Bismillah.
God...
Baru 1 kali ini training ngadapin trainee yang defensive dan sulit bersikap open mind.
Hosh...hosh... *kehabisan nafas*
Fa, rekanku, sejak awal sudah agak kesal karena tidak diberitahu sebelumnya oleh bosku bahwa partisipan sudah pernah mengikuti training yang sama sebanyak 2 kali. It means, tentu saja tujuan training besar kemungkinan tidak tercapai. Lagipula, untuk apa memberikan makanan sementara mereka sudah cukup kenyang?
Berbeda dengan Fa, aku tidak memusingkan hal tersebut. Lagi-lagi memang, masalah koordinasi dan komunikasi kami dengan ibu bos agaknya memang harus, kudu, wajib diperbaiki. Lepas dari itu aku menyikapi hari pertama dengan positif-positif aja. Bersyukur banget ketemu trainee yang cukup aktif. Jadi, walau mereka sudah bosan menerima materi yang sama sementara kita juga gak bisa mengubah atau menghentikannya, kupikir ya sudahlah... tak apa. Toh kita jadi makin kaya pengalaman dalam menghadapi orang yang beragam. Lagipula mereka dibekali pelatihan yang sama karena mereka terpilih sebagai sekolah yang akan menjadi pionir isu antibullying di sekolah dan kemudian akan memimpin workshop bagi 10 sekolah di sekitarnya. Jadi kami katakan pada mereka, ini pembekalan sebelum mereka mengadakan workshop beberapa bulan kemudian.
Tapi yang kami tidak sangka, sikap aktif mereka ternyata tidak selamanya positif.
Bayangin aja, baru juga mau masuk materi pertama, ada satu orang bapak yang terang-terangan nanya, “Mbak dan Mas lulus tahun berapa?” dengan nada merendahkan. Aku dan Fa pun menjawab apa adanya. Sebelum dicerocosi macam-macam, strateginya, kami sudah mengeluarkan ‘senjata’ di awal...
“Kami memang masih muda, Bapak-Ibu. Justru itu, kali ini kami ingin banyak belajar dari Bapak-Ibu sekalian yang sudah banyak sekali pengalamannya. Jadi kita akan sharing banyak hal hari ini...”
Tapi tetap saja mereka menganggap sebelah mata.
Udah trainernya masih ‘piyik-piyik’, mereka juga udah pernah ngikut pelatihan ini 2 kali, ditambah ada salah satu diantara mereka bergelar S2, jadilah aku, Fa dan rekan2 trainer lainnya dipojokkan. Yang dibilang kami mengguruilah, semuanya serba normatiflah, mereka udah tau semualah, merasa gak berguna ngikut pelatihan kamilah, macem-macem...
Menghadapi itu, di hari pertama dan kedua, aku dan Fa masih bisa bersikap biasa. Dimana-mana yang namanya orang tua emang gak suka diajarin sama anak yang lebih muda, bukan? So, we think it’s normal.
Tapi ternyata, Odenk, teman kami yang mengobservasi dan membantu pelatihan itu, mengatakan bahwa para trainee tidak menghargai dan tidak respek terhadapku. “Kalau trainer gak direspek, tujuan pelatihan gak akan sampai dan gak ada gunanya kita men-train mereka,” begitu ujarnya.
Tambahan lagi, “Gak perlu tuh kita merendah-rendah dihadapan mereka. Artinya, kalau memang ada partisipan yang kurang menghargai, akui aja kekurangan kita dimana, tapi gak perlu terlalu merendah. Lagian emang ada kok orang-orang yang arogan dan gak mau ngedengerin kita. Nah, orang kayak gitu cukup ditanggapin dengan ‘kalau menurut Bapak, saya kurang dalam hal ini dan itu, kira-kira menurut Bapak baiknya gimana? Atau Bapak punya solusi dan saran mungkin, supaya saya juga bisa belajar agar besok-besok lebih baik lagi?’, gitu....”
