allah, berikanlah aku kesempatan dan rizki untuk mempelajari sebagian kecil ilmu-Mu, agar aku dapat berbuat lebih banyak lagi untuk ummat-Mu... Hiks..."



gbr dari www.tsc.go.ke/revgradscheme.htm

Nov 7, 2007

Jelang 2008



Bismillah…

Rasa-rasanya aku harus meninjau ulang hidupku nih.
Maksudku, dengan target menikah sebelum umur 25 tahun alias tahun 2008 (duhh...isu ini lagi!), sepertinya aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Bukan apa-apa, sepertinya kalo udah mencapai 25 tahun, agak-agak gimanaaa...gitu, berasa ada barrier psikologis aja. Ditambah lagi, usia yang paling baik untuk menikah (bagi perempuan) berkisar antara 18 – 20 tahun (yang ini aku baca di buku Developmental Psychology, karangan Diane E. Papalia). Jadilah aku membuat target itu.
Mau gimana lagi, yang bikin targetan juga aku, jadi salah sendiri deh kalau sekarang mulai bingung memikirkan apa-apa yang harus disiapin.

Aku juga punya target ambil kuliah profesi tahun 2008 ini... (kalau ada rejekinya, aamiin). Hampir semua teman yang kul S2, terutama bagian klinis dewasa, mengatakan bahwa jadwal kuliah mereka amat sangat padat, ditambah harus kerja kelompok mengerjakan tugas ini-itu. Seorang teman wanita mengatakan, ”Duh, gak kebayang deh gw kalau kuliah sambil ngurus keluarga dan anak...”. Dan kalimat itu membuatku berpikir, ”sepertinya aku tidak akan optimal jika kul sambil punya anak...”. Walau di sisi lain, seorang wanita juga berkata, ”Yaa.. emang padat sih. Tapi aku asyik-asyik aja tuh. Anakku kan dititip sama eyangnya...”.

Nah, permasalahannya sekarang adalah, gimana ceritanya kalau aku kuliah profesi lalu aku ternyata sudah diamanahi seorang baby... (tu juga kalau beneran jadi nikah tahun 2008). Titip sama eyangnya? Umh, kayanya bukan itu deh yang aku pikirin. Tapi waktu intensifku dengan si baby akan berkurang karena aku kuliah dari pagi hingga petang. Tentu saja aku tidak mau melewatkan waktu emasku dengannya.

Hmm....hmm...hmm...

Aku juga sudah mulai memikirkan dimana aku akan tinggal setelah aku berkeluarga nanti. Sepertinya akan lebih aman dan nyaman jika aku punya rumah sendiri saja. Rumah impianku adalah rumah berhalaman luas dengan sungai kecil mengelilinginya (btw, kepada Fithri sang arsitek, sudahkah dirimu mendesainkannya untukku?!?).

Inget masa kecil aja sih. Alhamdulillah dulu aku bisa bermain di halaman rumahku sehingga gak perlu main jauh-jauh. Ya main sepeda, petak umpet, benteng takeshi, nanam pohon buah2an, bikin lapangan basket (asal jadi) dan mematok ringnya begitu aja (judulnya ada ring basket, titik), dsb, dsb. Mengingat Jakarta tidak lagi punya lapangan luas nan asri untuk tempat bermain, rasa-rasanya aku yang harus menyediakan fasilitas itu untuk anak-anakku deh. Lagipula aku jadi bisa memantau mereka dengan baik juga kan...


Lalu kenapa mesti ada sungai kecil mengelilinginya, karena aku suka air dan ikan. Lucu deh, kalau di sungai kecil itu nanti ada angsa-angsa berenangnya. Terus kalau mau masak ikan gak usah jauh-jauh, tinggal nyetok aja di sungai itu. Asyik kan? Terus nanti halaman rumahku akan ditanami berbagai pohon buah dan tanaman obat. Tidak lupa juga, ada beberapa kelinci dan rusa-rusa berkeliaran. Fithri bilang, “Rumah apa kebun binatang, Ndra?”. Wakakak..... ^_^

Gak papa. Aku cuma ingin menyediakan fasilitas yang dapat merangsang multiple intelligence anak-anakku. Setiap sore aku akan berjalan-jalan di kebunku bersama mereka, supaya natural intelligence anakku terasah. Lalu, main basket, petak umpet, petak jongkok, galasin, bentengan, badminton, atau sekedar joging sama-sama, supaya sehat dan bisa bersosialisasi dengan baik. Oya, mainnya sama anak-anak tetangga biar rame dan seru. Dapet lagi deh tuh interpersonal intelligence. Pokoknya aku tidak akan membiarkan anak-anakku terlalu lama main playstation, game komputer, dan berbagai mainan individu lainnya. Di samping menghambat kemampuan bersosialisasi, suatu penelitian pernah membuktikan main games2 semacam itu dapat meningkatkan obesitas (karena mainnya sambil ngemil!).

