Bismillah...
Agak menyeramkan membahas tema ini.
Pasalnya, seperti menguak ingatan akan beberapa hal yang... mungkin disgusting.
Apa yang akan terjadi jika aku kelak mengalami hal ini ya?
Apakah aku cukup bisa meningkatkan kembali, salah satunya, kepercayaan diri yang hilang, yang melingkupi diri ketika belahan jiwa beralih?
Di suatu hari yang menyenangkan, beruntung sekali aku bisa mengupas hal ini bersama seorang yang ahli di bidangnya. Dosenku, seorang psikolog perkawinan dan sosial, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggayuti pikiranku. Itu juga untung-untungan banget, karena kalau gak lagi ada urusan skripsi, kayanya aku gak akan bisa ngobrol sama beliau, apalagi yang out of topic, apalagi dalam suasana santai macam ini.
Dalam pengalamannya, Bang N, dosenku itu (dosen2 di fakultasku biasa disebut ‘bang, mas atau mba’ –red), seringkali berhadapan dengan para “on becoming broken homers”.
Tau, apa ceritanya?
“Menyedihkan sekali. Kasus terbanyak yang sedang saya hadapi akhir-akhir ini adalah perceraian. Ada juga kemarin yang baru 5 tahun menikah, sudah ingin berpisah...”
Dan aku, tentu saja bertanya.
“Penyebabnya apa, bang?”
Kening pria berusia 50an tahun itu berkerut.
“Karakter... kepribadian yang... sama-sama keras. Sehingga tidak ada yang mau mengalah. Hanya gaya komunikasi, sebenarnya. Tapi karena sama-sama keras tadi, jadi semuanya merasa benar...”
Aku mematung sejenak.
Hmmm....
“Lalu?”
“Yah... terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Tidak mendalam. Seringkali sudah 2-4 tahun berpacaran... akhirnya kandas juga. Karena memang ketika berpacaran itu, yang terlihat hanya sisi-sisi baik pasangan saja. Yang buruk-buruk tidak kelihatan... akhirnya ketika menikah, merasa tidak cocok lagi, berpisah...”
Hmm... Just make me sure that marriage ga sesimple itu...
“Ya. Harus ada komitmen disana.”
“Jadi, kenapa masih ada pria yang selingkuh? Bagaimana dengan Bang N sendiri, mengingat Bang N juga pria? Maksudnya, ada gak sih, ketertarikan dengan wanita walau sudah menikah? Yaa...Cuma pengen tau dan mendalami sudut pandang pria aja...hehe...” Tersenyum, berusaha kupahami paradigma pria bertubuh subur ini.
Jadi inget, kata Pak G, pembimbing skripsiku, Bang N ini semasa kuliahnya dulu dikejar-kejar banyak cewek lho. Tinggi, ganteng, cerdas banget pula. Hehe...
“Yah, saya akui saya juga punya ketertarikan terhadap wanita lain. Melihat yang seksi, saya suka. Melihat yang cantik, saya akan mengakui. Tapi, cukup sebatas itu. Selebihnya sudah tidak boleh dilakukan lagi. Karena itu tadi, pernikahan tidak sebatas cinta, tapi juga ada komitmen yang harus dijaga. Itu sebabnya, ada agama yang akan mengontrol kita. Ada keimanan yang membuat kita sadar, oh ini rambu-rambunya...”
“I see... Hm, lalu gimana pendapat Bang N tentang poligami?”pancingku.
“Ya...saya setuju saja. Tapi yang saya tidak suka adalah seolah-olah orang mencari pembenaran lewat agama... Apalagi kalau digembar-gemborkan menikah lagi untuk menyelamatkan nafsu, katanya. Seperti waktu ada seminar di IPB waktu saya jadi pembicaranya, ada pembicara lain yang mengemukakan alasan itu. Supaya tidak free sex dan sebagainya. Di IPB waktu itu banyak juga orang PKS-nya. Saya rasa tidak bijak kalau poligami dilakukan dengan alasan supaya tidak zina. Lalu dimana tanggung jawab dan komitmen membangun pernikahan? Memangnya nikah buat kebutuhan sex saja? Kan tidak seperti itu....”
“Yeah, itu kasuistik sih Bang,” aku berusaha menetralisir.
“Saya akui saya juga bagian dari mereka. Kalau ada ustadz-ustadz yang seperti itu, tentu saya gak akan setuju... Tapi masalah niat kan cuma Allah dan pelakunya aja yang tau. Gak bisa kita hakimi berdasarkan penglihatan dari luar. Lagipula setau saya Rosulullah juga gak pernah poligami ketika dengan Khadijah...”
“Ya... saya kira memang demikian. Kalau nikah cuma untuk menghindarkan zina, nanti orang akan ramai-ramai poligami dengan berdalih pada agama,”
Yap. Setuju.
Perbincangan berhenti sampai disitu.
“Senang sekali bisa ngobrol banyak hal dengan kamu. Jangan segan-segan datang kemari, ya. Saya senang bertukar pikiran dan memperluas wacana,”.
Dan aku dengan serta-merta menganggukkan kepala kuat-kuat,
“Pasti, bang. Seneng banget bisa diskusi banyak sama Bang N. Asal Bang N gak bosen aja sama saya, hehe...”
Well...
Sodara-sodara.
Pernah berpikir tentang puber kedua?
Bahkan aku, yang menikah saja belum, sudah mulai mempersiapkan ini jika someday my husband mengalaminya. Fadil bilang, “You think too far, Indra”.
Ya tapi kan siap-siap dari sekarang gak ada salahnya... *tetep ngeles*
Entahlah.
Akhir-akhir ini aku dan rekan-rekan kantor banyak diskusi tentang itu sih. Sapa lagi pemicunya kalau bukan bosku sendiri.
She said, as a good wife, kita harus bisa giving the best for our husband (persis banget apa yang Fadil bilang, kasih service yg baik! Eleuh2... Fadil... Elu mah gender banget. Tape deh... -_-‘).
Tapi para pria (atau wanita) juga harus aware dengan kecenderungan puber kedua tersebut. Karena biar gimanapun, hal alamiah itu akan terjadi. Kalau gak punya benteng kuat tuk inget2 keluarga di rumah, gak sedikit orang yang terjerumus tuk punya WIL/PIL di luaran sana.
Dan di saat-saat seperti ini agaknya kesetiaan kita diuji... *beuh...bahasanya...^_^*
Hmmm...
Jadi makin kepingin jadi psikolog perkawinannnn....
Iya, biar bisa kasih pencerahan orang-orang yang mau cerai, supaya tetap bertahan walau badai menghadang... Hehe...
Eh, bosku yang bukan psikolog aja bisa kayak konsultan perkawinan gitu. Masa aku yang udah kul psiko gak bisa.
Doain aja ya teman-temaan...
Semoga yang udah pada nikah bisa komit sama “perjanjian yang kukuh” itu, dan yang belum nikah bisa segera ketemu jodohnya yang slalu komit hingga akhir hayat. Hehe...proyeksi banget sih aku.
Udah ah...
gbrnya diambil dari www.salecatcher.com/pendant-b31.htm
Aug 5, 2007
Nikah-Cerai-Puber Kedua-dst
Diposkan oleh Indra Fathiana di 8/05/2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 komentar:
Assalamu'alaykum..
Postingan yg sangat bagus.. tp knp kok ga ada yg komen yah.. :-?
ini aku coment...hehehe.........
http://www.indonesian-potency.blogspot.com/
Post a Comment