Kalau berhadapan dengan Bapak S2 yang satu itu, aku malah ketawa dalam hati. Bapak itu dikenal oleh teman-temannya sesama guru dan siswa, sebagai guru yang malas mengajar, jarang masuk, dan kalaupun datang ke kelas, lebih sering ketiduran. Bahkan sering juga diledek rekan-rekannya pada saat training.
Jadi, analisaku, Bapak itu begitu cerewetnya mengkritisi kami hanya untuk menutupi kekurangannya. So ketika dia menyerang begini-begitu, aku iya-kan aja supaya dia puas. Apalagi waktu dia nyeletuk,
“Konsep yang seperti itu tidak ada dan tidak bisa dilakukan sepenuhnya...”
Dan aku dengan sigap mengembalikan kepada beliau,
“Sehingga seharusnya, Pak...?”
Lalu dia mengatupkan mulutnya sebentar dan baru ngomong lagi.
Huahahaha... puas banget gua... kena batunya kan... ^_^
(harusnya sih gak boleh gitu ya... parah banget nih aku... positifnya belum sungguh2!).
Lanjut...
Karena Odenk emang cukup berpengalaman dalam dunia training, aku membenarkan kata-katanya. Agak nyolot sih emang... tapi di hari pertama dan kedua itu aku berusaha bersikap biasa aja, walau jadi agak grogi juga.
Nah, hari ketiga ini... begitu diserang lagi, aku jadi agak-agak jiper juga.
Seorang ibu yang gak kalah frontal menegasikan setiap pernyataanku, berujar dengan gaya ‘menguji’,
“Apa yang Mbak terangin itu sih dunia maya semua... ideal, bagus-bagus... trus kalau gak ada yang baru, percuma donk saya ikut pelatihan ini..”.
(Padahal Fa udah bilang di hari sebelumnya bahwa mengejar sesuatu yang baik emang sulit, nyaris mustahil. Makanya sama-sama belajar....)
Lalu aku bilang, “Oke, kalaupun apa yang kami sampaikan lebih tampak seperti ‘dunia maya’ (normatif dan ideal abis –red), dan bapak/ibu sulit menerima, yang jelas kami hanya mencoba memberikan yang terbaik yang kami bisa lakukan... kita sama-sama belajar aja”.
Eh, nyaut lagi dia...
“Yah... diplomatis banget... ngambekk...”
Si Bapak S2 itu juga nimpalin, “Bela diri ya...”
Dan aku tetap tersenyum. “Bela diri? Wah, saya gak bisa pencak silat, pak...”, lalu dengan santai beralih ke materi selanjutnya.
Ver (rekanku yang mengobservasi kami hari itu) menganggap aku dan Fa begitu sabar menghadapi mereka. Soalnya kata dia, kalau dia jadi trainer hari itu, mungkin udah gak tau gimana menghadapinya. Padahal aku nanggapin seperti itu tadi juga karena udah bingung dan speechless mau ngomong apa lagi. Antara bete karena respon mereka negatif terus, gemes, plus agak-agak down juga diserang melulu.
Tapi biar gimana-gimana, sejahat apapun para partisipan sama kami, tetep aja kami harus jaga emosi dan penampilan di hadapan mereka. Bersikap salah sedikit aja, yang tercoreng mukanya adalah lembaga kami. Jadi, senantiasa tersenyum dan bersikap tenang harus bener-bener diperhatikan saat berdiri di depan. Yah, kalau gak ngamalin apa yang diserukan berarti gak punya integritas deh kite...
Hiyuhhh... berat kan jadi trainer...
Capek juga sih. Mending kalau fisik doang yang capek, itu masih wajar. Ini udah fisik lelah, harus makan ati pula... padahal kalau mau itung-itungan, harusnya yang ngerasa rugi ya gue; aku dan teman-teman trainer lainnya. Jelas-jelas mereka dapet pelatihan ini gratis. Lha kita udah jauh-jauh dateng, berniat memberi dan mengajak pada kebaikan, malah diperlakukan seperti itu. Tapi bener-bener deh, ujian keikhlasan banget. Waktu aku nanggapin ibu-ibu itu diatas, pengen banget bilang, “Yang jelas saya berada disini juga bukan karena Ibu, tapi karena Allah!”.