Mmmh... apalagi ya...

Ah, ya. Itu aja dulu.
Yang jelas aku tidak berminat sama sekali untuk
tinggal di apartemen. Heran, sekarang kemana-mana kalau jalan pasti bakal ketemu spanduk atau baliho2 yang nawarin apartemen. Bukan apa-apa, kayanya perkembangan psikis dan sosialisasi orang yang tinggal di apartemen kurang sehat deh. Adik privatku aja nih, yang tinggal di apartemen, berkali-kali mengeluh karena kesepian gak punya teman.
Pas aku tanya, ”Kamu kenal gak sama anak depan rumahmu? (dimana jarak antara 1 pintu dan pintu lainnya hanya 1 meter!)”.
Lalu dia jawab dengan gelengan muram, ”Gak kenal...”.
Dan aku tentu saja menghela nafas. Bagaimana mungkin aku membiarkan generasiku tumbuh tanpa mengenal orang-orang di sekelilingnya?

Gak cuma anak-anak. Bahkan orang dewasa pun bisa tumbuh sebagai manusia individualis yang gak kepikiran sama sekali sama sekelilingnya. Mau tetangga lagi kesusahan dan butuh bantuan, kayanya ’who cares’ deh. Betapa tidak menyenangkannya hidup seperti itu buatku... Jangan-jangan kalau gw meninggal gak ada satupun tetangga yang ngelayat lagi. Boro-boro didoain deh... Ya kan? -_-‘

Kalau inget kuliah psikologi arsitektur di semester 6, kata dosenku apartemen atau rumah susun itu memang lumayan untuk pasangan yang baru menikah, karena ruangannya yang tidak terlalu besar sehingga dapat meningkatkan kedekatan di antara mereka. Tapi untuk keluarga dengan anak, sepertinya tidak direkomendasikan deh. Lagipula ada perbedaan psikologis juga tuh, antara orang-orang yang sehari-harinya berinteraksi dengan orang lain, dengan yang pemukimannya tembok melulu (penelitiannya sapa tau, lupa... Kayanya pernah ada di majalah Tarbawi juga...). Lagipula, harga apartemen gak murah juga. Bu Mimi bilang, sekarang ini ada yang harganya paling murah 100 juta, tanpa DP (WAKS!). Mau pake atau tanpa DP, kayanya duit segitu better gw invest buat pendidikan anak gw deh...

Yah... begitulah. Kalau pas masih single bisa mikirin diri sendiri ansich, ntar kalau udah berkeluarga mikirnya harus luasss...banget. Pertimbangin ini, mikirin itu, belum lagi sekolah anak –aku masih bingung mau homeschooling atau sekolah alam-, bikin usaha sendiri, belum lagi ngatur anggaran sehari-hari, ngatur pembagian waktu sama suami (kalau aku dan suamiku beraktivitas di luar rumah), dst, dst.

Ribet kan? Makanya, sapa bilang nikah cuma seneng-senengnya doank...
Dududududu...

Btw, guys, menurut kalian, aku terlalu jauh memikirkan ini gak sih?


~justWannaPrepare...
WednesdayMorning, 07.11.07; 09:22 am.



gbr dari sini nih...
www.nassaulibrary.org/fpark/
www.loanswithrob.com/sitemap.htm
http://me.abelcheung.org/2006/10/25/ps3-%E4%B8%8D%E8%A6%81%E4%BA%86%EF%BC%8C%E8%AC%9D%E8%AC%9D%E3%80%82/
http://www.imagezoo.com/images/weibu/hma0083.html
maaf ya ga ijin dulu...

