Akhir-akhir ini aku lagi sering-seringnya berdialog dengan jiwa…
Menyenangkan sekali bisa berjalan-jalan di ruang hati, melongok isinya, meniup debu-debunya, menata ulang ‘perabotnya’, meninjau mana yang perlu dan tak perlu dirasakan atau dipikirkan, dan tentu saja, menuangnya dengan berbagai asupan.
Toh Rasulullah saw dan para sahabat juga sering melakukan dan bahkan menganjurkannya, bukan? Berangkat dari semangat mentafakkuri diri, barangkali disinilah entry point-nya.
Pula, mengutip teman-teman yang ‘lain’, kata mereka,
“Kedamaian dan ketenangan berangkat dari keheningan…
Dalam keheningan hati yang dalam yang jauh dari keramaian, disitulah kedamaian terletak,”
Yup.
Dialog degan jiwa (bagiku) seringkali membuatku semakin mengenali karakter jiwaku apa adanya. Ya kemauannya, pun segala inginnya. Kadang berusaha memaklumi gejolaknya, atau pula berkeras-keras menasehatinya. Kadang berusaha membujuk agar ia melembut, atau pula bersusah-payah mensugesti agar sekian semangat atau positivitas terbentuk.
Barangkali pula, benar adanya, semakin sering kita berusaha mengenali diri, semakin kita mengenali hakikat kemenghambaan dan ketakberdayaan dihadapan-Nya. Man arofa nafsahu, faqad arofa robbahu. Barangsiapa megenal dirinya, maka ia akan mengenal Robb-nya.
Tapi sungguh, Maha Luar Biasa-nya Allah yang menciptakan dua dimensi dalam kehidupan ini. Bahwa sesungguhnya, hidup tak melulu diisi dengan individualitas hubungan dengan diri sendiri, ataupun keterhubungan ansich dengan Sang Pencipta Jiwa. Jika demikian adanya, maka ucapkanlah selamat tinggal pada dunia dan bergabunglah dengan para pemuja kesendirian yang acap berdalih di balik ibadah, dengan alasan, taqarrub ilallah.
Sementara mereka berasyik-masyuk menari dalam telaga keheningan, seruan itupun kemudian lantang dicanangkan, bahwa "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap kejahatan mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap kejahatan mereka" (Hr. Tirmidzi).
Selalu begitu.
Keseimbangan, bagaimanapun, menjadi ciri tak terpisahkan dari kesempurnaan diin ini. Bahwa dianjurkan untuk sesekali berkhalwat dengan jiwa, adalah sama pentingnya dengan berinteraksi dengan sesama. Jika timpang salah satunya, maka akan melebarlah ruang kosong di hati yang mencirikan hampa: layaknya lubang pada kayu jati yang terlihat kukuh, namun tetap saja cacat; tak menyempurna.
Dan benar.
Kesendirian tak melulu menjanjikan kedamaian.
Adakalanya lorong jiwa yang satu harus diisi dengan keberbauran dengan jiwa lainnya. Adakalanya pula, keramaian menjadi sama nikmatnya ketika di dalam hiruk-pikuk itu, jiwa menemukan dirinya meng-ada bagi jiwa-jiwa lainnya juga. Maka tidaklah berlebihan jika beberapa kita menanamkan semboyan dalam hidupnya, dalam kalimat, “saya bermanfaat, maka saya ada”.
Dalam perjalanan yang singkat, selain buah ibadah, apalagi yang bisa dibawa pulang dan bahkan dipersembahkan, kecuali kesaksian dari sekian makhluk yang merasakan kebermanfaatan?
Begitulah.
Ramai dan sunyi seharusnya berpadu-padan karena memang, keduanya sama-sama jiwa butuhkan. Bercengkerama dengan semesta menjadi suatu keniscayaan agar hidup tak melulu egosentris, kalau tidak boleh dikatakan indiviudalis.
Sebagaimana juga kesendirian yang mesti diberi porsi, agar keruhnya jiwa dapat diberi penawar lagi. Karena Tuhan memang tak melulu ditemukan dalam khalwat sepi, tapi juga mungkin berada di sekian banyak tangan peminta-minta, laparnya perut-perut dhuafa, atau pula sekedar remeh-temeh permintaan teman yang ingin didengar curhatnya.
Lagi-lagi memang, hari-hari terlalu panjang untuk diisi dengan sekedar menyepi, karena berbuat akan membuat pikir dan renung kita menjadi nyata.
Jzk to Agah yg taushiyahnya menjadi inspirasi kali ini. Tapi koq gw berasa tua banget ya, nulis ini. Tau deh, ngomong apa sih diatas tadi *_*
Sunday, 16.09.07, 06:40am (KaliIni’SetelahCahaya’,soalnyaUdahPagi.Hehe:P)
~ygLagiBosenJalan2diRuangHati
gbr dari sini : http://www.derekkreckler.com/gallery.asp
0 komentar:
Post a Comment