Ugh...
Temen-temen observer yang lain, Op dan Ikyu, juga sama gemasnya. Karena mereka duduk mengobservasi di belakang, mereka gak bisa berbuat apa-apa. Lagipula mereka juga masih mahasiswa dan merasa lebih gak berani lagi.
Akhirnya selama itu kami berulang-ulang saling menguatkan satu sama lain,
“Hayo...mau jadi kerang rebus atau kerang mutiara??”
Filosofinya, kerang rebus itu melalui proses yang tidak sulit dan akhirnya dijual dengan murah. Sementara kerang mutiara harus menjalani masa-masa sulit sebelum dirinya saat ini, membungkus kepedihan terkena pasir dan bersabar, sehingga pada akhirnya bernilai lebih tinggi. (Btw makasih banget buat Mas Jamil Azzaini yang udah nyeritain kisah dan filosofi ini kemana-mana :))
So, setiap kami merasa lemah, selalu deh, berebutan ngomong...
“Kerang rebus atau kerang mutiara????”
“Kerang mutiara donk!!!”
Dan kemudian kami terhibur lagi, tersenyum lagi, serta sejenak melupakan ketidaknyamanan yang ada.
Begitu perjalanan pulang, kami bercanda-canda sambil ngebahas training yang sudah lewat. Berhaha-hihi mentertawakan kekonyolan, ngomentarin ini-itu, saling cela, dst dst.
Buat aku pribadi, aku bersyukur bisa berada di tengah rekan-rekan yang solid dan menyenangkan seperti ini. Kalau sudah lelah, rasanya cuma mereka yang bisa ngertiin karena sama-sama tau gimana capek dan penatnya. Jadi empatinya gede banget. Fa juga bilang, ini baru awal. Dan mungkin kedepan akan ada tantangan yang lebih berat.
Hmh...
Seburuk apapun proses training yang kami lakukan, rasa-rasanya memang harus terus berpikir positif. Kan belajar dari pengalaman. Lagipula jam terbang yang banyak kami yakini akan membuat kami semakin terampil berhadapan dengan berbagai tipe orang. Jadi ya... ini memang hal biasa yang justru jadi pembelajaran buat kita semua.
Okeh! Siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan tantangan baru! Masih ada sekolah2 lain, proyek dengan Shell (kalo jadi), Nias (juga kalo jadi), dst dst. Padat pisan euy...
Bismillah lah... here we come...Insya Allah!
***
begitu cerita ini diposting, training kami udah selesai. dan kami banyak banget ngobrol sm beberapa orang guru, termasuk si ibu nan frontal tea. ketauan banget katanya kalo aku down dicela2 dia.. gak kaya Fa yang udah dikondisioning. ya iyalah...ujug2 baru masuk gue udah dipojokin, jujuju...blablabla..bliblibli... gmn ga jiper... -_-' tapi aku piss lah sama beliau. asik kok orangnya. cuma yaaa... agak2 nyelekit, tajam, dan tepat sasaran serta ga liat2 sikon aja. hehe...
tp actually dia cm pgn jadi 'devil's advocate' training itu. soalnya dia liat guru2 pada ga kritis sama wacana yg kami sampaikan. nelen doank, he-eh he-eh, padahal hasil diskusi2 peserta masih abstrak, dan mereka ga bisa mengkonstruksikan hal tersebut dalam konsep yg lebih konkrit operasional.
sungguh, bersyukur banget dapet banyak pelajaran untuk jadi lebih baik lagi besok2. bener deh, kalau selalu positif segalanya jadi ringan (ehm, indraaa...)
hehe... ya kan aku jg masih belajar... *dudududu...*
sedih juga ngeliat wajah SMA itu... skarang aku dan Fa lagi berusaha bikin follow upnya. mudah2an aja bisa merubah kondisi dengan ikhtiar yang sederhana ini. aamiin...
Saturday+Tuesday,10/11.09.07:01.30am+10.15pm.
gbrnya dari http://www.scan.ncl.ac.uk/navigation/volunteertraining.html
0 komentar:
Post a Comment