Great Leader

"The supreme quality for leadership is unquestionable integrity. Without it, no real success is possible, no matter whether it is on a section gang, a football field, in an army, or in an office."
-- Dwight Eisenhower


Bismillah…


Saturday nite with Bu Mimi!
Mimpi apa gw bisa makan malem bareng dia…

Bu Mimi ini adalah salah satu bos.. eh bukan, partner seniorku yang jadi panutan banyak orang karena kesuksesannya membangun bisnis. With her husband, dia berjuang selama lebih kurang 4 tahun dan sekarang sudah bisa menikmati hasilnya.

Sore itu aku bergegas menuju Taman Anggrek karena janjian sama 2 orang rekan. Pas buka hp, eh ada missed call dari bu Mimi. Ada apa ya? Gak biasa-biasanya aku ditelpon orang sekaliber beliau...

Begitu on the way, hpku berbunyi...
”Dimana, In?”
“Otw, bu.. ke Taman Anggrek..”
”Oh, ya udah kebetulan kita juga mau kesana..
ketemu disana ya.. kamu bla-bla-bla aja dulu... ntar aku bantu bli-bli-bli...”
“Wahhh... iya, iya! Aku tunggu ya!”

Hatiku langsung berbunga-bunga.
Dia? Mau bantu aku?
Wahh...

Setelah sama-sama ketemu temenku, aku menemaninya makan malam. Gak salah lagi deh, dapet motivasi, cerita, juga inspirasi.

“Segala sesuatu akan menarik hal yang sama. Kalau kamunya semangat, pasti kamu akan ketemu orang-orang yang semangat. Kalau kamunya ogah-ogahan, yaa... ketemunya juga orang yang ogah-ogahan juga.
Dan ingat, berdoa, MINTA sama Tuhan,”, ujarnya mantap.

Dan mataku berbinar-binar.
Yeah... positif... positif... positif...

Beberapa leader di berbagai lini seringkali hanya mampu memerintah, mendelegasikan, memotivasi, memberi arahan atau dukungan kepada bawahan/partnernya dan sebagainya.

Salah? Gak juga...

Tapi idealnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang mau terjun langsung merasakan kesulitan rakyatnya, atau bahkan turun tangan membantu meringankan beban mereka.
Dan aku menemukan sosok itu pada si ibu yang satu ini...

Integritas!

Great leader emang gak cuma bisa ngomong...
Sayang aja, beliau bukan (baca: belum) muslimah.
Hehe...

Hoy muslimah... kemane aje kite ah... :D


~fullOfFuel...
Tues, 06.11.07; 11:46 am


If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader. "
--John Quincy Adams

Nothing is at last sacred but the integrity of your own mind.
--Ralph Waldo Emerson


gbr dari http://www.istockphoto.com/file_closeup/?id=2899456&refnum=656218
maaf ya ga ijin...

Nov 4, 2007

Rindu...


bismillah...


gerimis satu-satu.
mentari terik-terik.
hujan deras dan basah lagi.


pada pagi dimana burung bercicit...

pada bintang yang kian jarang menyambangi...
pada musim yang terus berganti...

"Allahumma... lindungi dan rahmati..."





Ahad sore, 04.10.07; 04:50 pm

gbr dari
www.kenmusgrave.com/WindyRidge/04.01.27/
maaf ya ga ijin...

Oct 24, 2007

Tuturku Kepada Ayah


I've got a picture hanging on the wall
It's hard to believe you were ever that small
Now you've got bigger ideas,and greater ambitions
Higher to reach but further to fall

It used to be you needed me
But, now you've grown so tall and strong
Now you're on your own

But when the walls of your world come tumbling down
When your heart starts breaking
And there's no one around
Just look over your shoulder
Wherever you roam
Remember, you're never alone

You can love without limit
From deep in your soul
If you keep a young heart, son
You will never grow old
You can fly to the moon
As high as it seems
But you can crash to the ground
On the wings of your dreams

But you will see there will be
Times when you feel ten feet tall
Times you have it all

I can't stop you from living
I can't blame you for trying
I can't sto
p you from loving
Can't keep you from crying

(Rick Price - You're Never Alone)

***

Bismillah...

Baru-baru ini aja keingetan sama lagunya Rick Price di atas. Padahal dah cukup lama tau. Dan baru-baru ini juga memperhatikan liriknya.

Manis, ya?
It’s all about dad yang lagi liat-liat foto anaknya, dan tersadar bahwa sang anak sudah besar sekarang. Gak nyangka, anak yang tadinya kecil dan selalu membutuhkan dirinya itu, kini sudah beranjak dewasa, punya ide-ide dan ambisi-ambisi yang besar...

Aku jadi keingetan sama my dad. Imagine he says all the words of this song to me.
Hmm….

Yes, dad…
I’m growing up and being mature now.
Aku punya banyak sekali mimpi besar yang suatu saat, pasti, dengan seizin-Nya, akan terwujud. Aku yakin sekali akan hal itu. Aku tahu gak cukup waktumu untuk menemaniku selama ini. Gak cukup momen untuk memperhatikan, “rupanya sudah tiba waktunya bagi anak perempuanku mencari teman pendamping sisa hidup”. Setidaknya, menggantikan posisimu yang selalu melindungiku selama beberapa belas tahun lalu. Tidak cukup ada kemampuan untuk, bahkan sekedar menanyakan, ”Apa kabar harimu, Nak?”. Apalagi menanyakan aktivitas keseharianku, siapa saja teman-temanku, ada kejadian apa saja hari ini di belahan dunia lain, sudahkah aku membantu mamah mengurus rumah tangga, apa saja makanan yang sudah aku kuasai cara membuatnya, dan seterusnya. Tidak lagi dapat, setiap saat, bahkan!!, melafazkan namaku, anak perempuanmu satu-satunya. Hingga yang tersisa kini adalah memori demi memori atas masa kecil hingga remaja yang begitu indah…

Ingatkah Ayah, betapa kita setiap pekan berkunjung ke toko buku untuk mengayakan wawasan kita? Atau juga berbelanja kebutuhan sehari-hari yang setiap kepulangannya, selalu berakhir di counter es krim cone kegemaran kita? Atau juga deru-deru mesin motormu yang kerap mengantar-jemput putrimu ini ke sekolah, bahkan hingga SMA? Ketika tiap anak datang dan pulang tanpa iringan, aku dengan manisnya duduk menjadi penumpangmu, dan engkau tak pernah sedikitpun mengeluhkan lelah ataupun bosan.

Jika saja engkau tahu, Ayah...

Ingin sekali memutar waktu dan berjalan-jalan di hari-hari menyenangkan itu bersamamu. Ingin sekali kini, aku yang menemanimu berbelanja, atau aku yang mengantarkan ke tempat manapun yang engkau suka. Lihat, aku bukan lagi gadis kecilmu yang manja! Aku bahkan sudah bekerja, sudah bisa mencari uang dengan keringatku sendiri, sudah tak lagi menengadahkan tangan meminta padamu untuk membeli kaset nasyid A, B, C, album Roxette, Michael Learns To Rock, atau Oasis, band asal Inggris yang tengah naik daun ketika itu. Tidak lagi menunjukkan telapak tangan dan merengek minta dibelikan crayon warna-warni, bakso atau sate padang yang lewat di depan rumah, atau juga rumah Barbie seperti milik Nia, putri Om Husein kerabat kita. Tidak lagi, Ayah. Aku tak lagi menggantungkan diri pada siapapun kini; tidak juga pada mamah.

Tapi, Ayah...

Berkali-kali keterasingan menyergapku, seperti tak lagi memiliki sandaran kukuh yang akan menjadi tempat menentramkan hati, tentu saja selain Diri-Nya. Masih aku ingat betapa pelukan sosok kecilku padamu membuatku tak lagi takut pada mimpi seram, imajinasi makhluk halus atau orang jahat, atau juga ketakutan suatu saat engkau akan pergi selamanya. Jika saat ini ketakutanku bukanlah lagi pada hal-hal serupa, maka senyap di satu ruang hatilah yang kini mendominasi jiwa. Adalah nasihat, belas kasih, wajah letih namun lega begitu tiba di rumah sepulang bekerja, diskusi-diskusi seputar masalah negeri dan dunia luar, atau juga tanya-jawab seru seputar agama, atau apapun itu, yang kini menjadi dahaga yang tak lagi menemukan sumber mata airnya.

Andai kau tahu itu, Ayah...

Niscaya lengan kukuhmu akan merangkul demi melindungiku dari setiap mara bahaya.
Niscaya kekar tubuhmu kan jadi tameng setiap ancaman datang mendekat.
Dan kan tersedia waktu tuk menanggapi celoteh-celoteh kritisku tentang berbagai fenomena, juga kan tersedia anggaran untuk membeli buku baru setiap bulannya demi tambahan koleksi perpustakaan kecil kita.
Mungkin pula, takkan kaulepas aku bepergian tanpa sepengetahuanmu, tanpa pertanyaan, ”Kemana? Dengan siapa? Adakah uang untuk ongkos perjalanan?”. (Dan pasti, manjaku akan meminta tambahan meski bekal di dompet masih berkecukupan, atau juga minta diantarkan sampai ke tujuan...).

Tapi tidak, Ayah...

Tidak lagi ada semua itu dengan keadaanmu yang semakin memayah. Gurat-gurat rentamu adalah riasan wajah yang semakin membuat usiamu tampak lebih tua dari umur sesungguhnya. Kosong tatapmu adalah pemandangan sehari-hari yang semakin membiasa. Tidak lagi ada suara, keluhan, teriakan riang... Tidak... Tidak ada. Hanya fisikmu, yang masih membujur dan meyakinkanku sungguh, bahwa engkau disini, dan memang masih ada.

Kerap, pandanganku mengabur saat melihat sosok mereka yang masih dapat bercengkerama dengan ayah-ayahnya. Jika bukan sedih yang muncul, pasti selalu timbul haru-biru yang menyergap. Iri, Ayah... Meski seorang sahabat menasehati betapa beruntungnya aku yang masih memilikimu kini -setidaknya masih bisa bertatap muka di dunia karena ayahnya sudah pergi ke alam baka- tetap saja, ada yang hilang ketika damai terpaksa pergi dari rumah. Tidak lagi ada tempat berlindung ketika jiwa lelahku berbenturan dengan nurani dan pemberontakan atas salahnya asuhan. Tidak sedikitpun terdengar pembelaan saat eksistensiku seperti mendadak lenyap dan tak lagi diharapkan. Tahukah engkau, rinduku selalu berkelebatan setiap detiknya, bahkan hanya untuk menyaksikan momen-momen tersenyummu yang kini begitu langka. Menatapmu tidur sepanjang hari tanpa bisa berbuat apa-apa, adalah sama memilukannya dengan berteduh di tempat yang tak dapat menahan deru dingin dan basahnya hujan, jua guntur yang bersahutan.

Tapi sudahlah, Ayah...

Syukurku seharusnya menjadi panglima karena toh engkau belum sampai terpisah dunia. Bahagiaku seharusnya menjadi raja karena peluk dan ciumku masih dapat menyentuh wajah dan keningmu setiap saat. Meski tak lagi dapat berkata, setidaknya masih bisa kutatap binar matamu yang menyiratkan berbagai makna. Jika dahulu engkau harus menyediakan waktu menghadapi dinamika putrimu ini, maka biarkan aku berganti memperhatikanmu, meski sekedar menyuapi. Biarkan waktu-waktuku teralokasi seperti juga dahulu engkau sediakan bagiku tanpa pamrih.

Hingga tiba masa berpisah, Ayah...
Pegang janjiku tuk berbakti padamu di setiap detik umur yang tersisa...


Wed, 24.10.07; 11:08 pm.
~ketikaDetik-detikBersamanyaTerasaBegituBerharga :'(


"...Allahumma rabban naasi adzhibil ba'sa asyfi antasy syaafii laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru saqaman. Imsahil ba'sa rabban naasi biyadikasy syifaa'u, laa aasyifa lahu illaa anta, as'alullaahal 'azhiima, rabbal ' arsyil 'azhiimi...
Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah kesukaran/penyakit itu dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan,tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi. Hilangkanlah penyakit itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya pada-Mu lah obat itu. Tak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain Engkau, aku mohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhannya 'arasy yang agung..."



gbr dari http://photos.ivillage.com/parenting/family/2006/06/father_daughter.html,
http://freewebs.com/mydaddymydaughter/,
maladyspoetry.com/HaydenGrace2.htm

bbrp diedit, maaf ya ga ijin...


Oct 18, 2007

Hey, Man...


Bismillah….


Gw gak abis pikir sama mereka…
*aura pembukaannya udah gak enak nih...*

Iya emang. Kali ini gw nulis sambil nyesek. Bener-bener ngurut dada.
Ya Allah... maunya apa ya orang-orang itu?

Tiga bulan terakhir 2 orang cewek, sahabatku, nyurhatin hal yang sama: ditinggal nikah oleh orang yang mereka punya kecenderungan terhadapnya.
Masalah?
Insya Allah enggak terlalu jadi masalah. Karena aku yakin, mereka cukup tough menghadapinya. Kalau emang bukan jodoh, mau gimana lagi, ya kan?
Lagipula aku bukan pengen ngebahas point itu saat ini. Aku cuma mau ngupas gimana cerita di balik itu.

Here they are...

Kasus satu, nah ni aku cukup geleng-geleng kepala. Ni akhwat ceritanya dah proses sampe tu ikhwan sowan ke rumah ibu si akhwat di lain kota. Sounds serius donk mau nikah... tapi dah lama berproses, akhirnya kandas. Si ikhwan nikah sama akhwat lain.
Kebayang deh nyeseknya. Well... semua bisa terjadi sih sebelum akad dilantunkan. Jadi menurutku, yaa... masih tergolong kasus agak biasa. Yang agak-agak gak biasa ni ikhwan udah lebih dari 7 kali proses. Entah ditolak entah menolak... Cuma setauku memang ni ikhwan punya banyak fans.

Pemilih????
*angkat bahu*
Simpulin sendiri dah...

Kasus kedua, nah ini lebih kacrut lagi. Seorang ikhwan –sebut aja A, bukan nama sebenarnya- yang sudah mengkhitbah akhwat –sebut aja B- mengungkapkan kecenderungannya sama akhwat lain –sebut aja C, juga bukan nama sebenarnya- ya si temenku itu.

SEE!
Dia UDAH KHITBAH si B dan malah BILANG PUNYA KECENDERUNGAN KE SI C, sahabat gue! KURANG AJAR BANGET GAK SIH!

Sumpah aku pengen banget maki-maki tu oknum. Sembarangan mempermainkan perasaan perempuan. Dia pikir kita ini cewek apaan? Makhluk lemah? Jadi dia pikir dia makhluk kuat gitu, belagak jagoan?

*backsounded by Sherina... ”dia pikiiiirrr.... dia yang paling hebat.... merasa paling jago… dan paling kuat….”*

Actually selain mikirin temenku yang sakit hati, aku juga jadi kepikiran sama si calonnya si A, yaitu si B. Gimana ya, perasaan dia kalau orang yang sudah meminangnya mengucapkan cinta pada perempuan lain selain dirinya???

Si C cerita ke aku, si A emang udah satu tahun ini (sejak tahun lalu) mengkhitbah si B (Gw angkat tangan deh ya, gak tau alasan di balik kenapa jarak khitbah dan nikah bisa selama itu. Emang rentan fitnah kalau lama-lama). Baru sekitar 3 bulan lalu si A ngungkapin perasaannya ke temen si C dan of course si C sendiri.

Aku tanya ke kalian semua:
Gimana rasanya jika seseorang yang kalian sukai menyatakan perasaannya ke kalian lebih duluan?

Yes. Salah satu hal membahagiakan adalah ketika tangan tak bertepuk sebelah aja (lagian emang bisa gituh?!?). Apalagi as a girl, seringkali kita malu tuk ’maju’ terlebih dahulu menyatakan isi hati. Jadi, begitu pulalah perasaan temenku yang merasa arjunanya tiba-tiba datang...

Yang jelas aku kurang nyimak gimana akhirnya si C bisa tau kalau si A udah ngekhitbah seseorang. Satu garis merah yang aku tarik disini adalah: betapa memuakkannya diberi harapan sementara nyaris pasti ia tak akan bisa menjadi kenyataan.

Benar, segala hal masih bisa terjadi selama janur kuning belum melambai, kata orang-orang. Bisa aja si A ngebatalin khitbahannya ke si B, dan menikah dengan si C. Tapi pada kenyataannya GAK BEGITU kan? Jadi apa donk maksudnya si A ngomong2 kayak gitu ke si C? Cuma buat ngungkapin perasaan?

Aku sadar betul jiwa perempuanku. Itu sebabnya aku tulis ini atas nama solidaritasku terhadap kaumku, para perempuan. Mungkin juga sebagai protes keras atas sejumlah fenomena yang membuatku selalu mengurut dada, yang notabene dilakukan oleh para pria!

Kalian tahu?
Seorang ikhwan bilang sama aku, ”seneng aja ngobrol sama cewek-cewek... dengerin kalau mereka cerita... asyik-asyik aja bisa deket ke mereka... kalau ada perasaan, ya salah mereka sendiri. Saya kan gak ada maksud apa-apa...”

Atau juga yang lain... ”Gw ladenin aja tuh kalau ada yang curhat... dengerin, kasih masukan...” (kedua ikhwan ini padahal udah tau kalau sebaiknya tidak meladeni curhatan lawan jenis karena rawan mengundang simpati. Ditambah lagi, aku nangkep banget nada mereka yang amat menikmati tebar pesona yang mereka lakukan!!!).

Aku tau kalian akan bilang, ”salah sendiri kenapa curhatnya ke cowok...”.

Stop, stop... Dengerin dulu ya.
Kalau mau coba objektif, emang baiknya para cewek curhat ke sesamanya, jika dirasa curhat ke cowok akan menimbulkan hal-hal yang tak semestinya. Sebaliknya, si cowok juga gak usah tebar pesona sok baik-sok penolong-sok humble dst, kalau cuma mau dianggap baik, penolong, humble dan sebagainya. Sumpah CEMEN banget kalian kalau cuma gitu doank niatannya.

Atau kalian masih mau ngeles, ”...orang saya-nya biasa aja... saya juga perlakukan hal yang sama ke cewe-cewe lain... dasar dia aja yang kegeeran...” ???

Sebentar.
Aku pengen banget ngutip komentar cerdas dari Panpan, salah seorang ikhwan kampusku yang lumayan ’lurus’, di suatu diskusi bertahun-tahun lalu ketika membahas tema serupa. Menyitir learning theory, dia bilang, ”Stimulus sama, belum tentu respon juga sama,”.
Nah!

Sekali lagi, aku sadar betul jiwa keperempuananku. Dimana-mana namanya cewek pada naluriahnya seneng diperhatikan, didengar, (mungkin) GR-an, suka diemong dan sebagainya. Begitu ketemu cowok (yang tampak) sholeh, baek hati, ramah, suka menolong, menabung, hemat cermat dan bersahaja, siapa yang gak suka? Begitu si cewek klepek-klepek susah makan-susah tidur-gak lepas mikirin tu makhluk karena GR udah diperhatiin, sang makhluk bernama laki-laki itu pergi sambil tertawa dan melambaikan tangan...
”Dadagh bubye...”.

See...
Dagelan cupu macam apalagi ini?
Masih kejadian??? Hari ginih???

Please ya, pria-pria.
Aku bilang kaya gini bukannya mau menggeneralisir kalian semua seperti itu adanya. Aku cuma pengen kasih tau bahwa kaumku punya jiwa yang begitu halus, lembut dan peka. Dari sananya ia tercipta menjadi seorang yang relatif senang dimanja, amat suka diperhatikan, sekaligus relatif lebih rapuh perasaannya daripada kalian. Sementara aku sedikit banyak tau pula, kalian diberi potensi kepemimpinan lebih; senang diikuti, dikagumi, dianggap ksatria, dst.

So please, jika seorang dari kalian bercerita dan meminta kami tidak berlembut-lembut dalam suara, menahan pandangan, bersahaja dalam penampilan agar tak menimbulkan penyakit di hati kalian yang angkuhnya kerap luluh dengan kelemahlembutan, TOLONGLAH, kami juga punya kelemahan. Tapi jangan manfaatkan kelemahan kami dan lantas kalian tinggalkan begitu saja ketika hati kami memerah luka...
Bisakah kita saling menjaga dan meninggikan kehormatan yang masing-masing kita punya????????????



Nb: 3 pekan lalu teman SMA-ku baru saja bercerai setelah menikah selama 3 tahun dan sudah mempunyai anak berusia 1,5 tahun. Ia seketika harus menjadi single parent yang berjuang menghidupi anaknya, di usia yang sangat belia. Tau alasannya?
”Mau gimana lagi, Ndra? KDRT...”
Untuk kesekian kalinya, aku hanya mampu menghela nafas panjang dan mengurut dada...



Dipersembahkan untuk kedua sahabatku, juga perempuan2 lain yang jadi acap jadi korban: Kita KUAT, Cinta!!

”...ternyata tanpamu langit masih biru... ternyata tanpamu, bunga pun tak layu... ternyata dunia tak berhenti berputar, walau kau bukan milikku...”
(Lucy Rahmawati)

~jeweranJugaBuatDiriSendiri...
FitriDay,13.10.07, 12:!3 wib



Robbighfirlii wa li akhiii....
Robbanaghfirlana dzunuubana wa israafanaa..

(Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku,
dan ampunilah sikap kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami...)